Model
Kajian Hadits Melalui Penelitian
(
Urgensi
Kajian Hadits Tentang Penelitian Sanad dan Matan
)
----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA 2015 –
2016 SEMESTER 1 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH STUDI HADITS INTEGRATIF
DOSEN PENGAMPU : Dr.
ZAWAWI, MA
I.
Pendahuluan
Selain
selain sebagai Rasul yang mengemban tugas risalah. Nabi Muhammad Saw. tetaplah
seorang manusia sebagaimana yang lainnya. beliau memililki kebutuhan jasmani
dan ruhani; memiliki keinginan dan selera; memiliki kebiasaan dalam kehidupan
sehari – hari.[1]
Oleh karena itu segala sesuatu yang berasal dari Nabi merupakan As Sunah yang
perlu kita kaji.
Pada
Umumnya umat Islam, tanpa menafikan adanya sekelompok umat yang menanamkan
dirinya sebagai munkir al sunnah yang dengan demikian mengingkari
posisinya sebagai sumber tasyri’, menyepakati posisi hadits sebagai sumber tasyri’
Islam kedua dalam stratifikasi sumber hukum Islam. Kedua sumber hukum ini
saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks perannya
memberikan tuntunan hidup manusia. Jika Al Qur’an meupakan sumber utama yang
berisi prinsip – prinsip pokok kehidupan yang diterangkan secara mujal, maka hadits merupakan mubayyin dan
tuntunan operasionalnya.
Mengingat
posisi hadits yang demikian strategis sebagai salah satu sumber pokok ajaran
Islam, maka kajian – kajian terhadapnya menjadi sangat urgen untuk dilakukan.
Kajian dimaksud tidak saja matannya, tetapi yang lebih penting dilakukan
pertama adalah sanadnya. Bahkan para ulama menyatakan bahwa tanpa sanad, matan
sebaik apapun tidak akan pernah dinyatakan sebagai hadits. oleh karena itu
posisi yang demikian sentral inilah, kajian terhadap hadits menjadi penting
dilakukan. Kajian dan pemahaman terhadap hadits berikut ragam seluk beluk dan
problematikanya, mengharuskan adanya upaya serius dan sungguh – sungguh
terhadap ilmu hadits, yang membutuhkan kajian dan penelitian.[2]
untuk itu penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana urgensi dalam penelitian
hadits kemudian model kajian hadits melalui penelitian sanad dan matan sehingga
sedikit memberikan khasanah bagi kita bagaimana memahami hadits atau mengkaji
hadits dari segi sanad dan matannya.
II.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
Urgensi Penelitian Hadits ?
2. Bagaimana
Penelitian Sanad dan Prosedur Penerapannya ?
3. Bagaimana
Penelitian Matan ?
4. Bagaimana
Kriteria Penilaian Keshahihan Matan ?
III.
Pembahasan
Hadits
Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an, yang setiap muslim
wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran – ajaran yang terdapat didalamnya.
Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan
bagi setiap muslim. Karena untuk beramal dengan ajaran – ajaran yang terdapat
dalam hadits
Hadits
dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas
kaum muslimin dari berbagai mazhab Islam, sebagai sember ajaran Islam, karena
dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan
spesifik. sepanjang sejarahnya, hadits – hadits yang tercantum dalam berbagai
kitab hadits yang telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga
menghasilkan kualitas hadits yang diinginkan
oleh para penghimpunnya. Dalam penelitiannya, para ulama hadits itu menggunakan
dua pendekatan, yaitu kritik sanad dan matan, sehingga melahirkan teori – teori
yang berkaitan dengannya.[3]
A.
Urgensi Penelitian Hadits
Ada beberapa urgensi hukum yang mendasari pentingnya penelitian
hadits, yakni : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum
Islam II ; kedua, terkait dengan historisitas hadits. Argumen historis ini
mencakup alasan karena tidak semua hadits telah tertulis di masa Nabi, secara
faktual telah terjadi sebuah manipulasi dan pemalsuan hadits ; bahwa proses
kodifikasi hadits terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.[4] Kodifikasi
hadits yang dimaksud adalah penghimpunan, penululisan, dan pembukuan hadits
Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara ( khalifah ) bukan dilakukan atas
inisiatif perorangan untuk keperluan pribadi. kodifikasi hadits dimaksudkan
untuk menjaga hadits Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik dikarenakan
banyaknya periwayat penghafal hadits yang meninggal maupun karena adanya hadits
– hadits palsu yang mengacau balaukan keberadaan hadits – hadits Nabi.[5] Kondisi
hadits pada masa perkembangan sebelum pengondifikasian dan filterisasi pernah
mengalami pembauran dan dan kesimpangsiuran ditengah jalan sekalipun hanya
minoritas saja. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits –
hadits yang beredar dan dasar kaidah – kaidah atau peraturan – peraturan yang
ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu tersebut menjadi
ilmu hadits. Dr. M. Syuhudi Isma’il menjelaskan latar belakang perlunya
penelitian hadits karena enam hal, empat diantaranya hadits nabi sebagai salah
satu sumber ajaran Islam. Salah satu upaya dalam membendung tersebarnya hadits maudhu’,
para ulama mempersyaratkan adanya sanad ( sandaran periwayatan ) bagi perawi
hadits, membuat kaidah - kaidah penerimaan hadits yang diterima dan ditolak dan
lain – lain.[6]
B.
Penelitian Sanad dan Peosedur Penerapannya
Penelitian
sanad atau yang populer dengan sebutan kritik ( naqd ) sanad dimaksudkan
untuk mendukung penelitian hadits dengan tujuan utamanya menilai dan
membuktikan secara historis bahwa apa yang disebut sebagai hadits itu memang
benar dari Rasulullah. Objek penelitian kritik sanad adalah hadits yang masuk
kategoti hadits ahad, dan bukan yang mutawatir.[7]
Dalam kategori pembagian seperti ini, hadits mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasinya, yang menurut adat
tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi
dan memberikan ilmu yakin. Sedang hadits ahad adalah hadits yang tidak
memenuhi syarat – syarat hadits mutawatir.[8]
Hal ini didasarkan pada alasan bahwa hadits ahad terdapat indikasi
adanya hadits – hadits yang tidak shahih, sedangkan mutawatir ulama
hadits sepakat akan validitas dan keshahihannya.
secara
singkat, dapat dinyatakan bahwa parameter kritik sanad itu meliputi seluruh
kaedah keshahihan hadits, sebagai berikut :
1.
Sanad
Bersambung : adalah setiap periwayat dalam hadits menerima riwayat hadits dari
periwayat terdekatsebelumnya. Aspek yang diteliti adalah biografi perawi, yang
mencangkup : nama lengkap, tahun lahir –
wafat, daftar guru – murid, dan rihlah ilmiah. Aspek ini diteliti dalam kitab –
kitab rij’al al hadits.
2.
Perawi
Adil ; Adilnya perawi menurut Imam Muhyidin dilihat dari empat kriteria, yaitu
Islam, Mukallaf, tidak fasik dan senantiasa menjaga citra diri dan martabatnya (
muru’ah ). Perawi Adil diteliti melalui al jarh wa al ta’dil di
dalam kitab – kitab menjelaskan biografi para perawi hadits ( rijal al
hadiys ).
3.
Perawi
Dhabit ; Sifat dhabit dapat diketahui melalui tiga hal, yaitu, tidak banyak
lupa ketika meriwayatkan sebuah hadits, masih hafal ketika meriwayatkan dengan
makna. Perawi dhabit diteliti melalui Perawi Adil diteliti melalui al jarh
wa al ta’dil di dalam kitab – kitab menjelaskan biografi para perawi
hadits ( rijal al hadiys ).
4.
Terhindar
dari Syadz ; adanya syadz dalam hadits menurut Syafi’i adalah hadits tertentu diriwayatkan
oleh perawat tsiqoh, yang bertentangan dengan periwayat yang lebih
banyak yang juga tsiqoh. Tidak ada syadz (lazimnya tercover pada
keadilan dan kedhabitan perawi, meskipun tidak mesti demikian).
5.
Terhindar
dari Illat ; Menurut ilmu shalah, pengeertian ‘illat adalah cacat yang
tersembunyi yang merusak kualitas suatu hadits. Tidak adanya illat (lazimnya
tercover pada keadilan dan kedhabitan perawi, meskipun tidak selalu demikian).[9]
C.
Penelitian Matan
Matan
menurut bahasa adalah apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi, kuat,
sesuatu yang nampak dan asli, Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat
setelah berakhirnya sanad, definisi lain menyebutkan bahwa matan adalah
beberapa lafadz hadits yang membentuk beberapa makna, sedangkan menurut ahli
hadits, matan adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad. Dinamakan
matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya
kepada yang mengatakan, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah
hadits dengan sanadnya.[10]
Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan ada syarah. Matan disini
dimaksudkan karya atau karangan asal seorang yang pada umumnya menggunakan
bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarah-nya dimaksudkan
penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam konteks Hadits,
Hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh para ulama.
Matan hadits ini sangat penting karena menjadi topickkajian dan kandungan
syari’at Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.[11]
1)
Sejarah
munculnya Kritik Matan
Kritik
matan sesungguhnya bukan hal yang baru. pada masa Nabi kegiatan ini telah
dilakukan, meskipun dalam pengertian yang sangat sederhana. Para sahabat datang
menemui Nabi untuk melakukan pengecekan kebenaran dan melakukan konfirmasi dan
konsultasi atas keabsahan suatu matan hadits yang diterimanya.
Kegiatan
ini selanjutnya diteruskan oleh sahabat. Kritik matan yang terjadi di kalangan
sahabat, umumnya dilakukan oleh hadits yang diriwayatkan oleh salah satu yang
tidak menerima langsung dari Nabi SAW, melainkan dari sahabat lainnya. Diantara
cara untuk menguji hadits adalah dengan membandingkan ayat Al Qur’an, seperti
yang dilakukan oleh Aisyah.
Dengan
menindak lanjuti apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut, ulama hadits mulai
menjelaskan keshahihan suatu hadits dengan melakukan pemilihan dan
pengkategorikan sehingga muncul istilah hadits shahih, hasan, dan dhaif.[12]
2)
Tata
Cara Kritik Matan
Kajian
hadits Nabi memiliki posisi yang sangat penting, karena hadits merupakan sumber
kedua dalam hukum Islam. kajian hadits pada masa sekarang terbagi menjadi 3
bahasan. pertama, berkaitan denagan ilmu musthalah hadits, termasuk
untuk mempertahankan hadits dari serangan orang – orang yang menolak hadits dan
para orientalis. kedua berkaitan dengan methode tahrij serta kritik
matan dan sanad hadits, ketiga, bahasan yang berkaitan dengan pemahaman
hadits.[13]
Tidak ragu lagi bahwa kritik matan adalah bagian dari kajian penelitian hadits.
Syuhdi Ismail membagi metodologi kritik matan ke dalam tiga golongan, yaitu :
a)
Meneliti
Matan Dengan Melihat Kualitas Sanad
Langkah
kegiatan kritik matan yang dilakukan dengan melihat kualitas sanad dalam
hubungannya dengan kualitas hadits melahirkan beberapa kemungkinan, yaitu : 1) sanadnya
shahih dan matannya shahih, 2) sanadnya shahih dan matannya dhaif, 3) sanadnya
dhaif dan matannya shahih, 4) sanadnya dhaif dan matannya dhaif. Dengan
beberapa kemungkinan tersebut, menurut ulama hadits bahwa sebuah hadits
dinyatakan shahih apabila sanad dan mantannya berkualitas shahih.
b)
Meneliti
Susunan Matan yang Semakna
Terjadinya
perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna disebabkan dalam periwayatan
hadits telah terjadi periwayatan secara makna. Perbedaan lafadz yang tidak
mengakibatkan terjadinya perbedaan makna, asalkan sanadnya sama – sama shahih,
maka hal ini dapat ditoliter, seperti hadits riwayat al-bukhari dalam kitab Shahih
Al Bukhari tentang niat.
c)
Meneliti
Kandungan Makna
Dalam
meneliti kandungan makna, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mempertahankan matan – matan atau dalil – dalil lain yang mempunyai masalah
yang sama. Jika terdapat matan lain sementara topiknya sama maka yang kemudian
harus diteliti adalah sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi kriteria shahih, maka
barulah kegiatan muqaranah kandungan matan – matan tersebut dilakukan.[14]
D.
Kriteria Penilaian Keshahihan Matan
Untuk menentukan keshahihan matan suatu hadits, para ulama telah
melakukan penelitian dan kritik secara seksama terhadap matan – matan hadits,
sehingga dapat disusun beberapa criteria atau kaedah yang dapat dijadikan tolak
ukur bagi sebuah matan yang shahih.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan ulama beragam. Al Khatib al
Bagdadi misalnya, menjelaskan bahwa matan hadits yang maqbul adalah
matan yang memiliki indikator sebagai berikut.
1.
Tidak
bertentangan dengan akal sehat.
2.
Tidak
bertentangan dengan hukum Al Qur’an yang telah muhkam.
3.
Tidak
bertentangan dengan hadits mutawatir
4.
Tidak
bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama masa lalu.
5.
Tidak
bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6.
Tidak
bertentangan dengan hadits yang kwalitasnya keshahihannya lebih kuat.
Dari tolak ukur yang berbeda – beda, tingkat akurasi penelitian
hadits lebih ditentukan oleh ketepatan dan ketepatan metodologis, kecerdasan
dan kapasitas intelektual, keluasaan pengetahuan dan kecermatan seorang
peneliti hadits.
IV.
Kesimpulan
1.
Ada
beberapa urgensi hukum yang mendasari pentingnya penelitian hadits, yakni :
pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam 2 ; kedua,
terkait dengan historisitas hadits.
2.
Penelitian
sanad atau yang populer dengan sebutan kritik ( naqd ) sanad dimaksudkan
untuk mendukung penelitian hadits dengan tujuan utamanya menilai dan
membuktikan secara historis bahwa apa yang disebut sebagai hadits itu memang
benar dari Rasulullah.
3.
Dalam
meneliti kandungan makna, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mempertahankan matan – matan atau dalil – dalil lain yang mempunyai masalah yang
sama. Jika terdapat matan lain sementara topiknya sama maka yang kemudian harus
diteliti adalah sanadnya.
4.
Dari
tolak ukur yang berbeda – beda, tingkat akurasi penelitian hadits lebih
ditentukan oleh ketepatan dan ketepatan metodologis, kecerdasan dan kapasitas
intelektual, keluasaan pengetahuan dan kecermatan seorang peneliti hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, “ Studi Kitab Hadits “, Penerbit
Teras, Yogyakarta, 2009.
Al Qaththan ,
Syaikh Manna’, “Pengantar Studi Ilmu Hadits “, Pustaka Al Kautsar,
Jakarta 2014
Idri “ Studi Hadits “ Kencana Media Group “, Jakarta, 2010,
hlm. 93,2009
Kasman, “Hadits dalam Pandangan
Muhammadiyah “, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2012
Majid Khon ,
Abdul “ Ulumul Hadits “, Penerbit Amzah,2009, hlm. 67
Musthofa Yaqub
, Ali “ Cara Benar Memahami Hadits “, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2014
Sambulah , Umi
“ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, UIN Maliki Press, Malang, 2010
M. Jakfar, Tarmidzi, “
Otoritas Sunnah Non Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Al Qordhowi “, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2013
[1] Dr. Tarmidzi
M. Jakfar, MA , “ Otoritas Sunnah Non
Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Al Qordhowi “, Ar-Ruzz
Media, Yogyakarta, 2013,
hlm. 5
[2] Dr. Hj. Umi
Sambulah, M.Ag, “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, UIN Maliki Press, Malang,
2010, hlm. 1-2.
[3] Dr. M.
Abdurrahman, MA, “ Studi Kitab Hadits “, Penerbit Teras, Yogyakarta,
2009.
[4] Op.cit. “ Kajian
Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 183
[5] Dr. Idri, M.Ag
“ Studi Hadits “ Kencana Media Group “, Jakarta, 2010, hlm. 93
[6] Dr. H. Abdul
Majid Khon, M.Ag, “ Ulumul Hadits “, Penerbit Amzah,2009, hlm. 67
[7] Op.cit. “ Kajian
Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 184
[8] Dr. Kasman, “Hadits
dalam Pandangan Muhammadiyah “, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 33
[9] Op.cit. “ Kajian
Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 185
[10] Syaikh Manna’
Al Qaththan, “Pengantar Studi Ilmu Hadits “, Pustaka Al Kautsar, Jakarta
2014, hlm. 75
[11] Op.cit. “ Ulumul
Hadits “, hlm. 103.
[12] Op.cit. “ Kajian
Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 187
[13] Prof. Dr. KH.
Ali Musthofa Yaqub, MA, “ Cara Benar Memahami Hadits “, Pustaka Firdaus, Jakarta,
2014,
hlm. 1
[14] Op.cit. “ Kajian
Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar