Tujuan Pendidikan Islam
Oleh : Safrudin
Tujuan pendidikan menjawab pertanyaan apa yang akan
dicapai dari kegiatan pendidikan. Dengan
kata lain manusia yang bagaimana yang ingin dibentuk dengan pendidikan. Oleh karenanya tujuan pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari ideologi masyarakat atau bangsa yang melaksanakan pendidikan
dimaksud. Dalam konteks Ialam, tujuan
pendidikan merealisir nilai-nilai ke Islaman dalam kehidupan peserta didik,
baik sebagai makhluk individu, sosial maupun dalam hubungannya dengan Allah
SWT. Sebagai makhluk individu berarti
pendidikan Islam harus memperjuangkan terpeliharanya dan berkembangnya
potensi-potensi yang terpendam bagi setiap individu sebagai personaliti sebagai
diri dengan keutuhan pribadinya, yaitu kepribadian muslim. Sebagi makhluk sosial, berarti tujuan
pendidikan Islam harus mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan individu ke
arah aktualisasi diri dalam percaturan sosial.
Dalam hubungannya dengan Allah, tujuan pendidikan
Islam hendaknya menanamkan keimanan kepada peserta didik dan membina
terefleksinya keimanan tersebut dalam kehidupan yang lebih luas. Dengan penekanan pada ketiga aspek tersebut,
maka pendidikan Islam ditujukan pada kebahagiaan duniawi yang mengantarkan pada
kebahagiaan hidup “kelak”.
Bagi John Locke, pendidikan diarahkan pada tercapainya
kemakmuran dan kesejahteraan pada skala nasional suatu negara.
“For Locke,
the goal of education in the welfare an Prosperity of the Nation, he conceived the
natin’s welfare and prosperity in terms of the person al happiness and social
usefulness of its citizens.[1]
Artinya : “Menurut Locke, tujuan pendidikan adalah
kemakmuran dan kesejahteraan negara, dia memberi pengertian kemakmuaran dan
kesejahteraan negara dalam pengertian kebahagiaan individu dan sosial warga
negara tersebut.”
Tujuan pendidikan sebagaimana yang digambarkan Locke
menunjukkan peran strategis bagi pelaksanaan pendidikan, dimana pendidikan
membekali dan mengarahkan generasi muda dengan berbagai bekal kemanapun
intelektual, (ilmu pengetahuan), seni dan budaya, profesional maupun sikap
cendekia siakp peduli terhadap kemajuam masyarakat dan bangsa yang makmur dan
sejahtera. Dikatakan strategis karena peranan
tujuan pendidikan dalam “membentuk masa depan”, yaitu masa depan yang dianamis
dan modern yang menjunjung tinggi peradaban manusia, ataukah masa depan yang
terbelakang dan statis yang diwarnai dekadensi dan ketimpangan.
Arah bagi pendidikan menurut Al – Ghozali, sebagaimana
diterapkan Athiyah Hasan Sulaiman, senantiasa menyertakan falsafah kehidupan
bagi sistem yang melingkupinya. Dari
falsafah ini kan
didapatkan langkah dan metode yang lebih nyata (realistis). Menurutnya (Al –
Ghozali), pendidikan Islam mempunyai dua tujuan yang hendak dicapai.
Pertama, kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat dengan
Allah. Kedua, kesempatan manusia, yang
puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akherat.[2] Oleh akrenanya pendidikan adalah upaya untuk
mencapai kedua tujuan tersebut.
Dari kedua tujuan tersebut, nampak memberikan kesan
religius, tetapi sebenarnya memuat masalah-masalah duniawi, karena keduanya
dapat dicapai dengan ilmu. Dengan ilmu
akan diperoleh tata cara beramal.
Menurut Athiyah :
“Ia (Al –
Ghozali – penulis) menganggap pelayanan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor
suplementar untuk mencapai kebahagiaan akherat yang lebih utama dan abadi. Dunia adalah ladang menuju akherat. Ia (dunia) merupakan sarana menuju kepada
Allah bagi yang menjadikannya sebagai sarana dan tempat menetap dan bertempat
tinggal.”[3]
Dalam kaitannya dengan keutamaan menuntut ilmu, Al –
Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“…..ilmu
mempunyai nilai tinggi dan orang akan menemikan kelezatan dan kenikmatan dari
ilmu……Engkau menemukan ilmu sabagai jalan menuju akherat dan kebahagiaan di sana . Ilmu juga merupakan sarana satu-satunya untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal
manusia, tingkatan yang paling utama ialah kebahagiaan abadi dan sesuatu yang
paling mulia adalah sarana untuk mencapainya, dan kebahagiaan abadi tidak dapat
dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.
Orang tak bisa beramal dengan baik tanpa mengetahui tata caranya. Maka pangkal kebahagiaan dunia dan akherat
adalah ilmu.”[4]
Apabila dilihat dari kacamata Syaibany tentang
tahap-tahap tujuan pendidikan, maka kedua tujuan pendidikan menurut A- Ghozali
tersebut yang menggambarkan insan paripurna yaitu taqorrub ila – Allah dan
bahagia dunia dan akherat, adalah sebagai menempati tujuan tertinggi dan
terakhir[5]
yang tidak terikat oleh satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan
tertentu. Tujuan akhir disini berpulang
pada penghambaan pada diri setulusnya kepada Allah, “meminjam” nama-nama Allah
Yang Agung (Asmaul Husna seperti
Ar-Rahman, Ar Rahim, Al Latif……) untuk menghiasi hidupnya dalam menjalankan
fungsinya sebagai wakil Allah di bumi.
Ungkapan Allah SWT. dalam hal ini adalah :
Dalam konteks pendidikan, ibadah tidak semata-mata
ditujuakan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepada tanggung jawab
sosial. Dalam beribadah kepada Allah SWT
terletak kemuliaan bagi manusia dan bagi seluruh alam.
Dengan landasan ibadah, maka sempurnalah kemuliaan
mereka di hadapan sesama manusia dan di hadapan Allah dan terwujudlah semua
kemaslahatan di bumi. Maka hal pertama
yang seyogyanya dilakukan adalah mengubah kelemahan-kelemahan dan keterbatasan
diri maupun masyarakat menjadi kekuatan dan kemampuan yang lebih mantap dan
cukup berarti bagi kelanjutan peradaban yag modern[7]
dengan dilandasi iman yang kuat dan dibarengi dengan tindakan nyata secara
berkesinambungan, sehingga terwujudlah kemajuan kemakmuran, kebahagiaan dan
ketentraman umat manusia serta terbebas dari belenggu ketimpangan,
ketertindasan maupun perilaku rasialisme.
Itulah manusia ideal yang menjadi akhir tujuan
pendidikan Islam, yaitu manusia yang sanggup merefleksikan rahmatan lil
‘alamin, yang mampu mengintegrasikan pengembangan potensi akal, roh, jasmaniah
maupun psikis untuk diaplikasikan dalam segala sektor kehidupan berupa sikap
dan perilaku yang mencerminkan nilai Ketuhanan dan kemanusiaan Hasan Langgulung
menuliskan :
“Tujuan akhir
(ultimate aim) pendidikan dalam Islam
adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh,
disamping badan, kemauan yang bebas dan akal.
Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat-empat
aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.”[8]
Secara historis, tugas kekhalifahan ini telah
diamanatkan Allah kepada “makhluk” sebelum Adam, namun mereka menghianati Allah
dengan membuat kerusakan dan saling bunuh.
Sehingga ketiga Allah “membaiat” Adam sebagai wakil-Nya sempat diprtes
para malaikat. Namun Allah dapat
meyakinkan malaikat setelah “mendemonstrasikan” kemampuan Adam di hadapan
mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Allah tentang kesanggupan Adam
memikul tugas ini. Kemampuan Adam
tersebut sudah tentu merupakan “bekal” yang diberikan Allah kepadanya. Atas statemen penganngkatan Adam sebagai
wakil-Nya, setan bersikap congkak dan enggan menerimanya. Oleh Allah, sikap setan ini dikategorikan
kafir,[9]
mengingkari kebenaran Allah dan memusuhi Adam.
Dari illustrasi tersebut, jelaslah bahwa Adam adalah
sebagai wakil Allah yang harus lebih baik dari wakil Allah yang sebelumnya,
menciptakan kelestarian dan perdamaian di muka bumi, menegakkan keadilan dan
memerangi setiap bentuk perilaku setan.
Ini adalah tugas Adam sebagai utusan Allah. Demikian halnya Rosul Muhammad SAW memerangi
perilaku jahiliyah yang melakukan eksploitasi ekonomi, melestarikan perbudakan
dan rasialisme, memerangi “peperangan” kekuasaan dzalim suku-suku Arab dan
menegakkan persamaan dan satu umat manusia tegak di atas prinsip tauhid (satu
Tuhan pencipta alam semesta).
Sepeninggal nabi Muhammad, siapakah yang melaksanakan tugas ini ? Secara logis, tugas ini adalah tugas
kerasulan, maka tugas ini kerjakan oleh individu-individu yang memiliki
kepribadian dan keimanan yang mencerminkan perilaku rasul. Jalaluddin Rakhmat
menyebutkan ulil albab,[10]
sebagaimana firman Allah surat
Ibrahim ayat 52.
Di sini ulil albab bertugas menyampaikan peringatan
Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip Tauhid. Ali Syari’ati menyebut “pribadi rasul” itu
sebagai orang yang tercerahkan (rausyanfikr).[12] Maka tujuan pendidikan Islam adalah
menciptakan pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan tugas kerasulan ini.
Disamping tujuan tinggi dan terakhir sebagaimana
terurai di atas, terdapat juga tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus. Kalau tujuan tertinggi dan terakhir lebih
bersifat filosofis, maka tujuan umu lebih empirik dan merupakan
operasionalisasi dari tujuan tinggi dan terakhir, ya menjabarkan
“khalifatullah” kepada pengertian yang lebih jelas ataupun menjawab tentang
bagimana potret kepribadian muslim secara nyata. Dikatakan tujuan umum karena berlaku bagi
siapa saja tanpa dibatasi ruang dan waktu dan juga menyangkut diri subyek didik
secara total.[13]
Sebagai tujuan yang lebih empirik dan operasional,
tujuan umum memberikan arah yang taraf penciptaannya dapat diukur, karena
menyangkut sikap dan perilaku serta kepribadian subyek didik.
Diantara uraian tentang tujuan umum, Zakiah Darojah
memaparkan tujuan umum pendidikan Islam berikut :
“Menciptakan
manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertakwa dan meyakininya sebagai
kebenaran, serta berusaha dan mampu membuktikan kebenaran tersebut melalui
akal, rasa, filing, di dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya
sehari-hari.”[14]
Tujuan ini tampak lebih memberikan kejelasan dalam
melibatkan aspek berfikir dengan aspek keimanan dan perilaku (akhlak). Aspek
rasa dan filing lebih membawa kepada kepekaan untuk berbuat. Jadi iman dan
takwa serta tingkah laku yang diharapkan dimiliki subjek didik merupakan
kesadaran didasari pada pengetahuan dan inquiri (kepekaan) untuk berbuat.
Tujuan pendidikan yang dipaparkan Zakiah mengesankan terbatas pada aspek
keagamaan, tetapi apabila dikaji lebih jauh, maka tujuan ini mempunyai makna
terciptanya jalinan hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam yang penuh
dengan rahasia – rahasia yang harus dipelajari ilmu (agama) maupun pengetahuan
modern.
Bagi Al-Abrasyi, tujuan umum pendidikan Islam adalah
membentuk akhlak mulia dengan tidak
mengesampingkan pendidikan akal, ilmu atau segi-segi praktis lainnya,
mempersiapkan keseimbangan kehidupan dunia dan ukhrawi, melaksanakan pendidikan
profesi dan vokasional untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat
mengenai substansinya, menumbuhkan semangat ilmiah dan merangsang keingintahuan
serta memungkinkan mereka mencapai kelezatan ilmu.[15]
Pribadi yang dicita-citakan oleh Abrasyi melalui
rumusan tujuan yang umum adalah pribadi yang sempurna, serasi dan seimbang,
disamping mampu di bidang keagamaan, dan keilmuan juga mempunyai keahlian
(keterampilan) untuk bekerja.
Di sini yang mula-mula ditanamkan pada anak didik
adalah akhlaknya yaitu pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral
merupakan jiwa pendidikan Islam tanpa mengabaikan pendidikan jasmani dan ilmu
praktis.[16]
Kenyataan membuktikan betapa esensinya akhlak ini bagi
kehidupan, apabila manusia rusak akhlaknya, maka rusaklah tatanan kehidupan
ini. Banyak peristiwa belakangan yang timbul akibat kerusakan moral manusia,
berupa tindak kriminalitas, asusila, penyalahgunaan wewenang korupsi misalnya,
bentuk kosumerisme yang berlebihan akibat kemajuan teknologi yang mengantarkan
manusia pada derajat yang hina, sebagaimana firman Allah surat At-Tin : 5.
Artinya : “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka)”.[17]
Realitas di atas juga merupakan cermin kehidupan yang
mengabaikan keseimbangan aspek material dan spiritual (keseimbangan) yang pada
hakekatnya adalah perlu keseimbangan, sebagaimana firman Allah surat Al-Qoshosh:77.
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa, bahagiamu
dari (kenikmatan) duniawi.”[18]
Termasuk yang dipentingkan Abrasyi dari tujuan
pendidikan adalah aspek ilmiah yang mendorong bagi berpacunya penalaran dan
idealisme berfikir, serta mengembangkannya menerobs ke berbagai keilmuan yang
membawa kepada kemajuan manusia. Disamping aspek intelektual tersebut,
pendidikan Islam hendaknya memperhatikan segi manfaat dari substansinya demi
memasuki dunia kerja. Maka pendidikan Islam mengambil istilah singkat, yaitu “marketing oriented”, sehingga tetap
eksis di era percaturan dunia yang penuh dengan iklim yang kompetitif.
Tujuan secara umum tersebut sebenarnya merupakan
pengantar bagi tercapainya tujuan akhir pendidikan Islam, dan tujuan umum
inipun dalam pelaksanaannya masih perlu penjabaran lagi secara operasional.
Menurut Syaibany, tujuan khusus merupakan “perubahan-perubahan yang diingini
yang berupa cabang atau bagian di bawah tiap-tiap tujuan dari pada
tujuan-tujuan pendidikan yang utama,[19]
yaitu berupa gabungan pengetahuan, ketrampilan, pola-pola tingkah laku, sikap,
nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau
bagi pendidikan, dimana tanpa terlaksananya tujuan khusus ini, tujuan yang
lebih tinggi tidak akan terwujud secara sempurna.
Zakiyah Darodjat mengemukakan enam tujuan khusus
pendidikan Islam, yaitu :
1.
Pembinaan ketakwaan dan akhlakul
karimah yang dijabarkan di dalam pembinaan – pembinaan kompetensi enam aspek
keimanan, lima
aspek keIslaman, dan multi aspek keihsanan.
2.
Mempertinggi kecerdasan dan
kemampuan anak didik.
3.
Memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi beserta manfaat.
4.
Meningkatkan kualitas hidup.
5.
Memelihara, mengembangkan dan
meningkatkan budaya dan lingkungan.
6.
Memperluas pandangan hidup sebagai
manusia yang berkomunikasi terhadap keluarganya, masyarakatnya, bangsanya,
sesama manusia dan makhluk lainnya.[20]
Tujuan ini memberikan arah yang lebih jelas dari yang
disebutkan terdahulu, dimana aspek yang hendak direalisasikan merupakan
penjabaran dari aspek-aspek ruhaniah, jasmaniah, fikiran dan perasaan yang
secara terperinci terwujud dalam perilaku takwa dan akhlak mulia, sikap penduli
terhadap lingkungannya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi
meningkatkan kualitas hidup.
Dari uraian tentang tujuan pendidikan Islam, dapat
ditarik benang merah bahwa pendidikan Islam mengarahkan individu kepada
terbentuknya kepribadian muslim yang mampu melaksanakan fungsinya sebagai
khalifah Allah dimuka bumi, mewarnai kehidupannya dengan “asmaul husna” dan
merealisasikannya dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitarnya
maupun dalam mengabdikan dirinya kepada Allah SWT. Kepribadian yang demikian
adalah kepriadian seorang rasul yang akan dicapai oleh pendidikan Islam dan
menjadi tujuan terakhir dan tertinggi. Terbentuknya kepribadian ini melalui
perjalanan panjang, bahkan seumur kehidupan dengan melibatkan aktifitas
mental-spiritual, aktifitas intelektual maupun aktifitas jasmaniah, terutama
menjalin komunikasi dengan Allah.
[1] Lee C.
Deighton, The Encyclopedia of Education,
Volume 6, The Macmilan Company & The Free Press, hlm. 20
[2] Prof.
Athiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan
Al-Ghazali, terj. P3M Jakarta, PT. Temprint, 1964, hlm. 20
[3] Ibid, hlm. 19-20
[4] Ibid, hlm. 21
[5] Prof.
Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, Terj. Dr. Hasan Langgulung, Jakarta , Bulan Bintang, 1979, hlm. 405
[6]
Departemen Agama, Op.Cit, Surat
Al-Anam:162, hlm. 216. Perhatikan juga QS. Adz. Dzariyat : 56
[7]Peradaban
adalah keseluruhan akumulasi material dan spiritual umat manusia. Dalam arti
khusus peradaban yang sulit dipisahkan dari kebudayaan sebagai seluruh kekayaan
material dan spiritual suatu ras atau masyarakat tertentu. Lihat Ali Syari’ati,
Ideologi Ilmu Intelektual, Bandung , Mizan, 1992,
hlm. 31-32.
Sedangkan istilah
modern, yang berasal dari bahasa latin “modo” memiliki arti “just now” atau
yang kini (keadaan). Alex Inkeles dan David Smit, sebagaimana dikutip Afan
Gaffar, menyebutkan beberapa indikator bagi individu modern antara lain :
opennes to new eksperience, the readiness for need for information, oriented to
ward future and punctuality, planning, afficacy, calculability, optimism,
valuing of technical skill, awarenes and respect for the dignity of other, and
understanding production. Bagi Afan Gaffan, apa yang dikemukakan Alex dan David
merupakan ajaran-ajaran Islam, karena Islam itu sendiri adalah modern lawan
jahiliyah. Peran Islam terhadap modernisasi adalah memberikan landasan
spiritual atas dampak kemajuan teknologi dan kebendaan dengan cara “ibadah dan
bekerja sebagai keseimbangan. Lihat Afan Gaffar, Modernitas dan Islam : Dua
Kutub yang bertentangan ?” tth., hlm. 108-112.
[8]Prof. Dr.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan
: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Cet. 1, Jakarta , Pustaka Al Husna, 1986, hlm. 67
[9] Lihat
Q.S. Al Baqarah : 30-34
[10] Ali
Syari’ati, Op. Cit, hlm. 17
[11]
Departemen Agama, Op. Cit, hlm. 388
[12] Ali
Syari’ati, Op.Cit, hlm. 14
[13]
Achmadi, Op.Cit, hlm. 66
[14] Zakiyah
Daradjat, Islam untuk Disiplin Ilmu
Pendidikan, Jakarta ,
Bulan Bintang, 1987, hlm. 137
[15] Prof.
Dr. Mohd. Athiyah Al-Abrasyi,
[16] Ibid, hlm. 7
[17]
Departemen Agama, Op. Cit, hlm. 1076
[18] Ibid, hlm. 623
[19] Prof.
Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al Syaibany, Op.Cit,
hlm. 422
[20] Zakiyah
Darodjat, Op. Cit, hlm. 140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar