UA-135753897-1 Jendela Ilmu

Jumat, 09 Oktober 2015

PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Safrudin


A.    Batasan Pendidikan Islam
Berbagai sudut pandang tentang pendidikan Islam, mengakibatkan perbedaan kepada para ahli dalam memberikan batasan mengenai pendidikan Islam.  Tinjauan tentang pendidikan Islam ini, ada yang mengibaratkan pada essensinya dengan berlandaskan pada hakekat kehidupan manusia disamping ada yang memandang prndidikan Islam dari sudut proses kegiatan yang tampak pada penyelenggaraannya.  Sisi yang lain memandang pendidikan Islam dari sudut materinya, yaitu pendidikan agama Islam (Kurikulum)
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan pendidikan dalam Islam, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
Dalam rekomendasi First World Conference on Muslem Education di Mekah tahun 1977 disebutkan :
“The meaning of education in its totality in the context of Islam is inherent in the connotation of the term tarbiyah, ta’lim and ta’dib taken together.”[1]

Jadi pengertian pendidikan Islam meliputi tarbiyah, ta’lim, ta’dib sebagai totalitas (sistem).  Istilah tarbiyah yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja robba bermakna mengasuh, mendidik dan memelihara, sedang ta’lim yang berasal dari kata kerja ‘allama mempunyai mengajar, yang lebih bersifat pemberian atau penyanpaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.  Istilah ta’dib yang merupakan bentukan kata kerja addaba berarti mendidik yang lebih tertuju pada peyempurnaan akhlak budi pekerti.[2]  Jadi pendidikan Islam berdasarkan makna yang terkadung ketiga peristilahan tersebut aktifitas mengasuh, memlihara, mengajar dan pembinaan budi pekerti peserta didik secara integral berdasarkan nilai-nilai Islam.
Naquib al-Attas memakai istilah ta’dib untuk mempresentasikan batasan pendidikan Islam dari pada menggunakan “tarbiyah dan ta’lim”.  Paparnya, istilah tarbiyah penggunaannya masih umum dan tidak terbatas pada manusia, tetapi unuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, beternak misalnya, tercakup dalam pengertian tarbiyah.  Sedangkan ta’lim mencakup pengertian yang sempit dari pendidikan, yaitu pengajaran.[3]  Jadi istilah ta’dib yang lebih tepat dipakai untuk konsep pendidikan Islam karena tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja, dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia.  Selain dari pada itu, kata ta’dib erat hubungannya dengan kondisi ilmu dalam Islam yang termasuk dalam isi pendidikan Islam.[4]
Uraian terhadap ta’dib tersebut menekankan proses pendidikan, berupa transformasi ilmu pengetahuan dan pengembangannya, penanaman nilai spiritual kultural demi aktualisasi diri dalam kerangka hablum minallah dan hablum minannas yang didasari pada sikap disiplin diri untuk memberikan pencerahan masyarakatnya.
Jika al-Attas menggunakan “ta’dib” untuk mempresentasikan konsep pendidikan Islam, maka Fattah Jalal memakai istilah ta’lim.  Istilah tarbiyah, menurut Fattah Jalal, terbatas pada proses persiapan dan pengasuhan pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak yang menjadi tanggung jawab keluarga.[5]  Dasar yang dipakainya adalah Surat Al Isra’ ayat 24 :  
dan ucapkanlah, Ya Robbi, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana (kasihnya) mereka berdua mendidik aku waktu kecil.”[6]   
Selanjutnya yang dimaksud dengan ta’lim menurut Fattah Jalal, lebih universal dibanding dengan proses tarbiyah, penjelasannya :
“Sebab ketika mengajarkan tilawatil Qur’an kepada kaum muslimin, Rosulullah SAW. Tidak terbatas pada membuat mereka sekedar dapat membaca saja, melainkan ‘membaca dengan renungan’ yang berisikan pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah. 
Dari membaca seperti ini rosul membawa mereka kepada tazkiyah (pensucian) yaitu pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima hikmah.  Kata al-hikmah berasak dari kata al-ihlam yang berarti kesungguhan di dalam ilmu.”[7]

Ayat Al Qur’an yang dijadikan rujukan Fattah Jalal adalah surat Al Baqoroh ayat 151.
   “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat padamu) Kami telah mengutus kepadamu rosul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kamu Al-Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”[8]
Jadi menurut keterangan Fattah Jalal, “ta’lim tak terbatas pada mengajar yang sifatnya kognitif, tetapi mencakup aspek perasaan, sikap maupun keterampilan.  Sehingga untuk mencapainya perlu proses panjang dan berkesinambungan sejak lahir hingga meninggal.  Sedangkan “tarbiyah” menunjuk pada persiapan dan pemeliharaan kanak-kanak dalam keluarga yang dilakukan keluarga.  Tanggung jawab orang tua adalah mengasuh dan engasihi anak, berupaya memenuhi kebutuhan biologisnya berupa sandang, pangan, ketenangan, dan mengajarkan dasr-dasar tata krama agar kepribadian anak terbentuk secara sempurna.
Di sini Abdul Fattah Jalal lebih memakai “ta’lim” dari pada tarbiyah.  Karena dengan ta’lim, makna pendidikan sudah mencakup aspek moral disamping memberikan ilmu.  Sedang kegiatan Tarbiyah merupakan bagian dari ta’lim.
Bagi Achmadi, perbedaan penggunaan istilah ta’dib, ta’lim ataupun tarbiyah tidak diperdebatkan, karena sesungguhnya ketiga istilah tersebut merupakan satu kesatuan yang saling terkait.[9]  Apabila pendidikan dinisbatkan kepada ta’dib, maka pelaksanaannya melalui ta’lim sehingga diperoleh ilmu.  Dari ilmu yang diperoleh terwujudlah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam sebagai “segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya untuk menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai norma Islam.”[10]
Pengertian pendidikan Islam sebagaimana diterangkan Achmadi nampaknya sejalan dengan pendapat Syahminan Zaini yaitu sebagai pengembangan fitrah manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin.  Ungkapnya :
“Pendidikan Islam ialah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran Islam, agar terwujud (tercapai kehidupan manusia yang makmur dan bahagia).”[11]
Dari pengertian ini dapat ditangkap beberapa poin poko pengertian.  Fitrah yang dikembangkan untuk direalisasikan mencakup segenap potensi manusia yang berupa agama, intelektual, tata susila, kemasyarakatan, keadilan, persamaan, kemerdekaan maupun cinta dan kasih sayang.  Kesemuanya dikembangkan dalam pendidikan Islam dengan dilandasi nilai-nilai Islam untuk mencapai tujuan kebahagiaan.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi pendidikan Islam bukan hanya kelembagaan untuk megarahkan subjek didik mencapai yang dicita-citakan dan mengembalikan jalan yang menyimpang kepada jalan lurus, sehingga menjadi manusia yang berkepribadian Islam.
Ahmad D. Marimba menjelaskan :
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.[12]

Kepribadian utama di sini dimaksudkan sebagai yang di dalamnya terkarakter nilai-nilai Islam.  Nilai dimaksud berupa akhlak mulia yang merupakan cermin dari keimanan seseorang.[13] Maka lingkungan amat menetukan bagi terbentumya kepribadian yang utuh, khususnya lingkungan pendidikan.  Oleh karenanya, sebagai pembimbing hendaknya sadar benar akan pembentukan akhlak ini, artinya pembentukan kepribadian ini hendaknya didasari dengan niat dan pelaksanaan yang melibatkan aktivitas jasmaniah dan mental spiritual yang sungguh-sungguh, dimulai dari tingkat individu menuju kepada komunitas Islam yang lebih luas.
Syekh Muhammad Al-Gholayani menjelaskan tentang penanaman akhak mulia dalam pendidikan Islam, sebagai berikut :
 Pendidikan (attarbiyah) adalah penanaman akhlak yang mulia pada jiwa pemuda dan menyiramnya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga menjadi sikap dari beberapa sikap jiwa, kemudian hasilnya menjadi suatu kemuliaan, kebaikan dan cinta terhadap perbuatan untuk kepentingan tanah air.”[14]

Dari beberapa uraian tentang pengertian pendidikan Islam tersebut, dapat dikonglusikan bahwa batasan tentang pendidikan Islam adalah seluruh aktifitas untuk merealisasikan dan mengembangkan segenap potensi (fitrah) manusia sunjek didik secara seimbang dan integral yang meliputi aspek intelektual, moral, jasmaniah, rubaniah (spiritual) kejiwaan, agar terbentuk kepribadian muslim yang dilandasi oleh iman, ilmu dan amal saleh        (akhlak mulia) sehingga dapat melaksanakan fungsi kemanusiaannya (humanity) sebagai rahmatan lil ‘alamin yang taat kepada Allah SWT.




[1] Dikutip Ahmad Ludjito, Abdurrahman Cs, Agama dan Masyarakat, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1993, hlm. 383
[2] Achmadi, Islam Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta, Aditya Media, 1992, hlm. 14-15
[3] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka Al Husna, et, al, 1987, hlm. 5
[4] Ibid
[5] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung, CV. Diponegoro, cet. 1, 1988, hlm.28
[6] Departemen Agama, Al qur’an dan Terjemahnya, Semarang, PT. Tanjung Mas, 1992, hlm. 428
[7] Abdul Fatah Jalal, Op.Cit, hlm. 27-28

[8] Departemen Agama, Op.Cit, hlm. 38
[9]  Achmadi, Op.Cit, hlm. 16
[10] Ibid, hlm. 20
[11] Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta, Karya Mulia, 1986, hlm. 4
[12] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT. Al Maarif, 1986, hlm. 23
[13] Dr. Jalaludin dan Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 95
[14] Syekh Mustafa Al-Gholayani, ‘Idhatu Al-Nasyi in, Pekalongan, Raja Murah, 1913, hlm. 189

Tidak ada komentar:

Posting Komentar