MANUSIA DAN TUPOKSINYA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh : Safrudin
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al
Qur’an banyak sekali memberi gambaran mengenai manusia dan kehidupannya,
manusia diciptakan dalam bentuk raga yang sebaik – baiknya dan rupa yang sindah
– indahnya serta dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa
seperti panca indera dan hati agar manusia bersyukur kepada Tuhan yang telah
menganugerahkan keistimewaan – keistimewaan kepada manusia.
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Manusia diciptakan untuk memimpin
dan mengatur alam ini karena pada diri manusia terdapat akal yang sehat. Seperti
halnya Allah menciptakan manusia ini tentunya mempunyai tujuan, tugas pokok dan fungsi manusia itu sendiri.
Dalam hal ini pemakalah mencoba untuk membahas tugas
pokok dan fungsi manusia dalam prespektif Al Qur’an dengan harapan agar
khasanah keilmuan tentang tujuan diciptakannnya manusia di alam semesta ini lebih
mendalam dan lebih dapat dipahami dengan
pendampingan kalam Illahi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Islam tentang
Manusia dalam perspektif al-Qur’an?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang
tupoksi manusia dalam perspektif al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan
makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pandangan al-Quran
tentang manusia
2. Untuk Mengetahui pandangan al-Qur’an
tentang tupoksi manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia dalam Perspektif al-Qur’an
1. Hakekat Manusia
Manusia
pada hakikatnya adalah makhluk hidup yang memiliki kepribadian yang tersusun
dari perpaduan dan saling hubungan dan pengaruh mempengaruhi antara unsur-unsur
jasmani, dan rohani, dan karena itu penderitaan dapat terjadi pada tingkat
jasmani maupun rohani.[1]
Manusia
pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam suku dan bangsa, serta bahasa dan
warna kulit yang berbeda-beda. Karena itu manusia menurut pandangan Islam adalah umat yang
satu ummatun wahidatun. Manusia
menurut Islam hanya milik Allah dan hamba Allah dan tidak boleh menjadi hamba
dari makhlukNya, termasuk hamba dari manusia.[2]
Menurut
Murtdha mutahhari mengatakan bahwa manusia yaitu khalifah tuhan di bumi,
manusia merupakan makhluk yang mempunyai intelligensi yang paling tinggi,
manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan tuhan, manusia dalam fitrahnya
memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, manusia merupakan makhluk
pilihan, manusia bersifat bebas dan merdeka, manusia memiliki kesadaran moral,
jiwa manusia tidak akan pernah damai kecuali dengan mengingat Allah, segala
bentuk karunia duniawi, diciptakan untuk kepentingan manusia, Tuhan menciptakan
manusia agar mereka menyembah-Nya dan tunduk patuh kepada-Nya. Manusia tidak
dapat memahami dirinya kecuali dalam sujudnya kepada Tuhan dan dengan
mengingatnya setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia
semesta setelah mereka meninggal dan selubung roh mereka disingkapkan, manusia
tidaklah semata-mata tersenuh oleh motivasi dunia saja.[3]
Menurut
al-Qur’an manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Jadi, manusia itu berasal dan
datang dari Tuhan.[4]
Manusia
juga berarti al-Basyar, mengandung
pengertian bahwa manusia dalam konteks dimensi material, jasmaniah, fisika dan
berwujud yang suka makan, berjalan-jalan, tertawa, menangis, berbadan tinggi
atau rendah, ganteng atau cantik. Dalam hal ini al-Qur’an menyebutkan sebanyak
35 kali. Manusia dalam arti ini yaitu makhluk yang paling lemah, hidup diatas
kasih sayang orang tuanya dengan keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Karena
itu, wajar bila harus berbuat baik kepada kedua orang tua.
Manusia
yang berarti al-Naas, mengandung
pengertian sebagai spesies dari keturunan Adam yang bisa berpikir, berbicara
dan berperasaan. Dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan sebanyak 240 kali. Seperti
dalam Qs. al-Hujurot: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ)
/ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur
$\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9
4 ¨
bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã
«!$# öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$# îLìÎ=tã
×Î7yz
ÇÊÌÈ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Manusia
yang berarti al-Insaan, menunjuk pada
pengertian yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka Bumi, menerima beban
taklif, dan amanah kemanusiaan yang ditolak oleh bumi. Tapi manusia menerimanya
karena dibekali ilmu, al-Bayan, al-aql,
at-Tamyiz. Dalam al-Qur’an juga disebutkan sebanyak 65 kali.[5]
2. Proses Terjadinya Manusia
Pandangan
al-Qur’an mengenai asal usul manusia yaitu bahwa manusia diciptakan dari tanah.
Seperti dalam Qs. Nuh: 17-18:[6]
ª!$#ur
/ä3tFu;/Rr&
z`ÏiB
ÇÚöF{$# $Y?$t7tR ÇÊÐÈ §NèO
ö/ä.ßÏèã
$pkÏù öNà6ã_Ìøäur %[`#t÷zÎ) ÇÊÑÈ
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari
tanah dengan sebaik-baiknya. Kemudian Dia mengambalikan kamu ke dalam tanah dan
mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.”
Dalam Qs. Thoha: 55 juga
menyebutkan tentang tanah:
$pk÷]ÏB öNä3»oYø)n=yz
$pkÏùur öNä.ßÏèçR
$pk÷]ÏBur
öNä3ã_ÌøéU ¸ou$s?
3t÷zé& ÇÎÎÈ
“Dari bumi (tanah) Itulah Kami
menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami
akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”
Penciptaan
manusia adalah suatu proses alami yang berlangsung melalui beberapa tahap,
adapun tahapanya sebagai berikut: [7]
a. Tahap Jasad
Menurut Ibn Mandzur
menulis bahwa Abu Ishaq bahwa jasad ialah sesuatu yang tidak bisa berfikir dan
tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai. Dalam al-Qur’an juga disebutkan
penciptaan manusia adalah dari tanah (turab, thin, lumaim, masnun dan shalshal).
b. Tahap Hayat
Dalam tahap hayat bahwa
esensinya manusia yaitu ada pada gerakan, suatu kehidupan tidak dapat dimengerti
tanpa adanya gerakan dan dalam setiap gerakan terpancar adanya kehidupan.
c. Tahap Roh
Tahap roh disini yaitu
dimensi psikis manusia yang bisa menjadi aktual jika ditampung dalam badan atau
tubuh. Roh ini merupakan sumber langsung dari Tuhan dan membawa sifat-sifat dan
daya yang diberikan suatu potensi untuk menjadi khalifah di bumi.
B. Tugas Pokok dan Fungsi Manusia dalam
Perspektif al-Qur’an
Tujuan hidup manusia secara global
yaitu untuk mencapai kebaikan yang asasi. Keseluruhan tuntunan Islam menjamin
manusia untuk mencapai tujuan yang luhur, akan tetapi tidak ada jaminan absolut
bahwa semua manusia akan mampu untuk memiliki kebaikan.[8]
Fungsi merupakan jabatan, tugas
ataupun kewajiban. Dengan demikian, tugas dan fungsi manusia yakni ibadah
dan khalifah tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, atau tidak dapat
dilaksanakan hanya secara parsial, karena aspek ibadah juga mencakup kepada
aspek khalifah dan begitu juga aspek khalifah mencakup aspek ibadah.
Fungsi dan kedudukan manusia di dunia ini adalah
sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia ini adalah
untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk
mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di atas bumi
ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka untuk
beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di dunia
dan ketenangan di akhirat.
Banyak sekali ayat yang menjelaskan mengenai tiga
pandangan ini kepada manusia. Antara lain seperti disebutkan pada Surah
Al-Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“.
(Q.S. Al-Baqarah: 30)[9]
Adapun tujuan pokok dan fungsi manusia dalam
perspektif al-Qur’an yaitu:[10]
1. Dijadikan Allah sebagai khalifah di Bumi, yang
terdapat dalam Qs. al-Baqarah: 30.
Î)ur tA$s%
/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y`
Îû
ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz
( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB
ßÅ¡øÿã
$pkÏù
à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR
x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur
y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ)
ãNn=ôãr& $tB
w tbqßJn=÷ès?
ÇÌÉÈ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
Khalifah adalah seseorang yang diberi tugas sebagai
pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki
tugas-tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah
selama manusia itu berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita sebagai khalifah Allah,
sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini yang tidak mempunyai
“kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang bersifat keduniaan
sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai khalifatullah. Jika
seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu merupakan penjabaran dari
jabatannya sebagai khalifatullah,
maka tidak ada satu manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga
tidak ada satu manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama
dia menjabat. Jabatan manusia sebagai khalifah adalah amanat Allah.
Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh atasan kita, ataupun yang
diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan amanah Allah, karena merupakan
penjabaran dari khalifatullah.
Sebagai khalifatullah, manusia harus
bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua makhluknya.
2.
Dimuliakan
Allah dan diberi kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Qs. 17:70
¨bÎ)
y7/u äÝÝ¡ö6t s-øÎh9$# `yJÏ9
âä!$t±o âÏø)tur 4 ¼çm¯RÎ) tb%x.
¾ÍnÏ$t6ÏèÎ/ #MÎ7yz #ZÅÁt/ ÇÌÉÈ
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan
rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia
Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.”
3.
Diberi alat
indera dan akal Qs. 16:78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr&
.`ÏiB
ÈbqäÜç/
öNä3ÏF»yg¨Bé&
w cqßJn=÷ès?
$\«øx©
@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9 crãä3ô±s?
ÇÐÑÈ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
4.
Tempat
tinggal yang lebih baik dibandingkan dengan makhluk lain dan diberi rizki. Qs.
70:10
wur
ã@t«ó¡o íOÏHxq
$VJÏHxq ÇÊÉÈ
“Dan tidak ada seorang teman
akrabpun menanyakan temannya”
5.
Memiliki
proses regenerasi yang teratur melalui perkawinan.
6.
Diberi daya
berusaha dan usahanya dihargai.
Selain itu, tugas
manusia yang merupakan amanah dari Allah itu pada intinya ada dua macam, yaitu abdullah (menyembah) dan khalifah Allah yang keduanya harus
dilakukan dengan penuh tanggungjawab.[11]
Tugas hidup manusia
sebagai Abdullah merupakan realisasi
dari mengemban amanah dalam arti memelihara tugas-tugas kewajiban dari Allah
yang harus dipatuhi. Sedangkan khalifah
Allah merupakan realisasi dari mengemban amanah dalam arti memelihara,
memanfaatkan atau mengoptimalkan. Tugas hidup manusia sebagai abdullah bisa dipahami dari firman Qs.
Adzariyat 56: “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. [12]
Adapun tujuan
diciptakannya manusia menurut Chairuddin Hadhiri yaitu:[13]
1. Manusia diciptakan bukan secara main-main, melainkan
untuk mengemban amanah/ tugas keagamaan untuk mengabdi beribadah. Seperti dalam
QS.al-Mu’minun : 115
óOçFö7Å¡yssùr&
$yJ¯Rr&
öNä3»oYø)n=yz
$ZWt7tã
öNä3¯Rr&ur $uZøs9Î)
w tbqãèy_öè?
ÇÊÊÎÈ
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu
tidak akan dikembalikan kepada kami?”.
2. Manusia diciptakan untuk mengemban amanah. Seperti
dalam Qs.al-Ahzab: 72
$¯RÎ) $oYôÊttã
sptR$tBF{$#
n?tã
ÏNºuq»uK¡¡9$#
ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur
ú÷üt/r'sù br&
$pks]ù=ÏJøts
z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB
$ygn=uHxqur
ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x.
$YBqè=sß
Zwqßgy_
ÇÐËÈ
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”
3. Manusia untuk mengabdi kepada Allah.. Seperti dalam
Qs. adz-Zariyat: 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur
wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
“Dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
4. Sebagai khalifah/ pengelola di muka bumi Seperti dalam
Qs. al-Baqarah: 30
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr&
$pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9
( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
5.
Manusia mempunyai
derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Seperti dalam
Qs. al-An’am: 165
uqèdur
Ï%©!$#
öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <
Ù÷èt/ ;M»y_uy
öNä.uqè=ö7uÏj9
Îû
!$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ)
y7/u ßìÎ|
É>$s)Ïèø9$#
¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9
7LìÏm§
ÇÊÏÎÈ
“Dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
6. Manusia diciptakan untuk amar ma’ruf nahi munkar.
Seperti dijelaskan dalam Qs. al-Imron: 110
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/ 3 öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
7. Manusia merupakan makluk yang diperhatikan oleh Allah.
Seperti
dalam Qs. ar-Rahman:31
éøãøÿoYy
öNä3s9 tmr& Èbxs)¨W9$#
ÇÌÊÈ
“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan
jin.”
8. Manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Seperti dalam Qs. al-Qiyamah: 36
Ü=|¡øtsr&
ß`»|¡RM}$# br&
x8uøIã ´ß
ÇÌÏÈ
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja
(tanpa pertanggung jawaban)?”
Dua peran yang dipegang
manusia di muka bumi, sebagai kholifah dan ‘abdun, merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang
melahirkan dinamika hidup, yang syarat dengan kreativitas dan amaliah yang
selalu berpihak pada nilai – nilai kebenaran. Oleh karena itu hidup seseorang
muslim akan dipenuhi dengan amaliah, kerja keras tiada henti, sebab kerja bagi
seorang muslim adalah membentuk amal sholeh. Kedudukan manusia dimuka bumi
sebagai kholifah dan hamba Allah, bukanlah dua posisi yang bertentangan,
melainkan satu kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifahan adalah
realisai dari pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya. Dua sisi tugas
dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa.[14]
BAB III
KESIMPULAN
1. Hakikat manusia terletak dalam relasinya dengan
Tuhan disamping relasinya dengan sesama manusia dan alam pada umumnya. Adanya dimensi – dimensi
yang ada pada manusia secara potensial memungkinkan
manusia mengadakan hubungan dengan Tuhan dan mengenal – Nya melalui cara – cara
yang di ajarkan - Nya.
2. Manusia berfungsi sebagai
kholifah di bumi dan diciptakan Tuhan bukan secara main – main, melainkan untuk
mengemban amanah dan untuk beribadah kepada-Nya, serta selalu menegakan
kebajikan sekaligus menghilangkan keburukan dengan segenap tanggung jawab.
3. Fitra Manusia adalah suci dan beriman.
Kecenderungan kepada agama merupakan sifat dasar manusia, dan sadar atau tak
sadar manusia selalu merindukan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama “ Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Agama Islam “, Jakarta 2009, hlm. 47
Fatah, Rohadi, Sudarsono. 1997. Ilmu dan Tehnologi dalam Islam. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Hadhiri, Choiruddin. 2002. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
Hakim, Atang Abdul, Jaih Mubarok. 2004. Metodologi Studi Islam. Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya.
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM Dalam Perspektif Islam.
Jakarta:Salemba.
Muhaimin. 2001. Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mursidin. 2011. Moral Sumber Pendidikan. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Nasrullah, Rully, Abdul Mukti Rouf. 2008. Manusia dari Mana dan Untuk Apa?. Jawa
Timur: Mashun.
Prasetyo, Joko Tri. 2009. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Tafsir,
Ahmad.
2008. Filsafat Pendidikan Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ta’rifin, Ahmad. 2010. Ilmu Alamiah Dasar. Pekalongan: STAIN PRESS.
[1] Joko Tri Prasetyo dkk, Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2009), h. 122.
[2] Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam
(Jakarta:Salemba, 2003), h. 15-16.
[3] Ibid h. 20.
[7] Rully Nasrullah dan
Abdul Mukti Rouf, Manusia dari Mana dan
Untuk Apa? (Jawa Timur: Mashun, 2008), h. 32-51.
[8] Rohadi
Abdul Fatah dan Sudarsono, Ilmu dan
Tehnologi dalam Islam (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1997), h. 39.
[11] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2001), h. 21.
[12] Atang Abdul Hakim, Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya),
h. 210.
[13] Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an
(Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 81.