UA-135753897-1 Jendela Ilmu

Jumat, 09 Oktober 2015

Tujuan Pendidikan Islam
Oleh : Safrudin


Tujuan pendidikan menjawab pertanyaan apa yang akan dicapai dari kegiatan pendidikan.  Dengan kata lain manusia yang bagaimana yang ingin dibentuk dengan pendidikan.  Oleh karenanya tujuan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari ideologi masyarakat atau bangsa yang melaksanakan pendidikan dimaksud.  Dalam konteks Ialam, tujuan pendidikan merealisir nilai-nilai ke Islaman dalam kehidupan peserta didik, baik sebagai makhluk individu, sosial maupun dalam hubungannya dengan Allah SWT.  Sebagai makhluk individu berarti pendidikan Islam harus memperjuangkan terpeliharanya dan berkembangnya potensi-potensi yang terpendam bagi setiap individu sebagai personaliti sebagai diri dengan keutuhan pribadinya, yaitu kepribadian muslim.  Sebagi makhluk sosial, berarti tujuan pendidikan Islam harus mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan individu ke arah aktualisasi diri dalam percaturan sosial.
Dalam hubungannya dengan Allah, tujuan pendidikan Islam hendaknya menanamkan keimanan kepada peserta didik dan membina terefleksinya keimanan tersebut dalam kehidupan yang lebih luas.  Dengan penekanan pada ketiga aspek tersebut, maka pendidikan Islam ditujukan pada kebahagiaan duniawi yang mengantarkan pada kebahagiaan hidup “kelak”.
Bagi John Locke, pendidikan diarahkan pada tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan pada skala nasional suatu negara.
“For Locke, the goal of education in the welfare an Prosperity of the Nation, he conceived the natin’s welfare and prosperity in terms of the person al happiness and social usefulness of its citizens.[1]


Artinya : “Menurut Locke, tujuan pendidikan adalah kemakmuran dan kesejahteraan negara, dia memberi pengertian kemakmuaran dan kesejahteraan negara dalam pengertian kebahagiaan individu dan sosial warga negara tersebut.”

Tujuan pendidikan sebagaimana yang digambarkan Locke menunjukkan peran strategis bagi pelaksanaan pendidikan, dimana pendidikan membekali dan mengarahkan generasi muda dengan berbagai bekal kemanapun intelektual, (ilmu pengetahuan), seni dan budaya, profesional maupun sikap cendekia siakp peduli terhadap kemajuam masyarakat dan bangsa yang makmur dan sejahtera.  Dikatakan strategis karena peranan tujuan pendidikan dalam “membentuk masa depan”, yaitu masa depan yang dianamis dan modern yang menjunjung tinggi peradaban manusia, ataukah masa depan yang terbelakang dan statis yang diwarnai dekadensi dan ketimpangan.
Arah bagi pendidikan menurut Al – Ghozali, sebagaimana diterapkan Athiyah Hasan Sulaiman, senantiasa menyertakan falsafah kehidupan bagi sistem yang melingkupinya.  Dari falsafah ini kan didapatkan langkah dan metode yang lebih nyata (realistis).  Menurutnya (Al – Ghozali), pendidikan Islam mempunyai dua tujuan yang hendak dicapai.
Pertama, kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat dengan Allah.  Kedua, kesempatan manusia, yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akherat.[2]  Oleh akrenanya pendidikan adalah upaya untuk mencapai kedua tujuan tersebut.
Dari kedua tujuan tersebut, nampak memberikan kesan religius, tetapi sebenarnya memuat masalah-masalah duniawi, karena keduanya dapat dicapai dengan ilmu.  Dengan ilmu akan diperoleh tata cara beramal.  Menurut Athiyah :
“Ia (Al – Ghozali – penulis) menganggap pelayanan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor suplementar untuk mencapai kebahagiaan akherat yang lebih utama dan abadi.  Dunia adalah ladang menuju akherat.  Ia (dunia) merupakan sarana menuju kepada Allah bagi yang menjadikannya sebagai sarana dan tempat menetap dan bertempat tinggal.”[3]

Dalam kaitannya dengan keutamaan menuntut ilmu, Al – Ghozali menjelaskan sebagai berikut :
“…..ilmu mempunyai nilai tinggi dan orang akan menemikan kelezatan dan kenikmatan dari ilmu……Engkau menemukan ilmu sabagai jalan menuju akherat dan kebahagiaan di sana.  Ilmu juga merupakan sarana satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Dalam hal manusia, tingkatan yang paling utama ialah kebahagiaan abadi dan sesuatu yang paling mulia adalah sarana untuk mencapainya, dan kebahagiaan abadi tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu dan amal.  Orang tak bisa beramal dengan baik tanpa mengetahui tata caranya.  Maka pangkal kebahagiaan dunia dan akherat adalah ilmu.”[4]
Apabila dilihat dari kacamata Syaibany tentang tahap-tahap tujuan pendidikan, maka kedua tujuan pendidikan menurut A- Ghozali tersebut yang menggambarkan insan paripurna yaitu taqorrub ila – Allah dan bahagia dunia dan akherat, adalah sebagai menempati tujuan tertinggi dan terakhir[5] yang tidak terikat oleh satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan tertentu.  Tujuan akhir disini berpulang pada penghambaan pada diri setulusnya kepada Allah, “meminjam” nama-nama Allah Yang Agung (Asmaul Husna seperti            Ar-Rahman, Ar Rahim, Al Latif……) untuk menghiasi hidupnya dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil Allah di bumi.  Ungkapan Allah SWT. dalam hal ini adalah :
 Artinya : “Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”[6]
Dalam konteks pendidikan, ibadah tidak semata-mata ditujuakan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepada tanggung jawab sosial.  Dalam beribadah kepada Allah SWT terletak kemuliaan bagi manusia dan bagi seluruh alam.
Dengan landasan ibadah, maka sempurnalah kemuliaan mereka di hadapan sesama manusia dan di hadapan Allah dan terwujudlah semua kemaslahatan di bumi.  Maka hal pertama yang seyogyanya dilakukan adalah mengubah kelemahan-kelemahan dan keterbatasan diri maupun masyarakat menjadi kekuatan dan kemampuan yang lebih mantap dan cukup berarti bagi kelanjutan peradaban yag modern[7] dengan dilandasi iman yang kuat dan dibarengi dengan tindakan nyata secara berkesinambungan, sehingga terwujudlah kemajuan kemakmuran, kebahagiaan dan ketentraman umat manusia serta terbebas dari belenggu ketimpangan, ketertindasan maupun perilaku rasialisme.
Itulah manusia ideal yang menjadi akhir tujuan pendidikan Islam, yaitu manusia yang sanggup merefleksikan rahmatan lil ‘alamin, yang mampu mengintegrasikan pengembangan potensi akal, roh, jasmaniah maupun psikis untuk diaplikasikan dalam segala sektor kehidupan berupa sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai Ketuhanan dan kemanusiaan Hasan Langgulung menuliskan :
“Tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh, disamping badan, kemauan yang bebas dan akal.  Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat-empat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.”[8]

Secara historis, tugas kekhalifahan ini telah diamanatkan Allah kepada “makhluk” sebelum Adam, namun mereka menghianati Allah dengan membuat kerusakan dan saling bunuh.  Sehingga ketiga Allah “membaiat” Adam sebagai wakil-Nya sempat diprtes para malaikat.  Namun Allah dapat meyakinkan malaikat setelah “mendemonstrasikan” kemampuan Adam di hadapan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Allah tentang kesanggupan Adam memikul tugas ini.  Kemampuan Adam tersebut sudah tentu merupakan “bekal” yang diberikan Allah kepadanya.  Atas statemen penganngkatan Adam sebagai wakil-Nya, setan bersikap congkak dan enggan menerimanya.  Oleh Allah, sikap setan ini dikategorikan kafir,[9] mengingkari kebenaran Allah dan memusuhi Adam.
Dari illustrasi tersebut, jelaslah bahwa Adam adalah sebagai wakil Allah yang harus lebih baik dari wakil Allah yang sebelumnya, menciptakan kelestarian dan perdamaian di muka bumi, menegakkan keadilan dan memerangi setiap bentuk perilaku setan.  Ini adalah tugas Adam sebagai utusan Allah.  Demikian halnya Rosul Muhammad SAW memerangi perilaku jahiliyah yang melakukan eksploitasi ekonomi, melestarikan perbudakan dan rasialisme, memerangi “peperangan” kekuasaan dzalim suku-suku Arab dan menegakkan persamaan dan satu umat manusia tegak di atas prinsip tauhid (satu Tuhan pencipta alam semesta).  Sepeninggal nabi Muhammad, siapakah yang melaksanakan tugas ini ?  Secara logis, tugas ini adalah tugas kerasulan, maka tugas ini kerjakan oleh individu-individu yang memiliki kepribadian dan keimanan yang mencerminkan perilaku rasul. Jalaluddin Rakhmat menyebutkan ulil albab,[10] sebagaimana firman Allah surat Ibrahim ayat 52.
 Artinya : “(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.”[11]

Di sini ulil albab bertugas menyampaikan peringatan Allah kepada masyarakat dan mengajari mereka prinsip Tauhid.  Ali Syari’ati menyebut “pribadi rasul” itu sebagai orang yang tercerahkan (rausyanfikr).[12]  Maka tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan pribadi-pribadi yang mampu melaksanakan tugas kerasulan ini.
Disamping tujuan tinggi dan terakhir sebagaimana terurai di atas, terdapat juga tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus.  Kalau tujuan tertinggi dan terakhir lebih bersifat filosofis, maka tujuan umu lebih empirik dan merupakan operasionalisasi dari tujuan tinggi dan terakhir, ya menjabarkan “khalifatullah” kepada pengertian yang lebih jelas ataupun menjawab tentang bagimana potret kepribadian muslim secara nyata.  Dikatakan tujuan umum karena berlaku bagi siapa saja tanpa dibatasi ruang dan waktu dan juga menyangkut diri subyek didik secara total.[13]
Sebagai tujuan yang lebih empirik dan operasional, tujuan umum memberikan arah yang taraf penciptaannya dapat diukur, karena menyangkut sikap dan perilaku serta kepribadian subyek didik.
Diantara uraian tentang tujuan umum, Zakiah Darojah memaparkan tujuan umum pendidikan Islam berikut :
“Menciptakan manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertakwa dan meyakininya sebagai kebenaran, serta berusaha dan mampu membuktikan kebenaran tersebut melalui akal, rasa, filing, di dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya sehari-hari.”[14]

Tujuan ini tampak lebih memberikan kejelasan dalam melibatkan aspek berfikir dengan aspek keimanan dan perilaku (akhlak). Aspek rasa dan filing lebih membawa kepada kepekaan untuk berbuat. Jadi iman dan takwa serta tingkah laku yang diharapkan dimiliki subjek didik merupakan kesadaran didasari pada pengetahuan dan inquiri (kepekaan) untuk berbuat. Tujuan pendidikan yang dipaparkan Zakiah mengesankan terbatas pada aspek keagamaan, tetapi apabila dikaji lebih jauh, maka tujuan ini mempunyai makna terciptanya jalinan hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam yang penuh dengan rahasia – rahasia yang harus dipelajari ilmu (agama) maupun pengetahuan modern.
Bagi Al-Abrasyi, tujuan umum pendidikan Islam adalah membentuk akhlak  mulia dengan tidak mengesampingkan pendidikan akal, ilmu atau segi-segi praktis lainnya, mempersiapkan keseimbangan kehidupan dunia dan ukhrawi, melaksanakan pendidikan profesi dan vokasional untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi manfaat mengenai substansinya, menumbuhkan semangat ilmiah dan merangsang keingintahuan serta memungkinkan mereka mencapai kelezatan ilmu.[15]
Pribadi yang dicita-citakan oleh Abrasyi melalui rumusan tujuan yang umum adalah pribadi yang sempurna, serasi dan seimbang, disamping mampu di bidang keagamaan, dan keilmuan juga mempunyai keahlian (keterampilan) untuk bekerja.
Di sini yang mula-mula ditanamkan pada anak didik adalah akhlaknya yaitu pembentukan moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam tanpa mengabaikan pendidikan jasmani dan ilmu praktis.[16]
Kenyataan membuktikan betapa esensinya akhlak ini bagi kehidupan, apabila manusia rusak akhlaknya, maka rusaklah tatanan kehidupan ini. Banyak peristiwa belakangan yang timbul akibat kerusakan moral manusia, berupa tindak kriminalitas, asusila, penyalahgunaan wewenang korupsi misalnya, bentuk kosumerisme yang berlebihan akibat kemajuan teknologi yang mengantarkan manusia pada derajat yang hina, sebagaimana firman Allah surat At-Tin : 5.
Artinya : “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”.[17]
Realitas di atas juga merupakan cermin kehidupan yang mengabaikan keseimbangan aspek material dan spiritual (keseimbangan) yang pada hakekatnya adalah perlu keseimbangan, sebagaimana firman Allah surat Al-Qoshosh:77.
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa, bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi.”[18]
Termasuk yang dipentingkan Abrasyi dari tujuan pendidikan adalah aspek ilmiah yang mendorong bagi berpacunya penalaran dan idealisme berfikir, serta mengembangkannya menerobs ke berbagai keilmuan yang membawa kepada kemajuan manusia. Disamping aspek intelektual tersebut, pendidikan Islam hendaknya memperhatikan segi manfaat dari substansinya demi memasuki dunia kerja. Maka pendidikan Islam mengambil istilah singkat, yaitu “marketing oriented”, sehingga tetap eksis di era percaturan dunia yang penuh dengan iklim yang kompetitif.
Tujuan secara umum tersebut sebenarnya merupakan pengantar bagi tercapainya tujuan akhir pendidikan Islam, dan tujuan umum inipun dalam pelaksanaannya masih perlu penjabaran lagi secara operasional. Menurut Syaibany, tujuan khusus merupakan “perubahan-perubahan yang diingini yang berupa cabang atau bagian di bawah tiap-tiap tujuan dari pada tujuan-tujuan pendidikan yang utama,[19] yaitu berupa gabungan pengetahuan, ketrampilan, pola-pola tingkah laku, sikap, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan yang terkandung dalam tujuan tertinggi atau bagi pendidikan, dimana tanpa terlaksananya tujuan khusus ini, tujuan yang lebih tinggi tidak akan terwujud secara sempurna.
Zakiyah Darodjat mengemukakan enam tujuan khusus pendidikan Islam, yaitu :
1.      Pembinaan ketakwaan dan akhlakul karimah yang dijabarkan di dalam pembinaan – pembinaan kompetensi enam aspek keimanan, lima aspek keIslaman, dan multi aspek keihsanan.
2.      Mempertinggi kecerdasan dan kemampuan anak didik.
3.      Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta manfaat.
4.      Meningkatkan kualitas hidup.
5.      Memelihara, mengembangkan dan meningkatkan budaya dan lingkungan.
6.      Memperluas pandangan hidup sebagai manusia yang berkomunikasi terhadap keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, sesama manusia dan makhluk lainnya.[20]
Tujuan ini memberikan arah yang lebih jelas dari yang disebutkan terdahulu, dimana aspek yang hendak direalisasikan merupakan penjabaran dari aspek-aspek ruhaniah, jasmaniah, fikiran dan perasaan yang secara terperinci terwujud dalam perilaku takwa dan akhlak mulia, sikap penduli terhadap lingkungannya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup.
Dari uraian tentang tujuan pendidikan Islam, dapat ditarik benang merah bahwa pendidikan Islam mengarahkan individu kepada terbentuknya kepribadian muslim yang mampu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, mewarnai kehidupannya dengan “asmaul husna” dan merealisasikannya dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam sekitarnya maupun dalam mengabdikan dirinya kepada Allah SWT. Kepribadian yang demikian adalah kepriadian seorang rasul yang akan dicapai oleh pendidikan Islam dan menjadi tujuan terakhir dan tertinggi. Terbentuknya kepribadian ini melalui perjalanan panjang, bahkan seumur kehidupan dengan melibatkan aktifitas mental-spiritual, aktifitas intelektual maupun aktifitas jasmaniah, terutama menjalin komunikasi dengan Allah.



[1] Lee C. Deighton, The Encyclopedia of Education, Volume 6, The Macmilan Company & The Free Press, hlm. 20
[2] Prof. Athiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. P3M Jakarta, PT. Temprint, 1964, hlm. 20
[3] Ibid, hlm. 19-20
[4] Ibid, hlm. 21
[5] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Dr. Hasan Langgulung, Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hlm. 405
[6] Departemen Agama, Op.Cit, Surat Al-Anam:162, hlm. 216. Perhatikan juga QS. Adz. Dzariyat : 56
[7]Peradaban adalah keseluruhan akumulasi material dan spiritual umat manusia. Dalam arti khusus peradaban yang sulit dipisahkan dari kebudayaan sebagai seluruh kekayaan material dan spiritual suatu ras atau masyarakat tertentu. Lihat Ali Syari’ati, Ideologi Ilmu Intelektual, Bandung, Mizan, 1992, hlm. 31-32.
   Sedangkan istilah modern, yang berasal dari bahasa latin “modo” memiliki arti “just now” atau yang kini (keadaan). Alex Inkeles dan David Smit, sebagaimana dikutip Afan Gaffar, menyebutkan beberapa indikator bagi individu modern antara lain : opennes to new eksperience, the readiness for need for information, oriented to ward future and punctuality, planning, afficacy, calculability, optimism, valuing of technical skill, awarenes and respect for the dignity of other, and understanding production. Bagi Afan Gaffan, apa yang dikemukakan Alex dan David merupakan ajaran-ajaran Islam, karena Islam itu sendiri adalah modern lawan jahiliyah. Peran Islam terhadap modernisasi adalah memberikan landasan spiritual atas dampak kemajuan teknologi dan kebendaan dengan cara “ibadah dan bekerja sebagai keseimbangan. Lihat Afan Gaffar, Modernitas dan Islam : Dua Kutub yang bertentangan ?” tth., hlm. 108-112.
[8]Prof. Dr. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Cet. 1, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1986, hlm. 67
[9] Lihat Q.S. Al Baqarah : 30-34
[10] Ali Syari’ati, Op. Cit, hlm. 17
[11] Departemen Agama, Op. Cit, hlm. 388
[12] Ali Syari’ati, Op.Cit, hlm. 14
[13] Achmadi, Op.Cit, hlm. 66
[14] Zakiyah Daradjat, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, Jakarta, Bulan Bintang, 1987, hlm. 137
[15] Prof. Dr. Mohd. Athiyah Al-Abrasyi,
[16] Ibid, hlm. 7
[17] Departemen Agama, Op. Cit, hlm. 1076
[18] Ibid, hlm. 623
[19] Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumy Al Syaibany, Op.Cit, hlm. 422
[20] Zakiyah Darodjat, Op. Cit, hlm. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar