UA-135753897-1 Jendela Ilmu: Studi Islam

Rabu, 23 Desember 2015

Studi Islam

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN
SOSIOLOGI DAN MAQOSID SYARI’AH
( REFLEKSI PEMIKIRAN M. ATHO MUDZHAR DAN JASSER AUDAH )
 ----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA  2015 – 2016 SEMESTER 1 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH STUDI ISLAM INTEGRATIF
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. MOHAMMAD HASAN BISRI, M.Ag

I.         Pendahuluan

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa ilmu ( science ) didefinisiikan sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisasi secara sistematik. Definisi tersebut memang benar adanya, tetapi William Good dan Paul Hatt (keduanya adalah guru besar pada jurusan Sosiologi di Colombia University dan North Western University, Amerika Serikat), mengingatkan bahwa difinisi itu baru memadai kalau kata – kata pengetahuan (knowledge) dan  sistematik (syistematic) di definisikan lagi secara benar. Kalau tidak, pengetahuan teologis yang disusun secara sistematik, dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural scienceis).[1] Hal tersebut dinyatakan oleh M. atho Mudzar melalui pemikirannya pendekatan studi Islam melaui sosiologi. di artikel ini penulis mencoba mengetengahkan pememikiran M. Atho Mudzar tentang Studi Islam melalui pendekatan sosiologi. Dalam artikel ini penulis juga menuliskan pemikiran tokoh besar Islam yaitu Jasser Audah melalui Maqoshid Syari’ahnya. sedikit menyinggung tentang maqoshid yaitu istilah maqosid ini diambil dari bentuk jamak dari kata  maqsud  yang berarti tuntutan, kesengajaan atau tujuan.Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat.  Adapun makna maqashid al-syariah secara istilah  adalah  al-ma’aani allati syuri’at laha al-ahkam yang berarti  nilai-nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum. Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka menetapkan hukum, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan maqashid al-syariah  menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.

II.      Pembahasan

1.      Pendekatan Studi Islam M. Atho Muzhar Tentang Agama sebagai Gejala Budaya dan Gejala Sosial.

Pada awalnya ilmu hanya ada 2 : ilmu kealaman dan ilmu budaya. ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan lain – lain mempunyai tujuan utama mencari hukum – hukum alam, mencari keteraturan – keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain. pada waktu lain dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah besok kalau dites lagi juga begitu. itulah inti daripada penelitian dalam ilmu – ilmu eksata, yakni mencari keterulangan dari gejala – gejala, yang kemudian di angkat menjadi teori, menjadi hukum.[2]

M. Atho Mudzar dalam bukunya bahwa ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture ( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus, lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ini kita bisa melihat berbagai hal terkait agama sebagai gejala agama misalnya memakai peci bagi laki – laki yang sedang sholat. Biasanya di kampung, laki – laki yang tidak memakai peci ketika sholat di anggap kurang Islam, padahal peci secara normatife bukanlah sesuatu yang wajib. inilah salah satu bentuk agama sebagai gejala budaya.[3]

Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala ini. orang boleh mengambil tokohnya, seperti K.H. A. Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution, dan lain – lain sebagai sasaran studinya. studi semacam ini biasanya membahas tentang kehidupan dan pemikiran tokoh itu termasuk bagaimana tokoh itu mencoba memahami dan mengartikulasikan agama yang diyakininya.[4]

Rosihan anwar menjelaskan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini berdasarkan asumsi bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya umat manusia di muka bumi.[5]

Di dalam konsep Islam benda – benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Haharul Aswad, misalnya, Umar bin Khatab mengatakan : ” Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu “. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu – batu yang lain, maka nilai Hajarul Aswad bagi seorang pengamat agama terletak pada kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensyakralkan wahyu Allah. Tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan, yang dibacakan, ataukah isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau bacaannya maka bentuk – bentuk tulisan Al Qur’an atau penggambaran titik dan harokat, apalagi kaligrafi Al Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat di jadikan objek penelitian.[6]

2.      Pendekatan Studi Islam Jasser Audah Tentang Maqosid Al Syari’ah


Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al-Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach  Jasser Auda mengartikan Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum.  Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashalih.  Dalam konsep  Maqasid  yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama. Jasser Auda berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and preservation  menuju pada teori  maqashid  yang mengacu pada development  and rights. Teori  maqashid  yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity)   di atas dengan beberapa alasan berikut ini: a) scope  teori maqashid  meliputi seluruh hukum Islam, b) lebih bersifat individual; c) tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d) dideduksi dari kajian literature  fiqhi, bukan mengacu pada sumber original/script. Berikut ini gambaran teori maqashid kontemporer dari 3 dimensi baru. 
Para ulama’ kontemporer membagi  maqāṣid  kepada tiga tingkatan, yaitu maqāṣid  ‘āmah  (General maqāṣid/tujuan-tujuan umum), maqāṣid  khāṣṣah  (Specific) maqāṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial maqāṣid/ tujuan-tujuan parsial). Maqāṣid  ‘āmah  adalah nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’  atau di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan.  Maqāṣid  khaṣṣah  adalah  maslahat  dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam  syariah, seperti
tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system keluarga, menakut-nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman, menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqāṣid  juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam pentasyri’an hukum tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya. Di sisi yang lain, piramida  maqāṣid al-Sharīah  terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ḍarūriyah, ḥājiyah dan  taḥsīniyah. Sedangkan penelitian para ulama’ klasik, al-Maqāṣid al-ḍarūriyah dalam membuat syariah Islam terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga agama  (hifẓ al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ  al-nafs),  menjaga akal  (hifẓ   al-‘aql),  menjaga keturunan  (hifẓ al-nasl)  dan menjaga harta  (hifẓ  al-māl).  Para ulama’ klasik, semisal al-Ghazali dan al-Syatibi menyebutnya dengan al-kulliyah al-khamsah yang menurut mereka dianggap sebagai usūl al-syariah dan merupakan tujuan umum dari pembuatan syariah tersebut.Para ulama klasik menyusun  maqāṣid al-Sharī’ah  dalam tingkatan yang bersifat piramida, yang dimulai dari  maqāṣid  ‘amah  sebagai pusatnya kemudian bercabang-cabang menjadi maqāṣid khasah dan terakhir maqāṣid juz’iyah. Kemudian dari sisi yang lain dimulai dari  al-ḍarūriyah,  ḥājiyah  kemudian  tahsīniyah.[7]
Mereka menyusun  urutan prioritas jika terjadi pertentangan antara  maqasid  satu dengan lainnya, maka diprioritaskan yang lebih kuat, yaitu mendahulukan penjagaan agama atas jiwa, akal dan seterusnya. Walaupun kelihatannya teori ini sederhana, namun ternyata aplikasi teori  ini dalam realitas sangat sulit dan rumit. Karena itu muncul pandangan lain di antara ulama kontemporer semisal Jamaludin ‘Atiyah dan Jasser Auda yang berbeda dengan susunan klasik di atas. Mereka berpendapat bahwa maqāṣid al-Syarī’ah  dengan segala tingkatannya bukan merupakan susunan/bangunan yang bersifat piramid, yang mana maqasid terbagi antara yang atas dengan yang bawah, namun ia merupakan lingkaran-lingkaran yang saling bertemu dan bersinggungan (dawāir mutadākhilah wa mutaqāṭi’ah), yang hubungannya saling terkait satu dengan lainnya. Di sisi yang lain, kita tidak boleh membatasi konsep maqāṣid pada apa yang ditetapkan oleh ulama klasik sebagaimana diuraikan atas. Hal ini disebabkan perkembangan dan perubahan zaman tentu saja akan berefek pada perubahan hukum. Sesuatu yang pada masa klasik dianggap tidak berharga bisa jadi saat ini menjadi berharga dan bernilai, sebagaimana terdapat dalam berbagai komoditas, jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Begitu juga, sesuatu pada kondisi dan tempat tertentu sangat berharga tetapi pada kondisi dan tempat yang lain menjadi tidak berharga. [8]
Hal ini, menurut Jasser Auda, karena bagaimanapun  maqāṣid  adalah produk penelitian (istiqrā’) para ulama’ mujtahid dari teks-teks Syariah. Sedangkan  istiqrā’  merupakan refleksi dari taṣawwur  teoritis yang ada pada diri mujtahid.  Taṣawwur  ini bisa berubah sesuai dengan perkembangan pemikiran, kecerdasan dan perubahan kondisi dan waktu. Jasser Auda menganalogkan hal ini dengan alam semesta, yang mana pengetahuan manusia atasnya berkembang dan pemahaman manusia berubah dari zaman ke zaman seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang terus berkembang.Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul fiqh meletakkan beberapa syarat \bagi ‘illat, secara umum ada empat syarat, yaitu sifat tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur (munḍabit), bisa diberlakukan kepada realitas atau hal yang lain, tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan  mu’tabarah   dalam arti tidak ada teks yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak dipakai.Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada ta’līl al-ahkām, khususnya dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para ulama membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah  ta’abbud  dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan kebiasaan hukum asalnya  adalah melihat kepada makna dan maqasid. Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak berpedoman pada  ta’līl al-ahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm al-Dhahiri beserta pengikut mereka yang dikenal dengan madzhab Dhahiri. Mereka menolak untuk mengaitkan hukum dan teks-teks syariah dengan  ‘illat  serta mengajak untuk mengamalkan teks semata tanpa mencari illat hukum, sehingga hukumnya tidak bisa diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut. Dengan demikian mereka adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai salah
Kelompok yang berdekatan dengan mereka adalah ulama’ yang mengakui  ta’līl al-ahkām, namun mempersempit ruangnya hanya pada  illat  yang disebutkan pada teks, dan tidak memberlakukan ‘illat  yang berdasar pada akal dan logika, sehingga mereka tidak lepas dari teks dan tidak melakukan qiyas kecuali yang illatnya ditetapkan dalam teks. Konsep  ta’līl al-ahkām  merupakan dasar dari konsep  maqāṣid al-Syarī’ah sebagai filosofi penetapan hukum. Karena itu Madzhab al-Dhahiri menolak penggunaan  maqāṣid al-Syarī’ah   dalam penentuan hukum, sebagaimana sebagian ulama’ mengakui maqāṣid al-Syarī’ah, namun membatasinya pada apa yang ada pada teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada selain obyek teks tersebut. Sedang mayoritas ahli usul fiqh menekankan pentingnya penggunaan  maqāṣid al-Syarī’ah sebagi instrumen penetapan hukum berdasarkan pengakuan mereka pada  ta’līl al-ahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa  ta’līl al-ahkām  dan mengaitkannya dengan hikmah dan kemaslahatan telah menjadi kesepakatan  (ijma’) ulama’ kecuali sebagian kecil saja.Menjadikan maqāṣid al-syarī’ah  sebagai  ‘illat  sebagaimana di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini karena  maqāṣid al-syarī’ah  dan hikmah berbeda dengan  ‘illat  sebagaimana didefinisikan oleh ulama’. Walaupun  ‘illat  merupakan representasi dari  maqasid  dan hikmah, namun secara spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat sebagaimana di atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi pada maqāṣid  dan  hikmat al-syarī’ah. Karena itu Auda menekankan pentingnya penggunaan  maqāṣid al-syarī’ah  sebagai  manaṭ  hukum sebagaimana ‘illat. Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama maqāṣhid  (tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama illat-nya, ada atau tidak ada.  Lebih lanjut, Jasser Auda menggagas maqāṣid al-syarīah   dengan pendekatan system sebagai pisau analisis dalam kajian hukum Islam. Menurut Auda, penggunaan maqāṣid al-syarī’ah  dengan pendekatan system ini harus memperhatikan semua komponen yang ada dalam system hukum Islam, yaitu  cognitive nature  (pemahaman dasar), wholeness  (Keseluruhan), openness  (keterbukaan), interrelated hierarchy (hirarki yang saling terkait), multi-dimensionality  (multi dimensionalitas) dan purposefulness (orientasi tujuan) hukum Islam.[9]
III.        Kesimpulan

1.      M. Atho Mudzar mengemukakan ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture ( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus, lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.
2.      Dari Penjelasan Rosihan anwar menerangkan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini berdasarkan asumsi bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya umat manusia di muka bumi.
3.      Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al-Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA


Auda , Jasser, Fiqh al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
Auda , Jasser,  Maqāṣid  al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
Anwar , Rosihan, “ Pengantar Studi Islam “, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 31
Mudzar , M. Atho, “ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.
Mudzar dkk, M. Atho “ Rekontruksi Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 173
Nasution , Khoirudin, “ Cara Memandang dan Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.




[1] M. Atho Mudzar dkk “ Rekontruksi Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 173
[2] Dr. H.M. Atho Mudzar, “ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.
[3] Khoirudin Nasution, “ Cara Memandang dan Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.
[4] Op.cit. Dr. H.M. Atho Mudzar, hlm. 14.
[5] Rosihan Anwar, “ Pengantar Studi Islam “, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 31.
[6] Op.cit. Dr. H.M. Atho Mudzar, hlm. 15.
[7] Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
[8]  Jasser Auda,  Maqāṣid  al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
[9] Op.cit. hl,. 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar