Hadits Tentang Kepimpinan dan Politik Islam
Oleh : Safrudin
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama
Islam yang di bawa oleh nabi Muhammd saw. datang tidak hanya membawa aqidah
keagamaan atau ketentuan moral dan etika yang menjadi dasar masyarakat semata –
mata. Akan tetapi juga membawa syari’at yang jelas mengatur manusia, prilakunya
dan hubungan antara satu dengan yang lainnya dalam segala aspek, baik bersifat
individu, keluarga, hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan – hubungan
yang lebih luas lagi.
Berpijak
dari kenyataan ini, sebenarnya Islam telah membawa ketentuan syari’at yang
menjadi tuntutan otomatis bagi kepentingan terwujudnya suatu umat dan negara
berdasarkan prinsip – prinsip yang rasional dan memenuhi kebutuhan masyarakat.[1]
Prinsip
– prinsip yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi tuntunan
otomatis bagi kepentingan suatu umat dan negara diperlukan suatu ilmu, salah
satunya adalah ilmu politik, bagaimana kita dalam berpolitik tidak meninggalkan
akar ajaran syari’at, sehingga nilai moral yang sesuai tuntunan agama dapat
kita raih dan dapat mengembangkan umat dan negara, untuk memenuhi tujuan itu
kita harus mengkaji dan mempelajari hadits – hadits tentang politik yang telah
di ajarkan Nabi Muhammad saw.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian
diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan al Sunnah mengenai politik ?
2. Bagaimana nilai moral yang ditanamkan Rosul dalam berpolitik ?
3. Bagaimana pengembangan politik Nabi di era modern ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Tentang Politik dan
Kualitasnya
1.
Hadits tentang
pemimpin dan tanggungjawab pemimpin
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ
الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ
عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Dari Ibnu Umar,
dari Nabi Muhammad, beliau telah bersabda, “Setiap orang dari kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungan jawab terhadap apa yang
di pimpinnya. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai
pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin
bagi anggota keluarganya dan ia akan dimintai pertanggunganjawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga suami dan
anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang
dipimpinnya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia
akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya. Ketahuilah bahwa
setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungan jawab atas apa yang dipimpinnya.” (HR Muslim 6/8). ( kualitas hadits ini shahih )
Oleh karena
itu, seorang imam adalah pemimpin umat manusia dan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya memberikan pendidikan, kepercayaan dan tannggung jawab
serta pemenuhan hak – hak atas umat yang dipimpinnya. Hal ini berlaku juga seperti seorang kepala keluarga, ibu, budak dan
lainnya yang berhubungan dengan kepemimpinan.[2]
2.
Hadits Tentang Persatuan Umat
حَدَّثَنَا
خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى
عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ
يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Burdah bin 'Abdullah bin Abu Burdah dari Kakeknya dari Abu Musa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain." kemudian beliau menganyam jari jemarinya."
( kualitas hadits ini shahih )
Ajaran persamaan yang ditanamkan oleh Islam telah membentuk suatu
komunitas masyarakat muslim yang saling menyayangi dan terikat oleh suatu
komitmen keimanan yang kuat. Bangsa arab yang selama ini dikenal sebagai bangsa
yang senang berperang dan bermungsuhan, telah mampu dipersatukan di bawah
bendera Islam. Tidak lagi ada permungsuhan antar penduduk Madinah dengan
penduduk Mekah, dan semua diikat menjadi satu umat yang mengikuti dan taat
kepada ajaran rasul.[3]
3.
Hadits Tentang Pembentukan Pemerintahan
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ هُبَيْرَةَ عَنْ أَبِي سَالِمٍ الْجَيْشَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ أَنْ يَنْكِحَ الْمَرْأَةَ بِطَلَاقِ أُخْرَى وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَبِيعَ عَلَى بَيْعِ صَاحِبِهِ حَتَّى يَذَرَهُ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ صَاحِبِهِمَا
Telah
menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah
telah menceritakan kepada kami Abddullah bin Hubairah dari Abu Salim Al
Jaisyani dari Abdullah bin 'Amru, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam
bersabda: "Tidak halal bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita dengan
menceraikan (isterinya) yang lain, dan tidak halal bagi seorang lelaki menjual
di atas penjualan temannya sampai ia meninggalkannya, dan tidak halal bagi tiga
orang yang berada di padang sahara kecuali jika mereka mengangkat salah satu
dari mereka untuk menjadi pemimpin, dan tidak halal bagi tiga orang yang sedang
berada di padang sahara dua orang di antara mereka berbicara tanpa melibatkan
teman mereka (yang ketiga)."
( Kualitas
Hadits : shahih )
Adapun tujuan dari pembentukan Negara itu adalah untuk
melaksanakan ketentuan – ketentuan Allah yang ada dalam Al Qur’an maupun ketentuan
– ketentuan rasul yang ada dalam Hadits. Berdasarkan hal ini maka tidak ada
jalan lain untuk mewujudkan tujuan dan cita – cita tersebut kecuali dengan
adanya ketundukan dan ketaatan seluruh umat kepada kepala negara yang akan
melaksanakan hukum atau ketentuan – ketentuan Allah dan Rosul-Nya di atas.[4]
4.
Hadits Tentang Ketaatan Kepada Kepala Negara
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami 'Ubaidah bin Umar Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi dari Sufyan dari Zubaid dari Sa'd bin 'Ubaidah dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali Radhiallah 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak ada ketaatan kepada mahluq dalam bermaksiat kepada Allah 'azza wajalla."
( Kuliatas Hadits : shahih )
Kepala negara
yang berlaku zalim dan berbuat maksiat kepada Allah, tidak wajib di taati.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka masalah ketaatan kepada kepala negara
adalah merupakan hal yang sangat vital.
Karena dari sanalah wujud keberadaan negara sebagaimana yang di idam - idamkan akan menjadi kenyataan. Suatu
negara yang rakyatnya tidak patuh dan tunduk kepada pimpinan ( dalam arti taat
kepada peraturan – peraturan positif yang berlaku ), maka pimpinan ( pemerintah
) tidak akan mampu melaksanakan peraturan – perataturan tersebut, dan akibatnya
akan terjadi benturan – benturan diantara masyarakat yang berakhir dengan
kekacauan, oleh karena itulah demi terciptanya ketentraman dan stabilitas yang
mantap guna melaksanakan syari’at Islam, dukungan dan ketaatan dari semua
masyarakat mutlak diperlukan.[5]
B. Nilai Moral Yang Ditanamkan Rosul Dalam Politik
1. Musyawarah
Quraisy Shihab Menjalaskan bahwa kata musyawarah bermakna dasar
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga
mencakup segala sesuatu yang dapat di ambil atau dikeluarkan dari yang lain
termasuk pendapat. Fakta sejarah menunjukan bahwa masyarakat arab pra Islam
telah mengenal musyawarah, bahkan dalam Al Qur’an dijelaskan tentang salah
seorang ratu yang hidup pada masa Nabi Sulaiman as. di negeri saba’dalam
memimpin negerinya selalu bermusyawarah dengan pembantu – pembantu setianya.
Dan pada masa pemerintahannya inilah negeri tersebut oleh Al Qur’an dengan baldatun
thayyibatun wa rabbun ghofur.[6]
2. Keadilan
Adil adalah suatu sikap yang mutlaq yang tidak menunjukan
kecondongan cinta atau marah, tidak merubah ketentuan yang berlaku karna kasih sayang
atau benci kepada seseorang tidak mempengaruhi pandangan karena pertimbangan
kekeluargaan.[7]
Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip keadilan yang terkandung dalam sistem
politik Islam meliputi dan merangkumi segala jenis perhubungan yang berlaku
dalam kehidupan manusia, termasuk keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di
antara dua pihak yang bersebgketa di hadapan pihak pengadilan, di antara
pasangan suami isteri dan di antara ibu bapa dan anak-anaknya.kewajiban berlaku
adil dan menjauhi perbuatan zalim adalah di antara asas utama dalam sistem
sosial Islam, maka menjadi peranan utama sistem politik Islam untuk memelihara
asas tersebut. Pemeliharaan terhadap keadilan merupakan prinsip nilai-nilai
sosial yang utama kerana dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia dalam
segala aspeknya.
3. Kebebasan
Kebebasan
yang diipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang makruf dan
kebajikanyang sesuai dengan Al–Qur’an dan Hadist.Menegakkan prinsip kebebasan
yang sebenarnya adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan
Islam serta menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara
Islam.
4. Persamaan
Persamaan
di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak,
persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut peringkat-peringkat yang
ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuat
kuasa undang-undang.
6. Diwajibkan
untuk memperkuat tali silaturahmi
Dikalangan
kaum muslimin di dunia dan untuk mencegah semua kecenderungan sesat yang
didasarkan pada perbedaan ras, bahasa, ras, wilayah ataupun semua pertimbangan
materealistis lainya serta untuk melestarikan dan memperkuat kesatuan Millah
Al-Islamiyyah
C. Pengembangan Politik Nabi di
Era Modern
Sejarah menunjukan, bahwa setiap zaman mempengaruhi manusia dalam cara
hidupnya dalam bidang politik, ekonomi, seni dan budaya.[8]
Pertumbuhan bahasa politik Islam, tidak ragu lagi berkaitan erat dengan
pertumbuhan Islam itu sendiri. Bahkan jika kita mempertimbangkan pandangan
bahwa Islam adalah din wa siyasah, pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat
pemisahan antara bahasa Agama dan bahasa politik.
Integrasi bahasa politik ke dalam bahasa agama ini terlihat lebih jelas
dalam ekspresi keagamaan dan politik Nabi Muhammad saw, yang selanjutnya dalam
segi kemudian diikuti oleh al – Khulafa’ al – Rasyidun, empat kholifah sesudah Rasul
Allah : Abu Bakar, Umar bin Khotob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pelahan tapi pasti, terjadinya perubahan – perubahan dalam kehidupan politik
muslim, mulai dari kebangkitan dinasti Umayah, bahasa politik kemudian
memisahkan atau, tepatnya, merenggangkan diri dari bahasa agama. Dalam kancah
politik dipekenalkan idiom – idiom baru, dan idiom – idiom lama juga mengalami
pergeseran makna.
Meski demikian perlu dicatat bahwa sebelum masa modern dalam pengalaman
banyak masyarakat politik Muslim sebenarnya tidak pernah mendapat keterputusan
subtansial antara bahasa agama dan politik. Bahkan terdapat cukup banyak kasus
di mana kita melihat terjadinya tarik – menarik dan adanya semacam hubungan
dialektis antara bahasa agama dan politik. Meski sistem prilaku politik yang
mereka jalankan tidak selalu selaras dengan prinsip dasar al Qur’an tentang
politik, tak jarang penguasa Muslim menggunakan dan manipulasi bahasa – bahasa
politik dengan memberinya muatan atau menyelubunginya dengan aura keagamaan, sehingga
penguasa dapat memperoleh tambahan legitimasi dan otoritas keagamaan yang
sering dipandang sacral oleh masyarakat awam umumnya.[9]
Perubahan hebat dalam bahasa politik Islam tentu saja terjadi sejak masyarakat
– masyarakat muslim menghadapi zaman modern, masa bermula dengan terjadinya
pertemuan, konflik dan penaklukan militer Eropa atas kawasan – kawasan Muslim, dalam hal ini berada
dibawah kekuasaan Dinasti Utsmani, khusunya sejak abad ke 19, pertemuan ini,
betapapun pahitnya, mendorong kalangan intelektual dan birokrat Turki Ustmani
untuk mengadopsi gagasan – gagasan dan institusi – institusi Barat Modern.
BAB III
KESIMPULAN
1. Seorang imam adalah pemimpin umat manusia dan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya memberikan pendidikan,
kepercayaan dan tannggung jawab serta pemenuhan hak – hak atas umat yang
dipimpinnya. Hal ini berlaku juga seperti seorang kepala keluarga,
ibu, budak dan lainnya yang berhubungan dengan kepemimpinan.
2. Ajaran persamaan yang ditanamkan oleh Islam telah membentuk suatu
komunitas masyarakat muslim yang saling menyayangi dan terikat oleh suatu
komitmen keimanan yang kuat.
3. Adapun tujuan dari pembentukan Negara itu adalah untuk
melaksanakan ketentuan – ketentuan Allah yang ada dalam Al Qur’an maupun
ketentuan – ketentuan rasul yang ada dalam Hadits.
4. Kepala negara yang berlaku zalim dan berbuat maksiat
kepada Allah, tidak wajib di taati. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
masalah ketaatan kepada kepala negara adalah merupakan hal yang sangat vital.
5. Nilai nilai moral yang di sumbangkan dalam ilmu
politik Islam dapat membentuk tatanan sosial masyarakat dan negara dengan baik
dan teratur.
6. Perkembangan politik di pengaruhi oleh proses –
proses perubahan zaman dan perkembangan ilmu serta penguasa – penguasa pada
zaman – zaman yang menyertainya.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syirbaany , Ridwan, “ Membentuk Pribadi
Lebih Islami “ Intimedia, Jakarta, hlm. 159
Kusumopradoto, S, “pandangan Hidup manusia
Berdasarkan Ilmu, Iman, Amal, dan Taqwa”, Aneka ilmu, Semarang, hlm.59
Lewis , Bernard ” Bahasa Politik Islam “
,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994.
Muhibbin “,Hadits – Hadits Politik” Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996, hlm. 27
Nurdin , Ali, “ Quranic Society “, Penerbit
Erlangga, Jakarta, hlm. 226
Taimiyah, Ibnu, “Kebijaksanaan Politik Nabi Muhammad SAW ”, Dunia Ilmu,
Surabaya, 1997, hlm. 6
[8] S. Kusumopradoto, “pandangan
Hidup manusia Berdasarkan Ilmu, Iman, Amal, dan Taqwa”, Aneka ilmu,
Semarang, hlm.59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar