PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Safrudin
A. Batasan Pendidikan Islam
Berbagai sudut pandang tentang pendidikan Islam,
mengakibatkan perbedaan kepada para ahli dalam memberikan batasan mengenai
pendidikan Islam. Tinjauan tentang
pendidikan Islam ini, ada yang mengibaratkan pada essensinya dengan
berlandaskan pada hakekat kehidupan manusia disamping ada yang memandang
prndidikan Islam dari sudut proses kegiatan yang tampak pada
penyelenggaraannya. Sisi yang lain
memandang pendidikan Islam dari sudut materinya, yaitu pendidikan agama Islam
(Kurikulum)
Dalam rekomendasi First World
Conference on Muslem Education di Mekah tahun 1977 disebutkan :
“The meaning
of education in its totality in the context of Islam is inherent in the
connotation of the term tarbiyah, ta’lim and ta’dib taken together.”[1]
Jadi pengertian pendidikan Islam meliputi tarbiyah,
ta’lim, ta’dib sebagai totalitas (sistem).
Istilah tarbiyah yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja robba
bermakna mengasuh, mendidik dan memelihara, sedang ta’lim yang berasal dari
kata kerja ‘allama mempunyai mengajar, yang lebih bersifat pemberian atau
penyanpaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Istilah ta’dib yang merupakan bentukan kata
kerja addaba berarti mendidik yang lebih tertuju pada peyempurnaan akhlak budi
pekerti.[2] Jadi pendidikan Islam berdasarkan makna yang
terkadung ketiga peristilahan tersebut aktifitas mengasuh, memlihara, mengajar
dan pembinaan budi pekerti peserta didik secara integral berdasarkan
nilai-nilai Islam.
Naquib al-Attas memakai istilah ta’dib untuk
mempresentasikan batasan pendidikan Islam dari pada menggunakan “tarbiyah dan
ta’lim”. Paparnya, istilah tarbiyah
penggunaannya masih umum dan tidak terbatas pada manusia, tetapi unuk binatang
dan tumbuh-tumbuhan, beternak misalnya, tercakup dalam pengertian
tarbiyah. Sedangkan ta’lim mencakup
pengertian yang sempit dari pendidikan, yaitu pengajaran.[3] Jadi istilah ta’dib yang lebih tepat dipakai
untuk konsep pendidikan Islam karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar
saja, dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia. Selain dari pada itu, kata ta’dib erat
hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan
Islam.[4]
Uraian terhadap ta’dib tersebut menekankan proses
pendidikan, berupa transformasi ilmu pengetahuan dan pengembangannya, penanaman
nilai spiritual kultural demi aktualisasi diri dalam kerangka hablum minallah
dan hablum minannas yang didasari pada sikap disiplin diri untuk memberikan
pencerahan masyarakatnya.
Jika al-Attas menggunakan “ta’dib” untuk
mempresentasikan konsep pendidikan Islam, maka Fattah Jalal memakai istilah
ta’lim. Istilah tarbiyah, menurut Fattah
Jalal, terbatas pada proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama
pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak yang menjadi tanggung
jawab keluarga.[5] Dasar yang dipakainya adalah Surat Al Isra’
ayat 24 :
dan ucapkanlah, Ya Robbi, kasihanilah
mereka berdua, sebagaimana (kasihnya) mereka berdua
mendidik aku waktu kecil.”[6]
Selanjutnya yang dimaksud dengan ta’lim menurut Fattah
Jalal, lebih universal dibanding dengan proses tarbiyah, penjelasannya :
“Sebab ketika
mengajarkan tilawatil Qur’an kepada kaum muslimin, Rosulullah SAW. Tidak
terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca saja, melainkan ‘membaca
dengan renungan’ yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan
penanaman amanah.
Dari membaca
seperti ini rosul membawa mereka kepada tazkiyah (pensucian) yaitu pembersihan
diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam kondisi
yang memungkinkan untuk menerima hikmah.
Kata al-hikmah berasak dari kata al-ihlam yang berarti kesungguhan di
dalam ilmu.”[7]
Ayat Al Qur’an yang dijadikan rujukan Fattah Jalal
adalah surat Al
Baqoroh ayat 151.
Jadi menurut keterangan Fattah Jalal, “ta’lim tak
terbatas pada mengajar yang sifatnya kognitif, tetapi mencakup aspek perasaan,
sikap maupun keterampilan. Sehingga
untuk mencapainya perlu proses panjang dan berkesinambungan sejak lahir hingga
meninggal. Sedangkan “tarbiyah” menunjuk
pada persiapan dan pemeliharaan kanak-kanak dalam keluarga yang dilakukan
keluarga. Tanggung jawab orang tua
adalah mengasuh dan engasihi anak, berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya
berupa sandang, pangan, ketenangan, dan mengajarkan dasr-dasar tata krama agar
kepribadian anak terbentuk secara sempurna.
Di sini Abdul Fattah Jalal lebih memakai “ta’lim” dari
pada tarbiyah. Karena dengan ta’lim,
makna pendidikan sudah mencakup aspek moral disamping memberikan ilmu. Sedang kegiatan Tarbiyah merupakan bagian
dari ta’lim.
Bagi Achmadi, perbedaan penggunaan istilah ta’dib,
ta’lim ataupun tarbiyah tidak diperdebatkan, karena sesungguhnya ketiga istilah
tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait.[9] Apabila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib,
maka pelaksanaannya melalui ta’lim sehingga diperoleh ilmu. Dari ilmu yang diperoleh terwujudlah sikap
dan tingkah laku yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam sebagai “segala
usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
insani yang ada padanya untuk menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil) sesuai norma Islam.”[10]
Pengertian pendidikan Islam sebagaimana diterangkan
Achmadi nampaknya sejalan dengan pendapat Syahminan Zaini yaitu sebagai
pengembangan fitrah manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup lahir dan
batin. Ungkapnya :
“Pendidikan Islam ialah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran
Islam, agar terwujud (tercapai kehidupan manusia yang makmur dan bahagia).”[11]
Dari pengertian ini dapat ditangkap beberapa poin poko
pengertian. Fitrah yang dikembangkan
untuk direalisasikan mencakup segenap potensi manusia yang berupa agama,
intelektual, tata susila, kemasyarakatan, keadilan, persamaan, kemerdekaan
maupun cinta dan kasih sayang.
Kesemuanya dikembangkan dalam pendidikan Islam dengan dilandasi
nilai-nilai Islam untuk mencapai tujuan kebahagiaan.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi
pendidikan Islam bukan hanya kelembagaan untuk megarahkan subjek didik mencapai
yang dicita-citakan dan mengembalikan jalan yang menyimpang kepada jalan lurus,
sehingga menjadi manusia yang berkepribadian Islam.
Ahmad D. Marimba menjelaskan :
“Pendidikan
Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam
menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.[12]
Kepribadian utama di sini dimaksudkan sebagai yang di
dalamnya terkarakter nilai-nilai Islam.
Nilai dimaksud berupa akhlak mulia yang merupakan cermin dari keimanan
seseorang.[13] Maka
lingkungan amat menetukan bagi terbentumya kepribadian yang utuh, khususnya
lingkungan pendidikan. Oleh karenanya,
sebagai pembimbing hendaknya sadar benar akan pembentukan akhlak ini, artinya
pembentukan kepribadian ini hendaknya didasari dengan niat dan pelaksanaan yang
melibatkan aktivitas jasmaniah dan mental spiritual yang sungguh-sungguh,
dimulai dari tingkat individu menuju kepada komunitas Islam yang lebih luas.
Syekh Muhammad Al-Gholayani menjelaskan tentang
penanaman akhak mulia dalam pendidikan Islam, sebagai berikut :
Dari beberapa uraian tentang pengertian pendidikan
Islam tersebut, dapat dikonglusikan bahwa batasan tentang pendidikan Islam
adalah seluruh aktifitas untuk merealisasikan dan mengembangkan segenap potensi
(fitrah) manusia sunjek didik secara seimbang dan integral yang meliputi aspek
intelektual, moral, jasmaniah, rubaniah (spiritual) kejiwaan, agar terbentuk kepribadian
muslim yang dilandasi oleh iman, ilmu dan amal saleh (akhlak mulia) sehingga dapat
melaksanakan fungsi kemanusiaannya (humanity) sebagai rahmatan lil ‘alamin yang
taat kepada Allah SWT.
[1] Dikutip
Ahmad Ludjito, Abdurrahman Cs, Agama dan
Masyarakat, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993, hlm. 383
[2] Achmadi,
Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta , Aditya Media, 1992, hlm. 14-15
[3] Prof.
Dr. Hasan Langgulung, Asas-asas
Pendidikan Islam, Jakarta ,
Pustaka Al Husna, et, al, 1987, hlm. 5
[4] Ibid
[5] Abdul
Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam,
Bandung , CV.
Diponegoro, cet. 1, 1988, hlm.28
[6]
Departemen Agama, Al qur’an dan
Terjemahnya, Semarang ,
PT. Tanjung Mas, 1992, hlm. 428
[7] Abdul Fatah
Jalal, Op.Cit, hlm. 27-28
[8]
Departemen Agama, Op.Cit, hlm. 38
[9] Achmadi, Op.Cit,
hlm. 16
[10] Ibid, hlm. 20
[11]
Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar
Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta ,
Karya Mulia, 1986, hlm. 4
[12] Ahmad
D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung ,
PT. Al Maarif, 1986, hlm. 23
[13] Dr.
Jalaludin dan Drs. Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, PT. Raja Grafindo
Persada, 1994, hlm. 95
[14] Syekh
Mustafa Al-Gholayani, ‘Idhatu Al-Nasyi in,
Pekalongan, Raja Murah, 1913, hlm. 189
Tidak ada komentar:
Posting Komentar