UA-135753897-1 Jendela Ilmu: Januari 2016

Jumat, 29 Januari 2016

Agar Selalu semangat dalam Bekerja



- 2 -

The Art Of Working
( Bekerja adalah Seni )

Kesenian adalah kesanggupan dan kegiatan menciptakan suasana indah yang dapat menimbukan daya tarik untuk menjadi perhatian dan rasa senang menikmatinya.[1] Bekerja perlu punya jiwa seni, dimana dalam berkerja harus memiliki semangat menciptakan keindahan sikap sehingga menimbulkan kenyamanan dan ketentraman hati yang dapat menimbulkan daya tarik untuk lebih konsentrasi dalam berkerja dan orang lain dapat menikmati hasil kerja kita dengan senang dan puas.
banyak orang yang mengejar keuntungan dengan jalan pintas, sebuah jalan yang memperbolehkan bermalas ria, sebuah jalan yang menganggap enteng sehingga terbiasa menunda pekerjaan, sebuah jalan yang sangat  priyayi dan jauh dari mengucurkan keringat. Sebuah jalan yang tidak membuat badan belepotan kotoran, sebuah jalan yang memperbolehkan bangun kesiangan.
Pada jalan – jalan tersebut jangankan kesuksesan, peluang kesempatan saja remang – remang bahkan gelap. Orang – orang ini suka memaksakan keberuntungan, mengambil jalan pintas, sogok sana – sogok sini, sehingga terjebak pada kegiatan yang melanggar etika, moral atau menyalahi norma. sehingga mereka harus menjual harga diri mereka.
Apabila komponen keberhasilan itu adalah 1% inspirasi, 90% keringat, maka kerja keras merupakan keharusan yang sangat serius, orang – orang jenius itu berasal dari 1% ilham dan 99% keringat. Bekerja keras adalah seni yang sangat indah, karena dari keringat yang terkucur akan muncul sesuatu yang membuat perasaan menjadi puas lahir dan batin. Begitu juga, keindahan adalah sesuatu yang membuat perasaan menjadi puas lahir dan batin. Letak seninya, ketika kita belepotan kotoran karna kerja keras banyak orang menghina, namun setelah kita menikmati hasilnya banyak orang yang memuji.[2]


[1] Op.cit. “ Lautan Ilmu dalam Kalam Illahi “ hlm. 182
[2] Ibid. hlm. 6

Cara membangkitkan Ledakan Energi Pendidikan Karakter Dalam Etos Kerja



101
Quantum Education

( 101 Cara Membangkitakan Ledakan Energi Pendidikan Karakter dalam Etos Kerja )

----***----

OLEH : SAFRUDIIN


- 1 -


Gerakkan Tanganmu Rezeki Bergerak ke Arahmu

 
Kebutuhan manusia tidak lepas dari tiga hal, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. dalam hal produksi, Allah sebagai pemilik langit dan bumi telah menyediakan untuk manusia sumber daya alam sebagai bahan baku yang akan di olah untuk menjadi barang jadi, baik berupa makanan, pakaian, papan ataupun barang – barang lain yang dibutuhkan oleh manusia.[1] hal ini menunjukan bahwa betapa hamparan peluang rezeki yang disediakan oleh Allah kepada manusia begitu banyak dan tak terhitung, hanya tinggal tangan kita bergerak atau hanya diam untuk meraihnya.
Tidak pandang bulu, siapa saja orangnya, asalkan  mau dan tidak malu bekerja, maka akan mendapatkan rezeki sesuai dengan jerih payahnya. Entah keturunan darah biru atau keturunan orang biasa, asalkan mau giat bekerja, maka akan mendapatkan yang di inginkan.
Siapa yang mau menggerakan tangan, maka mulutnya akan mendapat makan sopo ubet ngliwet ( barangsiapa berusaha, insya Allah akan dapat memasak nasi ). Itu adalah istilah, yang sudah lama mendarah mendaging, menjadi tradisi lisan di tengah – tengah masyarakat.
Ungkapan yang tertulis dalam kitab Taurat, yang di nukil oleh seorang tokoh Islam terkemuka sufyan Ats Tsauri, mengandung keseimbangan, antara ibadah dan mencari rezeki, apabila di rumah sudah cukup, sandang, pangan dan rumah tempat tinggal, biaya pendidikan anak serta biaya untuk bermasyarakat maka beribadalah. Maksudnya adalah, bahwa beribadah akan terasa lebih sempurna di hadapan Allah, apabila sudah tercukupi semua kebutuhan hidupnya. Memenuhi kebutuhan hidup, untuk mendukung ibadah adalah ibadah.
Dalam Kaidah Ushul Fiqih dikatakan : “ al-amru bi al-sya’i amrun bi wasa’ilihi “          ( perintah terhadap sesuatu itu, sekaligus memerintah terhadap sarana – saranya ). Apabila ibadah adalah wajib maka mencari sesuatu untuk memperkuat ibadah adalah juga wajib. Seperti shalat itu wajib, maka wudhu menjadi wajib. karena sholat tanpa wudhu atau tayamum tidak akan pernah akan ada sholat.[2]

Kita menjadi seorang ahli, karena giat belajar dan berlatih berkali – kali, ini bukan kesistimewaan namun kebiasaan
( Aristoteles )

semoga kita semua menjadi orang yang seimbang dalam bekerja dan beribadah. dan menjadi selamat, tentram dan damai dalam kehidupan dunia dan akhirat.
untuk urutan 2 -101 akan di posting secara berkala. terima kasih.


[1] M. Fikri Hakim, “ Lautan Ilmu dalam Kalam Illahi “ Pustaka Bumi Cinta, Kediri 2012.
[2] Ichsannudin K. “ 99 Quantum Working “ Pustaka Nuun, Semarang, 2009

Minggu, 03 Januari 2016

Urgensi Penelitian Hadits Tentang Penelitian Sanad dan Penelitian Matan



Model Kajian Hadits Melalui Penelitian
( Urgensi Kajian Hadits Tentang Penelitian Sanad dan Matan )
 ----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA  2015 – 2016 SEMESTER 1 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH STUDI HADITS INTEGRATIF
DOSEN PENGAMPU : Dr. ZAWAWI, MA
I.         Pendahuluan

Selain selain sebagai Rasul yang mengemban tugas risalah. Nabi Muhammad Saw. tetaplah seorang manusia sebagaimana yang lainnya. beliau memililki kebutuhan jasmani dan ruhani; memiliki keinginan dan selera; memiliki kebiasaan dalam kehidupan sehari – hari.[1] Oleh karena itu segala sesuatu yang berasal dari Nabi merupakan As Sunah yang perlu kita kaji.
Pada Umumnya umat Islam, tanpa menafikan adanya sekelompok umat yang menanamkan dirinya sebagai munkir al sunnah yang dengan demikian mengingkari posisinya sebagai sumber tasyri’, menyepakati posisi hadits sebagai sumber tasyri’ Islam kedua dalam stratifikasi sumber hukum Islam. Kedua sumber hukum ini saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks perannya memberikan tuntunan hidup manusia. Jika Al Qur’an meupakan sumber utama yang berisi prinsip – prinsip pokok kehidupan yang diterangkan secara mujal,  maka hadits merupakan mubayyin dan tuntunan operasionalnya.  
Mengingat posisi hadits yang demikian strategis sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam, maka kajian – kajian terhadapnya menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Kajian dimaksud tidak saja matannya, tetapi yang lebih penting dilakukan pertama adalah sanadnya. Bahkan para ulama menyatakan bahwa tanpa sanad, matan sebaik apapun tidak akan pernah dinyatakan sebagai hadits. oleh karena itu posisi yang demikian sentral inilah, kajian terhadap hadits menjadi penting dilakukan. Kajian dan pemahaman terhadap hadits berikut ragam seluk beluk dan problematikanya, mengharuskan adanya upaya serius dan sungguh – sungguh terhadap ilmu hadits, yang membutuhkan kajian dan penelitian.[2] untuk itu penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana urgensi dalam penelitian hadits kemudian model kajian hadits melalui penelitian sanad dan matan sehingga sedikit memberikan khasanah bagi kita bagaimana memahami hadits atau mengkaji hadits dari segi sanad dan matannya.

II.      Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Urgensi Penelitian Hadits ?
2.      Bagaimana Penelitian Sanad dan Prosedur Penerapannya ?
3.      Bagaimana Penelitian Matan ?
4.      Bagaimana Kriteria Penilaian Keshahihan Matan ?
III.   Pembahasan

Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran – ajaran yang terdapat didalamnya. Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan bagi setiap muslim. Karena untuk beramal dengan ajaran – ajaran yang terdapat dalam hadits
Hadits dan Sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh mayoritas kaum muslimin dari berbagai mazhab Islam, sebagai sember ajaran Islam, karena dengan adanya hadits dan sunnah itulah ajaran Islam menjadi jelas, rinci, dan spesifik. sepanjang sejarahnya, hadits – hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits yang telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan kualitas hadits yang  diinginkan oleh para penghimpunnya. Dalam penelitiannya, para ulama hadits itu menggunakan dua pendekatan, yaitu kritik sanad dan matan, sehingga melahirkan teori – teori yang berkaitan dengannya.[3]

A.  Urgensi Penelitian Hadits

Ada beberapa urgensi hukum yang mendasari pentingnya penelitian hadits, yakni : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam II ; kedua, terkait dengan historisitas hadits. Argumen historis ini mencakup alasan karena tidak semua hadits telah tertulis di masa Nabi, secara faktual telah terjadi sebuah manipulasi dan pemalsuan hadits ; bahwa proses kodifikasi hadits terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama.[4] Kodifikasi hadits yang dimaksud adalah penghimpunan, penululisan, dan pembukuan hadits Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara ( khalifah ) bukan dilakukan atas inisiatif perorangan untuk keperluan pribadi. kodifikasi hadits dimaksudkan untuk menjaga hadits Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik dikarenakan banyaknya periwayat penghafal hadits yang meninggal maupun karena adanya hadits – hadits palsu yang mengacau balaukan keberadaan hadits – hadits Nabi.[5] Kondisi hadits pada masa perkembangan sebelum pengondifikasian dan filterisasi pernah mengalami pembauran dan dan kesimpangsiuran ditengah jalan sekalipun hanya minoritas saja. Oleh karena itu, para ulama bangkit mengadakan riset hadits – hadits yang beredar dan dasar kaidah – kaidah atau peraturan – peraturan yang ketat bagi seorang yang meriwayatkan hadits yang nantinya ilmu tersebut menjadi ilmu hadits. Dr. M. Syuhudi Isma’il menjelaskan latar belakang perlunya penelitian hadits karena enam hal, empat diantaranya hadits nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Salah satu upaya dalam membendung tersebarnya hadits maudhu’, para ulama mempersyaratkan adanya sanad ( sandaran periwayatan ) bagi perawi hadits, membuat kaidah - kaidah penerimaan hadits yang diterima dan ditolak dan lain – lain.[6]

B.  Penelitian Sanad dan Peosedur Penerapannya

Penelitian sanad atau yang populer dengan sebutan kritik ( naqd ) sanad dimaksudkan untuk mendukung penelitian hadits dengan tujuan utamanya menilai dan membuktikan secara historis bahwa apa yang disebut sebagai hadits itu memang benar dari Rasulullah. Objek penelitian kritik sanad adalah hadits yang masuk kategoti hadits ahad, dan bukan yang mutawatir.[7] Dalam kategori pembagian seperti ini, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasinya, yang menurut adat tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi dan memberikan ilmu yakin. Sedang hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat – syarat hadits mutawatir.[8] Hal ini didasarkan pada alasan bahwa hadits ahad terdapat indikasi adanya hadits – hadits yang tidak shahih, sedangkan mutawatir ulama hadits sepakat akan validitas dan keshahihannya.
secara singkat, dapat dinyatakan bahwa parameter kritik sanad itu meliputi seluruh kaedah keshahihan hadits, sebagai berikut :
1.        Sanad Bersambung : adalah setiap periwayat dalam hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekatsebelumnya. Aspek yang diteliti adalah biografi perawi, yang mencangkup  : nama lengkap, tahun lahir – wafat, daftar guru – murid, dan rihlah ilmiah. Aspek ini diteliti dalam kitab – kitab rij’al al hadits.
2.        Perawi Adil ; Adilnya perawi menurut Imam Muhyidin dilihat dari empat kriteria, yaitu Islam, Mukallaf, tidak fasik dan senantiasa menjaga citra diri dan martabatnya ( muru’ah ). Perawi Adil diteliti melalui al jarh wa al ta’dil di dalam kitab – kitab menjelaskan biografi para perawi hadits ( rijal al hadiys ).
3.        Perawi Dhabit ; Sifat dhabit dapat diketahui melalui tiga hal, yaitu, tidak banyak lupa ketika meriwayatkan sebuah hadits, masih hafal ketika meriwayatkan dengan makna. Perawi dhabit diteliti melalui Perawi Adil diteliti melalui al jarh wa al ta’dil di dalam kitab – kitab menjelaskan biografi para perawi hadits           ( rijal al hadiys ).
4.        Terhindar dari Syadz ; adanya syadz dalam hadits menurut Syafi’i adalah hadits tertentu diriwayatkan oleh perawat tsiqoh, yang bertentangan dengan periwayat yang lebih banyak yang juga tsiqoh. Tidak ada syadz (lazimnya tercover pada keadilan dan kedhabitan perawi, meskipun tidak mesti demikian).
5.        Terhindar dari Illat ; Menurut ilmu shalah, pengeertian ‘illat adalah cacat yang tersembunyi yang merusak kualitas suatu hadits. Tidak adanya illat (lazimnya tercover pada keadilan dan kedhabitan perawi, meskipun tidak selalu demikian).[9]




C.  Penelitian Matan

Matan menurut bahasa adalah apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi, kuat, sesuatu yang nampak dan asli, Menurut istilah matan adalah sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad, definisi lain menyebutkan bahwa matan adalah beberapa lafadz hadits yang membentuk beberapa makna, sedangkan menurut ahli hadits, matan adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad. Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya kepada yang mengatakan, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya.[10] Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan ada syarah. Matan disini dimaksudkan karya atau karangan asal seorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarah-nya dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam konteks Hadits, Hadits sebagai matan kemudian diberikan syarah  atau penjelasan yang luas oleh para ulama. Matan hadits ini sangat penting karena menjadi topickkajian dan kandungan syari’at Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.[11]
1)   Sejarah munculnya Kritik Matan
Kritik matan sesungguhnya bukan hal yang baru. pada masa Nabi kegiatan ini telah dilakukan, meskipun dalam pengertian yang sangat sederhana. Para sahabat datang menemui Nabi untuk melakukan pengecekan kebenaran dan melakukan konfirmasi dan konsultasi atas keabsahan suatu matan hadits yang diterimanya.
Kegiatan ini selanjutnya diteruskan oleh sahabat. Kritik matan yang terjadi di kalangan sahabat, umumnya dilakukan oleh hadits yang diriwayatkan oleh salah satu yang tidak menerima langsung dari Nabi SAW, melainkan dari sahabat lainnya. Diantara cara untuk menguji hadits adalah dengan membandingkan ayat Al Qur’an, seperti yang dilakukan oleh  Aisyah.
Dengan menindak lanjuti apa yang dilakukan oleh sahabat tersebut, ulama hadits mulai menjelaskan keshahihan suatu hadits dengan melakukan pemilihan dan pengkategorikan sehingga muncul istilah hadits shahih, hasan, dan dhaif.[12]
2)   Tata Cara Kritik Matan
Kajian hadits Nabi memiliki posisi yang sangat penting, karena hadits merupakan sumber kedua dalam hukum Islam. kajian hadits pada masa sekarang terbagi menjadi 3 bahasan. pertama, berkaitan denagan ilmu musthalah hadits, termasuk untuk mempertahankan hadits dari serangan orang – orang yang menolak hadits dan para orientalis. kedua berkaitan dengan methode tahrij serta kritik matan dan sanad hadits, ketiga, bahasan yang berkaitan dengan pemahaman hadits.[13] Tidak ragu lagi bahwa kritik matan adalah bagian dari kajian penelitian hadits. Syuhdi Ismail membagi metodologi kritik matan ke dalam tiga golongan, yaitu :
a)    Meneliti Matan Dengan Melihat Kualitas Sanad
Langkah kegiatan kritik matan yang dilakukan dengan melihat kualitas sanad dalam hubungannya dengan kualitas hadits melahirkan beberapa kemungkinan, yaitu : 1) sanadnya shahih dan matannya shahih, 2) sanadnya shahih dan matannya dhaif, 3) sanadnya dhaif dan matannya shahih, 4) sanadnya dhaif dan matannya dhaif. Dengan beberapa kemungkinan tersebut, menurut ulama hadits bahwa sebuah hadits dinyatakan shahih apabila sanad dan mantannya berkualitas shahih.
b)   Meneliti Susunan Matan yang Semakna
Terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna disebabkan dalam periwayatan hadits telah terjadi periwayatan secara makna. Perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan terjadinya perbedaan makna, asalkan sanadnya sama – sama shahih, maka hal ini dapat ditoliter, seperti hadits riwayat al-bukhari dalam kitab Shahih Al Bukhari tentang niat.
c)    Meneliti Kandungan Makna
Dalam meneliti kandungan makna, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan matan – matan atau dalil – dalil lain yang mempunyai masalah yang sama. Jika terdapat matan lain sementara topiknya sama maka yang kemudian harus diteliti adalah sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi kriteria shahih, maka barulah kegiatan muqaranah kandungan matan – matan tersebut dilakukan.[14]

D.  Kriteria Penilaian Keshahihan Matan

Untuk menentukan keshahihan matan suatu hadits, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik secara seksama terhadap matan – matan hadits, sehingga dapat disusun beberapa criteria atau kaedah yang dapat dijadikan tolak ukur bagi sebuah matan yang shahih.
Tolak ukur yang dijadikan pegangan ulama beragam. Al Khatib al Bagdadi misalnya, menjelaskan bahwa matan hadits yang maqbul adalah matan yang memiliki indikator sebagai berikut.
1.    Tidak bertentangan dengan akal sehat.
2.    Tidak bertentangan dengan hukum Al Qur’an yang telah muhkam.
3.    Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4.    Tidak bertentangan dengan amalan yang menjadi kesepakatan ulama masa lalu.
5.    Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
6.    Tidak bertentangan dengan hadits yang kwalitasnya keshahihannya lebih kuat.

Dari tolak ukur yang berbeda – beda, tingkat akurasi penelitian hadits lebih ditentukan oleh ketepatan dan ketepatan metodologis, kecerdasan dan kapasitas intelektual, keluasaan pengetahuan dan kecermatan seorang peneliti hadits.

IV.        Kesimpulan

1.      Ada beberapa urgensi hukum yang mendasari pentingnya penelitian hadits, yakni : pertama, terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum Islam 2 ; kedua, terkait dengan historisitas hadits.
2.      Penelitian sanad atau yang populer dengan sebutan kritik ( naqd ) sanad dimaksudkan untuk mendukung penelitian hadits dengan tujuan utamanya menilai dan membuktikan secara historis bahwa apa yang disebut sebagai hadits itu memang benar dari Rasulullah.
3.      Dalam meneliti kandungan makna, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mempertahankan matan – matan atau dalil – dalil lain yang mempunyai masalah yang sama. Jika terdapat matan lain sementara topiknya sama maka yang kemudian harus diteliti adalah sanadnya.
4.      Dari tolak ukur yang berbeda – beda, tingkat akurasi penelitian hadits lebih ditentukan oleh ketepatan dan ketepatan metodologis, kecerdasan dan kapasitas intelektual, keluasaan pengetahuan dan kecermatan seorang peneliti hadits.

























DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, M,  Studi Kitab Hadits “, Penerbit Teras, Yogyakarta, 2009.
Al Qaththan , Syaikh Manna’, “Pengantar Studi Ilmu Hadits “, Pustaka Al Kautsar, Jakarta 2014
Idri “ Studi Hadits “ Kencana Media Group “, Jakarta, 2010, hlm. 93,2009
Kasman, “Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah “, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2012
Majid Khon , Abdul “ Ulumul Hadits “, Penerbit Amzah,2009, hlm. 67
Musthofa Yaqub , Ali “ Cara Benar Memahami Hadits “, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2014
Sambulah , Umi “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, UIN Maliki Press, Malang, 2010
M. Jakfar, Tarmidzi,  “ Otoritas Sunnah Non Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Al Qordhowi “, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2013



[1] Dr. Tarmidzi M. Jakfar,  MA , “ Otoritas Sunnah Non Tasyri’iyyah Menurut Yusuf Al Qordhowi “, Ar-Ruzz
   Media, Yogyakarta, 2013, hlm. 5
[2] Dr. Hj. Umi Sambulah, M.Ag, “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, UIN Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 1-2.
[3] Dr. M. Abdurrahman, MA, “ Studi Kitab Hadits “, Penerbit Teras, Yogyakarta, 2009.
[4] Op.cit. “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 183
[5] Dr. Idri, M.Ag “ Studi Hadits “ Kencana Media Group “, Jakarta, 2010, hlm. 93
[6] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, “ Ulumul Hadits “, Penerbit Amzah,2009, hlm. 67
[7] Op.cit. “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 184
[8] Dr. Kasman, “Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah “, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 33
[9] Op.cit. “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 185
[10] Syaikh Manna’ Al Qaththan, “Pengantar Studi Ilmu Hadits “, Pustaka Al Kautsar, Jakarta 2014, hlm. 75
[11] Op.cit. “ Ulumul Hadits “, hlm. 103.
[12] Op.cit. “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 187
[13] Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Yaqub, MA, “ Cara Benar Memahami Hadits “, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2014,
    hlm. 1
[14] Op.cit. “ Kajian Kritis Ilmu Hadits “, hlm. 188