RIBATH, ZAWIYAH DAN KAHANAQAH
DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA 2015 –
2016 SEMESTER 2 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : Dr. Hj. SOPIAH. M.Ag.
Abstrak : Ribath, Zawiyah dan
Khanqah adalah merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai penampung para
pengikut sufi dan sekaligus sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan
mereka. Lembaga Pendidikan Ribath, merupakan lembaga sufi yang lebih fleksibel,
karena di dalamnya berisi orang -orang miskin, orang-orang tua atau janda yang
tidak mampu membiayai dirinya yang ingin mendekatkan diri pada Allah, Ribath
ini muncul karena berawal dari barak-barak tentara perang Islam yang bertujuan
untuk memperluas wilayah Islam. Hal ini merupakan awal mula munculnya lembaga
ini, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi berubah fungsinya. Zawiyah,
adalah lembaga sufi yang lebih khusus yang lebih kecil ruang lingkupnya, lembaga
ini didirikan oleh seorang Syaikh yang bertujuan untuk memperluas ajaran-ajaran
tarekat tertentu. Pola pendidikan ketiga lembaga ini adalah pola pendidikan yang sangat tepat
dalam pendidikan yang sifatnya wahyu atau intuisi. Kontribusi ketiga lembaga
pendidikan sangat besar dalam mengarahkan tujuan akhir kehidupan, yaitu untuk
mengabdi pada Tuhan.
Kata Kunci : Ribat, Khanaqoh,
Zawiyah, Pendidikan
<amp-auto-ads type="adsense"
data-ad-client="ca-pub-2862519832318645">
</amp-auto-ads>
<amp-auto-ads type="adsense"
data-ad-client="ca-pub-2862519832318645">
</amp-auto-ads>
I.
Pendahuluan
Sejarah
merupakan bagian dari perjalanan sebuah umat, bangsa dan negara, maupun
individu. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu
sendiri. Oleh karena itu tanpa mengetahui sejarah, maka proses kehidupan tidak
akan dapat diketahui. Melalui sejarah pulalah manusia dapat mengambil banyak
pelajaran dari proses kehidupan suatu umat, bangsa, negara, dan sebagainya. Di
antara pelajaran penting yang dapat diambil dari sejarah adalah mengambil
sesuatu yang baik dari suatu umat, bangsa dan Negara untuk senantiasa
dilestarikan dan dikembangkan[1].
Dalam dunia pendidikan Islam juga mengalami sejarah, dalam perjalanan sejarah
pendidikan Islam salah satunya dikenal lembaga pendidikan ribath, zawiyah dan
khanaqoh. Lembaga pendidikan ini bermula dari tempat – tempat kumpul para
tentara Islam, di mana ditempat itu sering terjadi percakapan strategi, agama
dan pembahasan masalah jihad, yang kemudian dalam perkembangan sejarahnya
menjadi suatu lembaga pendidikan tersendiri, dimana lembaga pendidikan bukan
membahas masalah jihad dalam peperangan, tapi jihad fi nafsi, yaitu
jihad memerangi hawa nafsu. Dalam makalah ini penulis mencoba menghadirkan
urgensi dan keberadaan dari lembaga – lembaga pendidikan ribat, zawiyah dan
khanaqoh dalam pendidikan Islam.
II.
Pembahasan
Kelahiran
lembaga pendidikan Islam tumbuh seiring dengan kelahiran dan pertumbuhan
penyebaran Islam itu sendiri, yang sangat terkait dengan proses dakwah
Islamiyah, sehingga bentuknya belum Nampak secara formal. Proses pendidikan
Islam awal lebih banyak dilaksanakan dirumah – rumah para sahabat yang dikenal
dengan Dar al Arqom. Kemudian ketika masyarakat muslim sudah terbentuk,
maka pendidikan Islam dilaksanakan di masjid – masjid. Kedua macam pendidikan
ini memakai metode halaqah atau lingkaran belajar.[2]
Dalam perkembangan pendidikan masa selanjutnya banyak lembaga – lembaga
pendidikan Islam berkembang pesat, seperti munculnya kuttab, madrasah, ribath,
zawiyah, dan khanaqoh. Kuttab ini berkembang di masa Bani Umaiyah sedangkan
madrasah adalah Dinasti Abbasiyah. Bagaimana dengan ribath, zawiyah, dan
khanaqah ? Lembaga pendidikan ribath, zawiyah, dan khanaqah ini adalah lembaga
pendidikan yang berkembang di dunia para sufi, lembaga pendidikan ribath,
zawiyah, dan khanaqah ini merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai
penampung para pengikut sufi dan sekaligus sebagai tempat untuk memperdalam
ilmu pengetahuan mereka tentang bagaimana cara beribadah mendekatkan diri
kepada Allah denangan berbagai macam kegiatan dan latihan.[3] Diskursus
tentang lembaga-lembaga pendidikan sufi yang merupakan tempat guru dan murid
melakukan transfer keilmuan tentunya tidak lepas dengan tempat - tempat atau
pemondokan para sufi yang sering diistilahkan dengan Ribath, Zawiyah atau
Khanqah. Di kawasan Arab banyak orang dekat dengan pos-pos perbatasan atau pondok--pondok
yang disebut Ribath, diKhurasan tempat-tempat sufi ini dikaitkan dengan rumah-rumah
peristirahatan (Khanqah) atau (Zawiyah). Adapun keberadaan lembaga pendidikan
ribath, zawiyah dan khanaqoh penjelasan secara sederhana adalah sebagai berikut
:
1.
Ribath
Ribat
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi, dan mengonsentrasikan diri untuk semata – mata ibadah. Juga memberikan
perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syeikh yang
terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.[4]
Kata
Ribath dalam bahasa Arab memiliki beberapa arti (1) Sesuatu yang dibuat untuk
mengikat (tali dan sebagainya), membalut, (2) Sekawanan kuda, rombongan
(pasukan) berkuda (3) Tangsi, markas tentara (4) Tempat diwakafkan untuk fakir
miskin (5) Hati. Dalam bahasa Indonesia kata Ribat mengandung arti gedung atau
tempat melakukan pelatihan ibadah dan kewajiban lain. Dalam bahasa Spanyol kata
Ribat berasal dari kata Ribato yang berarti “Serangan balik yang berdasarkan
metode perang klasik”. [5]
Hasan
Asari menjelaskan bahwa ribath semula adalah barak-barak tentara muslim yang
berada di garis depan pertempuran.
Ribath diposisikan di perbatasan daerah yang masih dikuasai musuh atau
yang sedang dalam proses penaklukan. Seiring dengan perjalanan waktu dan
kondisi politik, maka penghuni
ribath mengalihkan kecenderungan
hidup dari pola perang fisik melawan musuh ke pola perang melawan diri dan jiwa
dengan praktik sufi. Dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam bahwa Syaykh ‘Abd
al-Qadir al-Jailani menggunakan model
ribath untuk tempat tinggal
bersama keluarga dan tempat belajar muridnya dibanding model yang lain.[6]
Sebagian
tokoh mengatakan bahwa istilah Ribath diambil dari firman Allah swt. dalam
surat al-Anfal ayat 60 :
(#rÏãr&ur Nßgs9
$¨B
OçF÷èsÜtGó$#
`ÏiB ;o§qè% ÆÏBur
ÅÞ$t/Íh È@øyÜø9$# cqç7Ïdöè?
¾ÏmÎ/
¨rßtã «!$# öNà2¨rßtãur tûïÌyz#uäur `ÏB
óOÎgÏRrß
w ãNßgtRqßJn=÷ès?
ª!$# öNßgßJn=÷èt
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka (orang--orang kafir) kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari Ribat al-Khail (kuda-kuda yang ditambat untuk berperang).
(Dengan persiapan itu), kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang
selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedangkan Allah mengetahui.
Ribath
merupakan pusat kegiatan kaum sufi, tempat pembinaan dan penggemblengan para
calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian agama
dan ibadat kepada Allah swt. Istilah ini banyak digunakan di bagian barat dunia
Islam (seperti Maroko dan Tu-nisia). Pengertiannya sama dengan Khanqah di
bagian Timur (seperti Persia, India), Zawiyah di bagian Tengah dunia Islam atau
Tekke di Turki.
Ribath
adalah sebuah istilah yang menunjukkan tempat berkumpulnya para sufi dan ahli
tarekat guna melaksanakan latihan-latihan spiritual. Menurut Maqrizi, Ribath
adalah rumah para sufi, setiap kelompok (kaum) mempunyai rumah dan ribath
adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahli al-Suffah ( sekelompok
sahabat yang mendiami emperan masjid Nabi di Madinah). Penghuni ribath adalah
orang yang mempunyai ikatan (murabith) dengan maksud, tujuan serta keadaan yang
sama. Ribath dibangun untuk (mempunyai) maksud tujuan ini.[7]
2.
Zawiyah
Zawiyah
pada awalnya merujuk pada sudut bangunan, seringkali masjid, tempat sekelompok
orang berkumpul untuk mendengarkan pengajaran seorang Syaikh. Zawiyah seperti
ini terdapat misalnya di Jami’ al-Athiq yang dibangun oleh Amru bin al-Ash
begitu ia menaklukkan Fusthath. Pada Zawiyah ini ilmu fiqh seperti ilmu - ilmu
yang lain sesuai dengan bidang Syaikhnya, merupakan bagian dari kegiatan pewarisan
ilmu. Zawiyah ini adalah bangunan yang
lebih kecil dibandingkan dengan Khanaqah. Zawiyah adalah bangunan kecil yang
sederhana, yang dipusatkan di seputar seorang Syaikh, yang semula adalah tidak
permanen karena sering Syaihnya adalah seorang pendatang.
Zawiyah
dibangun oleh seeorang Syaikh pada tarekat tertentu. Pembangunan ini diharapkan
mampu memperhanyak anggota dari tarekat tersebut, karena bangunan ini lebih
kecil dibanding dengan Khanaqah maka ia tidak mempunyai seperangkat aturan yang
jelas. Zawiyah di Mesir menjelang penaklukan Turki Usmani dikelompokkan ke
dalam dua jenis yaitu:
1) Zawiyah
tradisional yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa (Mamluk).
2) Zawiyah yang lebih independen, dan Zawiyah
inilah yang sering menjalankan fungsinya sebagai masjid dan Ribath, yaitu
menyediakan fasilitas ibadah, makanan dan perlindungan bagi orang miskin. Contoh
dari bagian kedua ini adalah Zawiyah Syaikh Ibnu Riwam yang selalu menolak
bantuan. Meskipun Zawiyah ini pada awalnya hanya berupa bangunan kecil, namun
dalam perkembangannya, menurut Fernandes banyak bangunan Zawiyah yang berupa
aula yang besar, sebagai tempat pertemuan para sufi. Kemegahan dan kebesaran
bangunan Zawiyah ini ditentukan oleh kemashuran dari Syaikhnya itu.[8]
3.
Khanaqoh
Khanqah
berasal dari bahasa Persi Okhaniqah yang dalam bentuk jamaknya adalah Khanqaha.
Ada juga yang berpendapat bahwa khanaqah itu berasal dari bahasa arab Khanqah
yang dalam bentuk jamaknya adalah
khawanik semuanya itu bermakna
ruang atau rumah. Namun istilah Khanqah ini baru mendapat perhatian dari para
sejarawan setelah abad ke-4/10.
Dalam
perkembangannya istilah ini digunakan Muhammad Ibnu Karram (806-869), seorang
pelajar hadis dan penyebar paham asketik di Iran Selatan dan Iran Timur. Dia
berhasil meraih pengikut
dari
masyarakat kelas bawah transoxania Afganistan dan Iran Timur, Yang mengajarkan
sebuah jalan hidup menuju taqwa Allah. Guru
sufi yang mengikuti tindakannya ialah Syaikh Abu Ishaq Ibrahim al-Kazaruni (963-1033),
dia menampung sejumlah besar
Pengikut
sufi di rumahnya di Iran Barat. Ia juga membangun 65 Khanaqah Iran Selatan sebagai
pusat pengajaran, pusat misionari dan tempat mendistribusikan shodaqah pada
fakir miskin. Keluarga dekatnya yang bernama Abu Sa’id Ibnu Abu al-Khoir
(967-1049) yang lahir dan meninggal di Nishapur adalah guru besar sufi yang
pertama kali menyusun aturan-aturan peribadatan dan sebuah kitab hukum perilaku
dan mengatur kehidupan komunal khanaqah.
Sekitar akhir abad ke-11 selain berfungsi missionari, tetapi juga digunakan
untuk makam guru-guru besar sufi dan akhirnya menjadi tempat peziarah mukim
awam. Aturan- aturan tersebut antara lain ialah:
1) Ahli
Khanqah harus memperhatikankebersihan baik kebersihan fisik maupun kebersihan
spiritual. Seluruh tempat tinggal tempat ibadah, harus selalu dalam keadaan
suci. Sangat dianjurkan mereka agar memelihara wudlu secara berkesinambungan.
2) Ahli Khanqah tidak dibenarkan menghabiskan
waktu dengan berbincang-bincang, lebih-lebih di tempat khanqah atau tempat suci
lainnya.
3) Ahli Khanqah harus melaksanakn shalat lima
waktu secara berjama’ah pada awal waktu.
4) Ahli Khanqah harus melaksanakan qiyam a1-lai1 (shalat malam) yang panjang untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah.
5) Ahli Khanqah harus menggunakan waktu setelah
shalat subuh untuk memanjatkan do’a dan memohon ampun.
6) Ketika
menjelang pagi harus melajutkan kegiatannya itu dengan membaca Alqur’an
sebanyak mungkin biasanya sampai siang.
7) Pada waktu siangnya juga harus mengurusi fungsi
sosial seperti mengurusi orang-orang fakir yang datang ke khanqah [9] demi
untuk mendapatkan sesuap nasi.
8) Mengembangkan tradisi
makan bersama, demi mempertebal rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam menikmati
rahmat Tuhan.
9) Kebersamaan ini
betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli khanqah tidak boleh meninggalkan
khanqah tanpa memberi tahu pada salah seoranag yang hadir di sana.
10) Waktu shalat Isya’
keseluruhannya harus dimanfaatkan untuk zikir dan wirid.
4.
Ribath,
Zawiyah dan Khanaqoh Dalam Pendidikan Islam
Seperti
yang sudah dijelaskan di atas bahwa
Syaykh ‘Abd al-Qadir al-Jailani menggunakan model ribath
untuk tempat tinggal bersama keluarga dan tempat belajar muridnya
dibanding model yang lain. Adapun
lembaga sufi zawiyah tradisional juga mempunyai hubungan erat dengan politik
penguasa (mamluk) di Mesir. Begitu pula lembaga khanaqah pada paruh kedua abad
ke-5/11 memiliki hubungan yang sangat erat dengan penguasa politik dinasti
Saljuq.Khanaqah menjadi semakin kokoh
esistensinya berkat patronase dengan penguasa. Hal ini dibuktikan dengan
meluasnya institusi khanaqah secara pesat bersamaan dengan ekspansi Saljuq ke
luar Khurasan dan Irak.[10]
Dalam Jurnal Indonesian Islamic Education Towards Science Developmen menuturkan
: Many education institutions had important role in developing this intellectual world were kuttāb, masjid –
khan, madrasah, dār al-Qur’ān, bayt al-ḥikmah
and dar al-ḥadits, besides libraries and observatories and mystical institution
such as Ribath, Zawiyah, and Khanqah. A question perhaps appears to search an
answer is: is it apologetic to say that Islam is midwife for the birth of
modern sciences.[11]
Banyak lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam
mengembangkan dunia intelektual ini adalah Kuttab , masjid - khan , madrasah ,
Dar al - Qur'an , bayt al - Hikmah dan dar al - Hadits , selain perpustakaan
dan observatorium dan lembaga mistis seperti Ribath , Zawiyah , dan Khanqah .
Sebuah pertanyaan mungkin muncul untuk mencari jawaban adalah : apakah menyesal
untuk mengatakan bahwa Islam adalah pencetus bagi lahirnya sains modern
Dalam
sejarah pendidikan Islam di Indonesia, Gerakan tasawuf dalam mengembangkan
Islam dalam dinamika dakwah di Indonesia ini sangat mempertimbangkan
aspek-aspek lingkungan yang mempengaruhinya, baik itu suasana perpolitikan,
kondisi psikologis, adat tradisi dan kecenderungan masyarakat. Termasuk juga
penggunaan media dakwah yang digunakan, baik itu melalui gerakan tarekat,
maupun politik, seperti yang dilakukan oleh para Walisongo yang menjadi
penghulu agama di kerajaan Demak dan awal kerajaan Mataram. Tarekat yang dari
asalnya di Timur Tengah, memiliki tradisi Khanqah, Ribath, dan Zawiyah
sebagai pusat-pusat pendidikan tasawuf, di Indonesia dikembangkan dalam
bentuk pesantren-pesantren yang merupakan perpaduan dari pola pendidikan
Hindu-Budha dengan tradisi tasawuf tersebut. Dan dari sinilah basis kaderisasi
para da’i tersusun dan menjadi strategis karena posisinya berkembang sebagai
sarana dan lembaga pendidikan yang dikenal dan diterima oleh masyarakat.[12]
Islam
adalah suatu agama yang menganjurkan keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Sementara
dalam dunia modern orang dituntut untuk memenuhi segala kebutuhannya, khususnya
kebutuhan yang bersifat jasmaniah. Sekularisme sudah merupakan suatu penyakit
yang menggejala. Sekulerisasi dalam kehidupan, sekularisasi dalam pemikiran
seperti dalam bidang ilmu pengetahuan merupakan suatu hasil dari kemajuan
pengetahuan dan teknologi.
Kemajuan
dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang berhasil dicapai semenjak
masa Renaisance dan aurfklarung di Eropa telah mengalami per-kembangan yang pesat
sampai saat ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tek-nologi ini telah banyak merubah
dan mem-pengaruhi pola pemikiran manusia. Segala kebutuhan manusia yang sifatnya
fisik ma-terialistis telah mampu dipenuhi, sehingga akhirnya mengantarkan orang
seolah-olah mengukur kebutuhannya hanya dengan ukuran materi.
Ekspansi
dan globalisasi kapitalisme yang merupakan ujung tombak modernisme Barat sekarang
ini, tidak hanya mendorong kehidupan yang materialistik dan hedonistik, tetapi
juga mengakibatkan terjadinya intrusi massif kontrol--kontrol administrative rasional
ke dalam banyak sektor kehidupan. Dalam kondisi yang semacam ini, ternyata orang-orang
lupa, bahwa meskipun dari sisi fisik materialistis terpenuhi tetapi kebutuhan
yang bersifat rochaniah spiritual terlupakan, sehingga kedamaian rochaniah
tidak bisa didapatkan.
Oleh
sebab itu orang lalu berfikir, bagaimana supaya dengan perkembangan
ilmupengetahuan dan teknologi yang pesat itu terimbangi oleh nilai-nilai
religius yang mampu mengarahkan manusia untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian.
Karena selama perkem-bangan ilmu pengetahuan itu berada di bawah kendali
kemauan manusia belakamselama itu pula kerusakan, rasa takut dan cemas dalam
mengarungi masa depannya.
Di
sini peran tasawuf sangatlah besar dalam membersihkan penyakit manusia dari
hawa nafsunya yang mampu dijadikan sebagai alternatif solusi pemecahan krisis
dunia modern ini. Penyusunan ilmu pengetahuan supaya mampu memberikan kecukupan
dan kebahagiaan secara lahir dan batin maka tiga aspek landasan penting dalam
penyusunan ilmu pengetahuan sangatlah perlu untuk diperhatikan yaitu aspek epistemology
(bagaimana), aspek ontologi (apa) maupun aspek aksiologi (untuk apa)
pengetahuan itu disusun.[13]
Ketiga landasan tersebut harus saling berkaitan.
Ontologi ilmu terkait dengan epistemolagi ilmu dan epistemolagi terkait dengan
aksialogi ilmu begitu seterusnya. Kaitannya dengan hal ini lima prinsip dalam
Islamisasi Sains. Salah satu diantaranya adalah prinsip kesatuan kebenaran. Wahyu
merupakan kesatuan kebenaran yang bersumber dari keesaan Allah. Maka tidak
logis kalau antara kebenaran wahyu dan kebenaran realitas itu bertentangan.
Ekuivalensi
ini didasarkan pada 3 prinsip yaitu: Pertama, kesatuan kebenaran
merumuskan bahwa, berdasarkan wahyu kita tidak baleh membuat klaim yang berbeda
dengan realita. Statemen-statemen yang diajarkan wahyu tentulah benar dan harus
berhubungan dan sesuai dengan realita, maka jika terjadi perbedaan maka harus
diadakan pengecekan ulang.
Kedua, persatuan kebenaran merumuskan bahwa tidak ada kontradiksi,
perbedaan variasi antara nalar dan wahyu adalah prinsip yang mutlak. Ketiga,
kesatuan kebenaran atau identitas hukum--hukum alam dengan pola-pola dari Sang
Pencipta merumuskan bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap alam dan bagian-bagiannya
tidak akan pernah berakhir. Karena pola-pola Tuhan tidak pernah terhingga.
Betapapun banyak dan mendalamnya seseorang mengetahui dan memasukkan ilmu semakin
banyak hal lain yang belum diketemukan. Dari statemen di atas menunjukkan bahwa
kesatuan antara kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran wahyu haruslah
terpadukan dalam kehidupan manusia. Meskipun ilmu tersebut bersifat rasional
maupun empiris haruslah tetap dipertimbangkan dimensi wahyu, karena kebenaran
wahyu adalah kebenaran haqiqi. Kenyataan bahwa Islam itu memiliki kekuatan
penyesuaian diri sampai pada tingkat tinggi tidak berarti bahwa orang Islam
harus berkompromi dengan dunia modern dan semua kekeliruan yang meliputinya.Tetapi
dunialah yang harus didorong untuk menyesuaikan dengan kelemahan itu atau
doktrin wahyu.[14]
Dalam
hal ini jika orang ingin mencapai kebahagiaan hidupnya baik di dunia maupun di
akhirat maka orang-orang harus mampu menjadikan wahyu sebagai dasar berpijak
dalam segala pola pikir maupun kehidupannya. Dalam usaha supaya orang bisa atau
mampu mencapai tujuan tersebut maka sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah banyak
dirumuskan oleh para tokoh pendidikan dengan memberikan lima azas tujuan pendidikan
yaitu:
1.
Pendidikan akhlak merupakan ruh atau jiwa pendidikan Islam.
2.
Pendidikan Islam memperhatikan kepentingan agama dan dunia secara seimbang.
3.
Pendidikan Islam mengutamakan segisegi manfaat.
4.
Pendidikan Islam mendidik peserta didik menuntut ilmu semata-mata untuk ilmu.
5.
Pendidikan Islam mementingkan pendidikan kejuruan, kesenian dan perlunya untuk
mempersiapkan anak didik mencari rizki.[15]
Tujuan
pendidikan adalah upaya untuk membentuk dan membina manusia sejati sebagaimana
digambarkan dalam Al-qur’an. Kecerdasan intelektual seseorang adalah merupakan
langkah awal dari tujuan puncak dari yang lain. Dalam hal ini bisa diambil contah
seperti: Jabir Ibnu Hayyan belian ahli kimia, tapi juga sufi, al-Ghazali ahli
filsafat dan agamawan tapi juga sufi juga tokoh-takoh lain segerti Umar Khayyam
beliau sastrawan dan ahli matematika tapi juga ahli sufi.
Dari
sini menunjukkan bahwa tujuan sufi yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan
jalan menata hati dan segala tingkah lakunya.Dalam sufi terdapat suatu
pendidikan etika yang didasarkan pada 2 dasar, yaitu: Pertama mengasingkan diri
dari sifatsifat keduniaan yaitu menjauhkan diri dari maksiat lahir maupun
batin. Kedua mengisi kembali atau menghiasi dengan sifat-sifat yang terpuji
yaitu berupa ketaatan baik lahir maupun batin.[16]
III.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat diberikan simpulan yang antara
lain :
1. Ribath, Zawiyah dan Khanqah adalah merupakan
suatu lembaga yang berperan sebagai penampung para pengikut sufi dan sekaligus
sebagai tempat untuk memperdalam ilmu pengetahuan mereka tentang bagaimana cara
beribadah mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai macam kegiatan dan
latihan.
2. Ribath, merupakan lembaga sufi yang lebih
fleksibel, karena di dalamnya berisi orang--orang miskin, orang-orang tua atau
janda yang tidak mampu membiayai dirinya yang ingin mendekatkan diri pada
Allah, di samping orang—orang yang khusus ingin mendekatkan diri pada-Nya.
Ribath ini muncul karena berawal dari barak-barak tentara perang Islam yang
bertujuan untuk memperluas wilayah Islam. Mereka memanfaatkan tempat tersebut
sebagai aktivitas ibadah disamping sebagai barak perang. Hal ini merupakan awal
mula munculnya lembaga ini, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi
berubahfungsinya.
3. Zawiyah, adalah lembaga sufi yang lebih khusus
yang lebih kecil ruang lingkupnya, sehingga dalam lembaga ini tidak terdapat
aturan-aturan sebagaiman yang ada dalam Khanqah. Lembaga ini didirikan oleh
seorang Syaikh yang bertujuan untuk memperluas ajaran-ajaran tarekat tertentu.
4. Khanaqah itu berasal dari bahasa arab , Khanqah
yang dalam bentuk jamaknya adalah
khawanik semuanya itu bermakna
ruang atau rumah. Kebersamaan ini betul-betul mereka tanamkan, seperti ahli
khanqah tidak boleh meninggalkan khanqah tanpa memberi tahu pada salah seoranag
yang hadir di sana.
5. Sistem pendidikan sufi, merupakan suatu
sistem yang agak berbeda dengan sistem pendidikan yang lain, karena di dalam
tasawuf sangat mementingkan aspek emosional.
DAFTAR PUSTAKA
AS ,
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994
Atjeh
, Abu Bakar, Pendidikan Sufi Sebuah, Upaya Mendidik Akhlak Manusia,
(Solo: Ramadhani, 1985), hlm. 20.126 Taswir Vol.3 No.5, Januari-Maret 2015
Emroni,
Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3
No. 5, Januari – Maret, 2015,
Engku , Iskandar
dan Siti Zubaidah , Sejarah Pendidikan Islami, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2014
Haryanto , Joko
Tri, Perkembangan Dakwah Sufistik Perspektif Tasawuf Kontemporer, ADDIN,
Vol. 8, No. 2, Agustus ,2014
Ja’far
, Handoko, Indonesian Islamic Education Towards Science Developmen,
Walisongo, Volume 23, Nomor 2, November ,2015
Nasr,
Sayyid Husain, Tasawuf Dulu dan
Sekarang , terjemahan Abd. Hadi W.M , Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Sahri,
Dimensi Politik dalam Ajaran-ajaran Tasawuf, Asy-Syir’ah , Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
,Vol. 45 No. II, Juli-Desember , 2011
Syukur , Fatah g, Sejarah
Pendidikan Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2015
Syukur
, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2015
[1] Dr. H. Fatah Syukur, NC, M.Ag, Sejarah Peradaban
Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2015, hlm. 1
[2] Dr. H. Fatah Syukur, NC, M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam, Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2015, hlm. 115.
[3] Emroni, Kontribusi Lembaga Sufi Dalam
Pendidikan Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, Januari – Maret, 2015, hlm. 117
[4] Dr. H. Iskandar Engku, MA dan Siti Zubaidah, M.Ag, Sejarah Pendidikan
Islami, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm. 43.
[5] Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan
Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, op.cit. hlm. 121
[6] Sahri, Dimensi Politik dalam Ajaran – Ajaran Tasawuf : Studi Kasus
atas Manaqib Syaikh Abd Al Qadir Al -
Jailani ), Asy Syir’ah : Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 45 No.
II, Juli – Desember, 2011, hlm. 1531
[7] Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan
Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, op.cit. hlm. 122
[8] Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan
Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, op.cit. hlm. 122
[9] Kontribusi Lembaga Sufi Dalam Pendidikan
Islam, Jurnal Taswir, Vol. 3 No. 5, op.cit. hlm 123.
[10] Sahri, Dimensi Politik dalam Ajaran-ajaran
Tasawuf, Asy-Syir’ah , Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum ,Vol. 45 No. II, Juli-Desember , 2011, hlm. 1531 -1532.
[11] Handoko Ja’far, Indonesian
Islamic Education Towards Science Developmen, Walisongo, Volume 23,
Nomor 2, November ,2015, hlm. 339
[12] Joko Tri Haryanto, Perkembangan Dakwah
Sufistik Perspektif Tasawuf Kontemporer, ADDIN, Vol. 8, No. 2, Agustus
,2014, hlm. 281
[14] Sayyid Husain Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang , terjemahan
Abd. Hadi W.M (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 201.
[16] Abu Bakar Atjeh,
Pendidikan Sufi Sebuah, Upaya Mendidik Akhlak Manusia,
(Solo: Ramadhani, 1985), hlm. 20.126 Taswir Vol.3 No.5, Januari-Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar