UA-135753897-1 Jendela Ilmu

Jumat, 09 Oktober 2015


RAUSYANFIKR DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Safrudin

            Dalam Pembahasan  ini, penulis mensintesiskan antara rausyanfikr dengan pendidikan Islam melalui tiga pembahasan.  Pertama, mencari kaitan antara rausyanfikr dengan pendidikan Islam.  Dalam bahasan ini, penulis mencari titik temu melalui hubungan antar keduanya.  Kedua, mengetengahkan tanggung jawab seorang yang tercerahkan (rausyanfikr) terhadap pendidikan Islam dengan menyertakan keberadaannya dalam pendidikan Islam.  Ketiga, mencari alternatif strategi pelaksanaan rausyanfikr dalam pendidikan Islam.
            Disamping ketiga pembahasan tersebut, penulis kemukakan komentar-komentar terhadap pemikiran Ali Syari’ati demi mengetahui keluasan pemikiran Ali Syari’ati serta demi memperoleh pandangan yang obyektif dan non-sentimentil terhadap Ali Syari’ati ( terdapat pada lampiran )

A.    Kaitan Rausyanfikr dengan Pendidikan Islam


Sebuah statemen yang sapatutnya dikaji dari tulisan Ali Syariati tentang rausyanfikr adalah pemikirannya tentang pribadi yang “Liberal” dan berwawasan luas untuk berorientasi pada keimanan sosial.  Ia adalah pribadi rausyanfikr, yang menurut Syari’ati, tidak dibatasi pada pribadi penganut agama Islam, bukan pada kepercayaan bahwa Islam lebih unggul dari agama-agama dunia lain.  Pribadi inilah yang memenuhi syarat untuk memimpin dan melakukan pembaharuan, yaitu mereka yang berpandangan luas yang dapat berpikir dengan bebas dan ingin mengabdi kepada masyarakat dan juga berhubungan dengan generasi dan zamannya.[1]  Pribadi yang dimaksud tidak bukan adalah mereka yang dapat membawa pencerahan bagi masyarakat.
Dalam uraian terdahulu, Ali Syari’ati menyebutkan contoh Paul sartre sebagai yang terserahkan, menjadi “Nabi sosial” bagi masyarakat Eropa pasca renaisance, dimana kecenderungan masyarakatnya berupa pemenuhan konsumerisme yang yskni berlebihan : kepuasan diri sangat dicari-cari orang.  Pada saat inilah Sartre mengemukakan nilai-nilai spiritual sebagai landasan bagi seluruh aktifitas kehidupan.
Dalam pandangan Ali Syari’ati tentang  masyarakat Islam, Nabi sosial ini dimaksudkan adalah individu yang mencerminkan kepribadian seorang rosul yang mengembang missi rahmatan lil’alamin, yang oleh Al Qur’an diamanatkan kepada Adam pada mulanya.  Kemampuan Adam untuk melaksanakan tugas sebagai wakil Allah dimuka bumi tidak lain karena didikan Allah sebelumnya. Yaitu pengenalan terhadap nama-nama benda : dimana hal yang demikian tidak dilakukan terhadap malaikat yang semula ragu atas pengangkatan Adam sebagai khalifah, ternyata mendapati dirinya “kalah jauh” dibandingkan Adam setelah uji intelegensia dihadapan Allah.  Ini adalah karena kehendak Allah untuk mendidik dan mengajarkan Adam dengan ilmu dan pengetahuanNya.
Pendidikan serupa juga dilakukan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad di gua Hiro’ sewaktu hendak diangkat menjadi rosul Allah.  Berkali-kali Jibril berkata : “Iqro’ ya Muhammad”.  Muhammad menjawab : “Ma ana biqoroin “ (saya tidak dapat membaca).  Akhirnya malaikat Jibril menuntunnya untuk membaca surat Al-‘alaq ayat 1-5.  Ayat ini bila diperhatikan, sebenarnya memerintahkan kepada Muhammad (dan manusia umumnya) agar bisa mejadi pembaca yang mahir, penulis produktif dan kaya akan pengetahuan serta menguasai teknologi.
Pengajaran yang dilakukan oleh Allah kepada Adam maupun yang dilaksanakan malaikat Jibril kepada Muhammad merupakan cermin dari tugas yang tercerahkan kepada umatnya.  Ini menunjukkan betapa terikatnya kaum tercerahkan dengan pendidikan Islam.  Hubungan antar keduanya merupakan hubungan timbal balik yang aktif.
Rausyanfikr (orang yang tercerahkan) yang di dalam dirinya terpancarkan kepribadian Nabi adalah merupakan manusia paripurna yang ingin dibentuk oleh pendidikan Islam Insan paripurna yang merupakan tujuan akhir dari pendidik Islam adalah insan yang memiliki kepribadian muslim yang berkarakterkan taqwa kepada Allah dengan keimanan yang kuat senantiasa menjamin hubungan yang erat dengan Allah dan merealisasikan keimanan tersebut dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah di bumi demi menciptakan kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat.  Sedangkan pendidikan Islam merupakan salah satu missi yang diemban dan hendak direalisasikan kaum tercerahkan dalam berbagai aktifitas kehidupannya.
Dalam suatu syair disebutkan bahwa seorang pendidik (guru) adalah hampir sama dengan seorang Nabi. Maka penghormatan kepadanya adalah tak jauh berbeda halnya mengenai penghormatan kepada Nabi. 
Artinya : “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghormatan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang Rosul.”[2]
Dari sini tampaklah bahwa rausyanfikr adalah seorang guru yang melaksanakan missi penyampaikan kebenaran, menyerukan amal saleh, memerangi kebodohan, kemiskinan dengan pendidikan penyadaran kepada umat (subyek didik) berdasarkan nilai-nilai Islam yang meliputi berbagai bidang kehidupan profesionalisme, ilmu penegtahuan dan teknologi ekonomi, politik, sosial disamping sumber keimanan dan akhlak.
Dengan pendidikan, rausyanfikr dapat menyampaikan ide - ide mereka demi melaksanakan pembaharuan dan transformasi sosial sebagai konsekuensi modernisasi teknologi.
Jelas, hubungan antara rausyanfikr dengan pendidikan Islam adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan menentukan.  Dalam diri rausyanfikr terelaborasi visi keimanan, keilmuan serta kemanusiaan yang paling menonjol, kemudian diimplementasikan dalam pendidikan Islam baik formal maupun nonformal.  Ini berarti pendidikan Islam merupakan “kondisi” bagi terbentuknya pribadi yang tercerahkan rausyanfikr dalam konteks Islam.  Demikian pula rausyanfikr, kehadirannya dalam pendidikan Islam sangat penting bagi terbentuknya pribadi yang dikehendaki masyarakat Islam.  Karena kaum tercerahkan secara komunikatif dekat dengan masyarakatnya, mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan cita-cita mereka, maka rausyanfikr dapat mengakumulasikan persoalan-persoalan tersebut serta mengolahnya menjadi rumusan kebijakan pendidikan Islam.  Dengan cara ini, pendidikan menjadi signifikan dengan kebutuhan kehidupan.
Dari uraian tersebut, tampaklah bahwa keberadaan rausyanfikr dalam pendidikan Islam tidak terbatas pada pelaksana pendidikan (guru) yang berperan menyampaikan kebenaran, mengembangkan kemampuan intelektual melalui transmisi pengetahuan dan teknologi serta menanamkan nilai-nilai tetapi juga berperan sebagai penentu kebijakan dan evaluator pendidikan.

B.     Tanggung Jawab Rausyanfikr Terhadap Pendidikan Islam
Rausyanfikr merupakan bagian dari komunitas masyarakat yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan Islam.  Tanggung jawab rausyanfikr terhadap pendidikan Islam pada pokoknya adalah merealisasikan pesan-pesan Islam kepada subyek didik (umat) untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai khalifatullah fil ardli, membebaskan belenggu kehidupan yang dapat mengancam umat Islam kepada keterasingan dan terasimilasi dari budaya sendiri.
Sebagaimana kedekatan Nabi terhadap umatnya untuk menyampaikan pesan Islam dan membahas persoalan yang mereka hadapi secara demokratis, maka rausyanfikr di samping membentuk keimanan yang kuat di jantung masyarakatnya, membangun intelektualnya juga mendekatkan generasi muda, para pelajar dan mahasiswa kepada problem sosial yang menghimpit masyarakat luas, sehingga “generasi terdidik” ini dapat memberikan pencerahan bagi lingkungannya dan bukan mendidik mereka untuk menjadi eksklusif dan terpisah dari masyarakatnya.  Fenomena ini nampaknya terus  menggejala, sebagaimana disinyalir Syari’ati :
“Sayangnya, dalam kebudayaan dan sistem pendidikan modern, kaum muda kita didik dan dilatih dalam benteng-benteng yag terlindung dan tak tertembus.  Begitu mereka masuk kembali ke dalam lingkungan masyarakat, mereka ditempatkan pada kedudukan sosial yang sama sekali terpisah dari rakyat jelata.  Maka kaum cerdik pandai baru itu hidup dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat, tetapi di dalam suatu sangkar emas lingkungan eksklusif.  Akibatnya disatu pihak, kaum cerdik pandai itu mengejar kehidupan yang terpencil di atas menara gading tanpa memahami sama sekali keadaan masyarakat mereka sendiri dan dilain pihak, rakyat jelata yang tidak terpelajar tidak dapat memperoleh kebijakan (hikmah) dan pengetahuan dari kaum intelektual yang sama, yang telah mereka ongkosi (meskipun secara tidak langsung) dan mereka dukung perkembangannya.”[3]

Dari sini jelas bahwa tanggung jawab bagi rausyanfikr untuk menyelenggarakan pendidika  mempunyai dampak konstruktif bagi masyarakat luas.  Maka pendidikan Islam harus mewariskan nilai-nilai kemanusiaan kepada suyek didiknya.  Mendorong subyek didik tidak sekedar membekali diri untuk kepentingan individual, melainkan lebih jauh lagi agar kelak mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan sosial, mendarma baktikan dirinya kepada kerja kemanusiaan.  Secara teoritis, pendidikan Islam berupaya menyuguhkan konsep-konsep kemanusiaan kepada subyek didik, kemudian secara empirik dihadapkan pada praktek kehidupan nyata untuk kemudian diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang secara komunal bisa mendarma baktikan segala potensi anak didik untuk melakukan kerja kemanusiaan.  Dengan membiasakan sikap mengantisipasi fenomena sosial ini, nilai-nilai kemanusiaan akan terkarakter secara mantap dari dalam seseorang.
Nilai-nilai humanistik yang ingin dikembangkan dan dikarakterkan kepada subyek didik sebenarnya adalah merupakan refleksi dari konsep tauhid, yaitu meng-Esakan Allah dan menjadikan-Nya sebagai yang di-Agungkan bersama.
Semua makhluk Allah di bumi adalah diciptakan Allah Yang Esa, termasuk manusia.  Maka antara yang satu dengan yang lainnya adalah saudara, menciptakan keadilan dan persamaan.  Prinsip kesatuan inilah yang harus didasari bagi peserta didik.  Marcel A.  Boisard menerangkan prinsip   ini :
“Dalam Islam, segala-galanya adalah kesatuan.  Kewajiban ibadat menurut perpaduan itu secara kongkrit secara meteriil.  Tiap hari lima kali manusia muslim sujud kepada Tuhan pada waktu yang sama, dan menghadap kiblat yang sama di Mekah.  Hikmah yang tersembunyi di dalam ibadah fisik adalah untuk menunjukkan kesatuan manusia secara spiritual atau material.  Selain dari itu dalam Al Qur’an shalat disebut-sebut bersama-sama dengan zakat, suatu kewajiban agama dan hak timbal balik yang mengikat para mukminin. Begitu juga puasa mempersatukan secara simbolis semua kaum muslimin yang meninggalkan makan dan minum menurut waktu yang sama.  Iman dan ibadat yang menghubungkan manusia secara langsung dengan Tuhan membantu menimbulkan solidaritas dan kesatuan umat Islam, serta mendorongnya kepada universalisme. Umat yang beriman, dengan berpedoman kepada iman yang sama, telah dapat langsung hidup menghadapi disintegrasi politik, dan hubungan agama yang mengatasi batas-batas negara tidak banyak terpengaruhi oleh disintegrasi tersebut”.[4]

Sebagai pribadi yang tanggap akan fenomena sosial budaya, kaum tercerahkan harus memiliki sikap tanggap dan respek serta melakukan langkah antisipatif, sehingga setiap perubahan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kepada dampak yang positif konstruktif.  Bagaimana juga harus disadari bahwa kemajuan teknologi informatika membawa kepada transparansi budaya, yang dapat mengakibatkan pertukaran nilai-nilai yang positif ataupun negatif.  Penetrasi budayapun dapat terjadi akibat arus informasi ini.  Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, tanggung jawab kaum tercerahkan adalah menanamkan kepribadian yang berdasarkan pada akar budaya insani, sehingga subyek didik secara pribadi dapat memfilter budaya-budaya asing yang dapat merusak hati dan akal sehat.
Maka tanggung jawab rausyanfikr terhadap pendidikan Islam adalah menciptakan sistem bagi terselenggaranya pendidikan Islam yang demokratis, dimana melibatkan seluruh stratifikasi sosial untuk turut mewujudkan cita-cita pendidikan dengan sumber daya yang mereka miliki baik material maupun spiritual.  Tugas ini merupakan tugas konsolidasi umat.  Pendidikan yang demokratis juga mengandung pengertian kesempatan yang sama untuk memperoleh pelayanan pendidikan tanpa membedakan si kaya atau si miskin ataupun memberikan pelayanan “lebih” kepada stratifikasi sosial tertentu.  Lebih jauh pendidikan Islam harus dapat membebaskan dari dan subyek didik dari penindasan intelektual, politik dan ekonomi.
Orang yang tercerahkan berkewajiban memberi saran dan pandangan kritis mereka terhadap ideal pendidikan, memupuk keimanan dan fungsi akal untuk dapat mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, memperluas lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun melaksanakan tugas kecendekiaan yang senantiasa memikirkan kebahagiaan sesama manusia dan terpeliharanya kelestarian alam tugas kekhalifaan.  Jadi seorang yang tercerahkan bukan saja menjadi konseptor, pelaksana maupun evaluator, tetapi secara psikofisis melibatkan diri di dalamnya. Rausyanfikr. l

C.    Rausyanfikr : Strategi Implementasi Pendidikan Islam
Tulisan  ini akan membahas bagaimana pelaksanaan pendidikan Islam menurut “karakteristik” rausyanfikr.  Karakteristik rausyanfikr adalah pribadi Nabi yang menciptakan kehidupan yang sesungguhnya dan memerangi segala bentuk kemungkaran dengan cara mensosialisasikan Qur’an dan sunnah rosul sebagai pegangan hidup.
Strategi implementasi pendidikan Islam yang ditawarkan rausyanfikr adalah sebagaimana Rosul melaksanakan missi dakwah, beramar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana disinyalir Imam Bawani dan Isa Ansori bahwa Rosulullah telah mengajarkan bagaimana cara menyelenggarakan pendidikanyang baik, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara kontinyu sepanjang kehidupan manusia.  Tidak terbatas pada sekolah, masjid atau tempat ibadah lainnya, pabrik ataupun kantor dan tempat yang lainnya dimana aktifitas kehidupan dapat dilaksanakan.[5]
Dalam konteks pemahaman dimana pendidikan merupakan realisasi Qur’an kepada subyek didik, Ali Syari’ati memberikan penjelasan tentang strategi pelaksanaannya :
“Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi semua orang muslim yang waspada untuk memusatkan perhatian mereka dalam memperkenalkan kembali Al Qur’an kepada masyarakat muslim.  Dari mana mereka            menstimulai ?  Sangat disarankan agar orang-orang muslim yang sadar dimanapun mereka berada, bertemu di masjid terdekat, husainiyah  (tempat untuk memperingati wafatnya Husein pada bulan Muharam, yang dilengkapi dengan aula-aula untuk kuliah dan pusat-pusat budaya penulis), pusat kegiatan keagamaan, kegiatan ilmiah atau budaya di kota atau di desa, di kantor atau bahkan di pabrik untuk mendirikan sebuah tempat untuk mengkaji Al Qur’an.  Tujuan umatnya adalah mendorong masjid-masjid, husainiyah dan pertemuan-pertemuan keagamaan untuk memusatkan perhatian pada isi Al Qur’an.  Tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik atas Al Qur’an, perhatian terhadap hadis-hadis dan sejarah Nabi serta para sa[6]habat yang saleh harus menyertai pengkajian Al Qur’an itu.”

Ali Syari’ati menekankan pentingnya pesan Al Qur’an untuk sampai kepada seluruh masyarakat (Islam) dan dipegang teguh sampai tahap dimana cahayanya menggerakkan dan menyinari hati.  Dengan keadaan ini perbedaan-perbedaan, sekte-sekte akan lenyap dan muncullah kesatuan umat Islam di bawah naungan Al Qur’an, yang pada akhirnya bahasa dan kemutlakan Al Qur’an, membuat pesimisme dan kesalahpahaman menjadi optimisme dan saling pengertian.  Maka pendidikan Islam mempersiapkan statemen ini demi menjadikan manusia menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Pendidikan Islam yang pada hakekatnya adalah media untuk membentuk pribadi yang memberi rahmat bagi seluruh alam, hendaknya dilaksanakan berdasarkan prinsip integritas disini dimaksudkan bahwa pendidikan haruslah memperhatikan dan meliputi seluruh aspek kehidupan, bukan hanya Qur’aniyah tetapi juga mengkaji yang kauniyah, di samping penanaman keimanan juga pengembangan ilmu pengetahuan teknologi juga profesionalisme.
Oleh karenanya pelaksanaan pendidikan Islam memasuki dan meliputi seluruh aktifitas kehidupan, baik formal maupun no formal, langsung ataupun tidak langsung.  Secara langsung berarti terselenggaranya pendidikan Islam yang disengaja dengan mempertemukan pendidik dan subyek didik.  Secara tidak langsung berarti pendidikan Islam dilaksanakan sebagaimana realitas kehidupan sehari-hari dengan pendekatan perseorangan (personal approach), pergaulan, termasuk juga lingkungan yang Islami dimana pesan-pesan pendidikan Islam dapat dilaksanakan.

D.    Komentar-Komentar Terhadap Pemikiran Dr. Ali Syari’ati
1.      Afif Muhammad
                  Afif Muhammad adalah staf pengajar dan ketua jurusan Aqidah      dan Filsafat Fakultas Usuluddin IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
            Menurut Afif,[7] seluruh tulisan Syari’ati sebagai ideolog Iran bersifat menggerakkan, bahkan slogan-slogan revolusi Islam Iranpun banyak yang diambil dari ucapan-ucapannya.  Karena itu tulisan-tulisannya syarat dengan gagasan-gagasan mendasar dan radikal.  Akan tetapi kapasitas intelektualnya yang tinggi membuat pemikirannya terasa kokoh sekaligus filosofis.  Sementar itu komitmennya yang kental atas pandangan-pandangan plus penguasaannya atas ilmu-ilmu sekuler dan bahkan “tabu” bagi sementara kaum muslim, telah menyebabkan dirinya sanggup mewakili sosok ideal seorang intelektual muslim masa kini : cerdas dan teguh iman.
            Sebagai pemikir radikal, mungkin dikatakan terkesan asing apabila dijumpai sisi kehidupan Syari’ati yang dekat dengan dunia perpuisian.  Betapa tidak, puisi adalah suatu yang lahir dari kehalusan, kepekaan, dan kelembutan.  Sementara ini pemahaman kita tentang Syari’ati adalah seorang intelektual dengan pemikiran-pemikirannya yang radikal.  Kedua hal tersebut keradikalan dan kelembutan ternyata bisa menyatu secara utuh ke dalam diri Syari’ati.
            Menurutnya Afif, Syari’ati adalah seorang penyair yang kecakapannya dalam mencipta puisi setara dengan kecakapannya dalam bidang lain yang dimilikinya.  Ali Syari’ati yakin bahwa segala karya yang diciptakan seorang muslim haruslah berangkat dari dan diperuntukkan bagi Sang Maha Kekasih disebut sebagai Yang Satu.
    Sebaliknya karya yang tidak berangkat dari dan diperuntukkan bagi Allah disebutnya sebagai nol yang menganga yang bergerak dari satu titik untuk kembali kepada titik semula baratus juta nol diajarkan tanpa disandarkan pada “Yang Satu”, akan tidak memberi makna apa-apa.  Karena itu kunci dari semua amal adalah keterkaitannya dengan Allah.  Pernyataan ini adalah sebagaimana terpancarkan dari puisinya Syari’ati “Satu, yang diikuti nol-nol yang tiada habis-habisnya.”        

2.       M. Amin Rais
                  M. Amin Rais,[8] lahir di solo 26 April 1944.  Gelar Ph. D diperolehnya dari Universitas Chicago, Amerika Serikat tahun 1981 dalam ilmu politik.  Pernah menjadi mahasiswa luar biasa di Universitas Al-Azhar, Mesir tahun 1978-1979.
Kini menjadi tenaga kerja penagajar di jurusan Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta menjabat sebagai ketua Pengrus Pusat organisasi Islam “Muhammadiyah”.  Karya-karyannya antara lain : Cakrawala Islam , Antara Cita dan Fakta (1987), menterjemahkan karya Ali Syari’ati Man and Islam (Tugas Cendekiawan Muslim, 1987).
Menurut M. Amin Rais, pemahaman Ali Syari’ati tentang Islam terasa sangat revolusioner bila dibaca dari karya-karyannya yang berserakan.  Misalnya, pengertian intidzar dalam tradisi Syia’ah yang dalam tradisi Iran sering dimengerti sebagai menunggu datangnya imam yang gaib, oleh Syari’ati diberi tafsiran yang cukup kreatif.  Menurut Syari’ati intidzar berarti menunggu secara aktif akan kedatangan kebenaran yang harus diperjuangkan.
Intidzar berarti pula orang tidak boleh puas dengan yang ada, karena kepuasan akan membeku manjadi stagnasi, kejumudan, dan dekadensi.  Orang yang puas dengan keadaan masa kini berarti menjadi manusia konservatif yang takut menghadapi masa depan.  Apalagi jika suatu bangsa hidup dalam operasi, ketidak adilan, penindasan dan stagnasi.
Bangsa itu harus menghidupkan intidzar untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
            Dalam konteks perjuangan sosial politik, Syari’ati telah menggunakan metodologi perjuangan Nabi Muhammad untu menjadikan Islam agar berada paling depan dalam mendorong perjuangan sosial dengan suatu paradigma ideologis yang jelas.  Ali Syari’ati menggunakan metodologi ini untuk melakukan perubahan sosial dan transformasi kejiwaan masyarakat.  Metode ini dapat difahami dari ajaran Nabi bahwa bentuk suatu adat dapat dipelihara, tetapi isi atau maknanya bisa diubah.  Nabi memelihara format sebagai wagah tradisi dan budaya yang sudah berurat berakar dalam masyarakat dari suatu generasi ke generasi berikutnya, tetapi Nabi merubah isinya.  Beliau merubah spirit, semangat, arah dan aplikasi praktis adat tersebut dengan cara yang cepat, menentukan dan revolusioner.  Contoh yang dikemukakan Syari’ati adalah “ketika Nabi melestarikan ritual haji yang mula-mula penuh dengan penyembahan kepada berhala, kemudian berubah total menjadi penyembahan kepada Allah SWT.  Tawaf di sekeliling ka’bah yang semula zaman jahiliyah dilakukan untuk memperagakan penyembahan berhala, oleh Nabi diganti dengan isi ibadat yang sangat dalam dan indah berdasarkan keEsaan Allah dan kesatuan kemanusiaan.

3.      Fazlur Rahman
                  Fazlur Rahman adalah pemikir muslim kenamaan yang wafat pada 26 Juli 1988, dia dilahirkan di Pakistan 1919 dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Universitas Oxford dengan disertai mengenai filsafat Ibnu Sina setelah mengajar di Universitas Durham Inggris dan Universitas Mc Gill, Kanada.  Dia menjabat direktur lembaga riset Islam di Pakistan (1962-1969).  Setelah itu dia mejabat guru besar pemikiran Islam di Universitas Chicago, Amerika sampai wafatnya.  Bukunya telah terbit dalam bahasa Indonesia, Islam (1982), Islam dan Modernitas (1984), Membuka Pintu Ijtihad (1983) dan Tema Pokok Al Qur’an (1985).
                  Fazlur Rahman yang secara historis ikut “menyaksikan” aktivitas kehidupan Syari’ati memberikan komentar[9] bahwa Syari’ati yang dalam dirinya tergabung pendidikan tradisional dan gelar doktor di Universitas Sorbone menyeru utopis keagamaan kaum ulama Syi’ah termasuk iman-iman untuk turun ke bumi, suatu seruan dimana ia didahului dan digabung oleh Basargan, perdana menteri pertama Iran pasca revolusi.  Syari’ati meminta secara eskplisit kepada kaum Syi’ah untuk berkonsolidasi dengan komunitas sunni yang lebih bersar serta pemimpin-pemimpin mereka, dengan menyatakan bahwa dinasti Safawi telah mendistorsi perspektif-perspektif Syi’ah dengan kepentingan-kepentingan mereka sendiri, bahwa “penantian” Syi’ah akan kembalinya imam yang bersembunyi telah diubah menjadi suatu yang pasif dan negatif, menjadi prinsip-prinsip Islam yang berorientasi pada tindakan aktif “penantian” akan kembalinya imam yang bersembunyi sebagaimana diterangkan Amin Rais dengan intidzar”.
      Pesan Syari’ati menyerukan ditumbuhkannya kesadaran sosial, moral di pihak masyarakat luas dan dilakukannya “aktivisme politik”.  Walaupun generasi muda, baik dari kalangan awam maupun pelajar-pelajar madrasah menyambut seruannya dengan hangat bahkan dengan antusias namun baik kaum ulama tua yang konservatif maupun pemerintah menolak tindakan-tindakan drastis yang untuk “membangkitkan” rakyat muslim menentang eksploitasi asing (Barat).
Pengaruh Syari’ati pada generasi muda, mahasiswa dan pelajar sangat mendalam dan besar kemungkinan akan menegakkan kehadirannya kembali dimasa mendatang, walaupun pada saat ini Khomeini masih menguasai gelanggang.



[1] John L. Esposito, Identitas Islam ; Pada Perubahan Sosial dan Politik, Terj. A. Rahman Zainuddin, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 161-162.
[2] Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan dalam Islam, Terj. Prof. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S., Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 136
[3]  Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, Terj. Rahmani Astuti, Mizan, Bandung, Cet.3, 1993, hlm. 24
4. Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam. Terj. H. M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 81
[5]. Imam Bawani dan Isa Anshori, Op.Cit, hlm. 127
[6] Ali Syari’ati, Op.Cit, hlm. 101
[7] Afif Muhammad dalam Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 9 – 11.
[8] M. Amin Rais, Cakrawala Islam ; Antara Cita dan Fakta, Bandung, Cet. 1, 1987, hlm. 203-204
[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas ; Tentang Transformasi Intelektual, Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar