----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
Abstrak : Pembahasan Epistemologi berkenaan dengan persoalan tentang
obyek pengetahuan, sumber pengetahuan, metode pengetahuan ,klasifikasi
pengetahuan, hingga kadar pengetahuan manusia, Epistemologi metafisika mengurai
tentang sumber metafisika dimana metafisika berawal dari filsafat pertama
Aristoteles yang kemudian melalui karya – karyanya ditemukan istilah metafisika
oleh Andronicus pada
tahun 70 SM, Salah jatu jalan untuk mengurai tentang realitas metafisika
dibutuhkan metode, salah satu metode metafisik adalah metode intuisi. Intuisi
adalah suatu pengalaman singkat (Immediate experience) tentang yang nyata. Hal – hal yang dibicarakan metafisika adalah
Tuhan, makhluknya Tuhan yang tidak nampak, manusia, alam, dan konsep – konsep
pemikiran atau ide. Dan Klasifikasi metafisika terbagi menjadi 2 : yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus. Serta salah satu peran metafisika adalah
mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
I.
Pendahuluan
Mempelajari
epistemologi di dalam sebuah kajian filsafat
mempunyai peran penting dalam sebuah kehidupan manusia, karena epistemologi
dapat melakukan investigasi tentang sumber, struktur, metode dan validitas
pengetahuan. Epistemologi mempunyai fungsi yang sangat fundamental mulai
sebagai landasan bagi tindakan manusia sehari – hari, pengembangan kearifan
dalam berpengetahuan, hingga sebagai sarana untuk penyadaran bahwa di dunia ini
terdapat variasi kebenaran yang dimiliki manusia yang oleh karenanya manusia
layak menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).
Epistemologi
membahas beberapa persoalan penting seperti membahas tentang objek pengetahuan
manusia, sumber pengetahuan manusia, klasifikasi pengetahuan, hingga kadar
pengetahuan manusia. Terkait dengan objek pengetahuan manusia, dapat dibedakan
menjadi objek yang empiris, ideal dan transenden. [1]
Salah satu persoalan manusia yang penting adalah tentang sesuatu untuk
memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan yang terdalam dan memperoleh
suatu usaha intelektual yang sungguh – sungguh
untuk melukiskan sifat – sifat umum dari kenyataan.[2] Untuk
memperoleh hal tersebut dibutuhkan ilmu tentang metafisika, karena metafisika
bisa dipahami sebagai teori tentang sifat dasar dan struktur dari kenyataan.[3]
Untuk mengetahui lebih dalam, tentang
keberadaan metafisika penulis mencoba menuangkan dalam makalah ini tentang
urgensi epistemologi metafisika sehingga dapat menghadirkan sumber, metode dan
ciri – ciri yang melekat pada metafisika.
II.
Pembahasan
Epistemologi
secara etimologis dari bahasa yunani epitesme ( pengetahuan )
dan logos ( kata, pikiran,
percakapan, atau ilmu ). Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang
pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Webster Third New Internasional Dictionary
mengartikan epistemologi sebagai the study of method and ground of
knowledge, especially with reference to its limits and validity. secara
terminologinya epistemologi seringkali di katakan sebagai “ branch of
philosophy concerned white the nature of knowledge, its possibility, scope and general
basis “.[4]
Epistemologi bisa diartikan sebagai filsafat pengetetahuan yang
merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan scope
pengetahuan, pengandaian – pengandaian
dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.[5]
Berdasarkan pemahaman di atas, terdapat beberapa hal yang dapat
kita cermati tentang epistemologi : pertama,
epistemologi berkenaan dengan sifat pengetahuan, kemungkinan, cakupan, dan
dasar – dasar pengetahuan. kedua, epistemologi membahas tentang
reliabilitas pengetahuan, dan ketiga epistemologi melakukan investigasi
tentang sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan.[6]
Pengetahuan manusia meliputi dua macam presepsi, yaitu persepsi terhadap
perkara – perkara yang materiil dan persepsi terhadap hal hal yang abstrack.
Pengetahuan pertama timbul dari perhatian jiwa terhadap persoalan – persoalan
yang terjadi dalam jiwa. sedangkan Persepsi yang kedua, yaitu terhadap hal –
hal yang abstrak ( metafisik ), seperti Tuhan, jiwa, malaikat – malaikat, dan
keputusan fikiran yang kita keluarkan terhadap hal – hal yang materiil
rohaniyah.[7]
dalam pembahasan hal - hal yang bersifat abstrack tidak jauh kaitannya dengan
metafisika. Metafisika adalah bagian dari filasafat yang khusus membicarakan
hakikat realitas mutlak, kami menyadari sepenuhnya bahwa metafisika pada masa
sekarang ini tidak begitu populer dalam wacana pendidikan modern. Dalam Islam,
metafisika yang di dalamnya termasuk pembahasan – pembahasan teologis,
merupakan sesuatu yang sangat penting
dalam menentukan konsepsi dasar umat mengenai alam jagat raya, psikologi,
epistemologi, etika, bahkan logika. Untuk mengokohkan pilar – pilar metafisika
adalah dengan epistemologi, dengan asumsi dasar bahwa untuk menangkap esensi
segala sesuatu, ada jalan yang dapat di tempuh manusia. Fokus kajian pada
makalah ini adalah Epistemologi Metafisika, yang mencangkup sarana dan
metodologi pencapaian, parameter kebenaran dan klasifikasi ilmu.[8]
A.
Sarana Pencapaian Metafisika
Metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan
dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh.
Oleh karena itu, metafisika sering disebut sebagai filsafat dasariah atau yang
seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai filsafat pertama.[9] Dalam
hal tersebut Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisik, melainkan proto
philosophia ( filsafat pertama ). Filsafaat pertama ini memuat uraian
tentang sesuatu yang ada di belakang gejala – gejala fisik seperti bergerak,
berubah, hidup, dan mati. Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya dapat
dikatakan setara dengan metafisika. Yaitu filsafat pertama ( first
philosophy ), pengetahuan tentang sebab ( knowledge of cause ),
studi tentang ada sebagai ada ( The Study of Being as Being ), studi
tentang ousia ( Being ), studi tentang hal – hal abadi dan yang tidak
dapat digerakan ( the studi of the eternal and immoveble ), dan Teologi.[10] Aristoteles
menggunakan istilah – istilah ini sebenarnya dalam konteks kritiknya terhadap
cara berfilsafat para filsuf Yunani kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para
filsuf sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang
paling mendalam, artinya argumen – argumen yang mereka ajukan masihlah
sederhana dan belumlah memuaskan, karna itulah, Aristoteles menyebut filsafat
sebelumnya sebagai filsafat yang kedua.
Kemudian ia mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba
menggali semua aspek realitas dan sudutnya yang paling mendalam mulai dari
tentang alam, tentang Tuhan, tentang jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian
menggunakan cara berfilsafat seperti itu sebagai filsafat pertama, atau
metafisika. Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek – obyek yang
dapat di tangkap oleh panca indera, tetapi juga obyek – obyek yang hakekatnya
melampaui panca indera tersebut seperti, Tuhan.[11] Aristoteles
tidak memberikan bagi sains ini. Karya – karyanya dikumpulkan dalam sebuah
ensiklopedia setelah dia meninggal. Bagian yang tengah dipersoalkan ini
ditempatkan setelah bagian mengenai filsafat alam dan, karena tidak mempunyai
nama khusus, kemudian dikenal dengan metafisika.[12] Dalam
hal ini, Metafisika itulah salah satu tema filsafat yang diajarkan oleh
Aristoteles kepada murid – muridnya. Ia membagi dua jenis pengetahuan, yakni
pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan pengetahuan
praktis (practical knowledge ).
Pengetahuan teoritis mencangkup matematika, fisika, dan apa yang disebutnya
sebagai filsafat pertama ( first philosophy ). Nah, filsafat pertama
inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika, terutama karena tempatnya
berada setelah fisika, dan dianggap melampaui fisika. Nama metafisika pun
akhirnya menjadi salah satu tema penting di dalam pemikiran Aristoteles.[13]
Dalam perkembangan setelah Aristoteles Istilah Metafisika diketemukan oleh
Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya – karya Aristoteles [14],
dan merupakan judul yang diberikan Andronikus
dan Rhodes terhadap empat belas buku karya Aristoteles, yang
di tempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku.[15]
B.
Metodologi Metafisika
Salah jatu
jalan untuk mengurai lintas realitas metafisika dibutuhkan metode, salah satu
metode metafisik adalah metode intuisi. Intuisi adalah suatu pengalaman singkat
(Immediate experience) tentang yang nyata. Realitas yang sebenarnya
masuk melalui diri kita dalam pengalaman ini. pengalaman singkat ini bentuknya
menyerupai persepsi. Realitas Mutlak, dalam pengalaman melalui intuisi, dapat
dipahami secara langsung. Tuhan dipahami sebagaimana memahami obyek – obyek
lainnya. Disini pengetahuan adalah langsung. Jadi, intuisi berbeda dengan
pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran selalu berjangka dan tidak
langsung. dengan pikiran tidak ada persepsi langsung terhadap objek.
Intuisi adalah
milik khas hati. Ia bukan milik akal atau intelek. Akal atau intelek hanya
menjangkau dunia fenomena, yakni, aspek realitas yang tampak dalam persepsi
indrawi. Hati membawa kita berhubungan dengan aspek realias, bukan membuka
persepsi indrawi. Lebih jauh, pikiran selalu “bergerak mengitari obyek – obyek.
Fungsinya adalah untuk memahami realitas dengan kategori – kategori.
Intuisi adalah keseluruhan
yang tak teranalisa. Di dalam intuisi itu adalah keseluruhan realitas yang
berada dalam satu kesatuan yang tak terbagi. Bahkan pelaku pengalaman itu
sendiri “ tenggelam “ dalam kesatuan. Dalam pengalaman ini tak ada kemungkinan
perbedaan jarak antara diri dengan bukan-diri. Kaum mistis menjadi lupa akan
dirinya, dia kehilangan dirinya , dia tidak eksis lagi, dia tak lain objek dari
dirinya sendiri. Realitas masuk ke dalam dirinya sebagai keseluruhan yang
tunggal, yang tak dapat dibai dan dianalisa.[16]
C.
Parameter dan Kebenaran Metafisika
Metafisika
berusaha memfokuskan diri pada prinsip dasar yang terletak pada berbagai
pertanyaan atau yang diasumsikan melalui berbagai pendekatan intelektual.
Setiap prinsip dinamakan “pertama“, sebab prinsip – prinsip itu tidak dapat
dirumuskan ke dalam istilah lain atau melalui hal lain yang mendahuluinya.[17]
dalam kajian pengetahuan ilmu diperlukan suatu kebenaran yang hakiki. Masalah
kebenaaran (truth) memang merupakan puncak kajian epistemologi yang
bermuara pada metafisika.[18]
Esensi “ kebenaran “ telah dirumuskan dengan beberapa terma, seperti aletheia
( yunani ), veritas ( latin ), dan truth ( inggris ). Secara
etimologis, alatheia berarti “ luput dari perhatian, tidak kelihatan dan
tersembunyi “. Kemudian, ia berubah menjadi berarti positif, yaitu sesuatu yang
ditemukan, dipahami, terlihat dan berkilauan. Dari sini, ia berarti “ daya
terang atau evidensi realitas “, dan “ penemuan akal terhadap evidensi tersebut
“. Kata veritas secara etimologis berarti “ pilihan atau kepercayaan
akal “, atau “ sesuatu yang dipilih atau dipercayai akal “. Dalam konteks linguistik ini truth berarti “ apa
yang dipahami dan dipilih akal “, atau “ kegiatan yang menyebabkan akal
berhasil menemukan dan memilih.[19]
Untuk
menemukan kebenaran metafisik, kita perlu mengetahui hal – hal yang diperbincangkan
oleh metafisik, dimana hal – hal tersebut dapat kita jadikan sebagai parameter
dalam memahami metafisik. Adapun yang dibicarakan dalam metafisik adalah
tentang hal – hal berikut :
1.
Tuhan, Pembahasan ini tidak berbeda dengan kajian theologi. Pada
konteks ini Tuhan harus diposisikan murni, atau ghaib al – mutlak dan
puncak serta sumber segala realitas metafisik dan fisik. Karena berbicara
metafisika harus sampai kepada pembahasan tentang Tuhan. Dalam konteks Islam,
ini adalah pembahasan paling pokok, sehingga barang siapa yang memiliki ilmu
metafiska yang kuat , maka keimanan seseorang akan menjadi kokoh.
2.
Makhluk – makhluk Tuhan yang tidak nampak ( malaikat, jin, syetan
). Bila selama ini banyak yang menganggap dunia metafiska hanya berkaitan
dengan alam arwah gentayangan dan hantu, maka harus ditambahkan untuk sampai
pada pembahasan tentang malaikat dan jin serta syetan sebagai makhluk yang
berada di bawah kendali Yang Maha Metafisik ( Allah ).
3.
Manusia, berkenaan dengan materi manusia, unsur – unsur dan potensi
manusia yang meliputi : akal, jiwa/ruh,
hati, orbit, kesadaran, cipta, dan angan – angannya serta prilakunya.
4.
Alam, yang meliputi alam ghaib, mulai alam mimpi, kubur, masyar,
mizan, sampai surga dan neraka. Berkenaan dengan alam materi yang menjadi bahan
kajian adalah masalah orbitnya dan kekuatan atau energy yang dikandungnya.
5.
Konsep – konsep pemikiran atau ide filosofis seperti masalah
kebahagiaan, keadilan, kesetaraan, kebaikan, kejahatan, dan sebagainya.[20]
Didalam QS. Al
Isro Ayat 70 menerangkan bahwa :
Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.
Tujuan sang
maha Pencipta/ Allah SWT dalam menciptakan makhlukNya sebagai manusia
paripurna/sempurna yaitu KHALIFAH dibumi,yang berarti memiliki kompetensi yang
sanggup mengemban misi Allah dibumi, bagi kepentingan kehidupan pribadinya,
umat lainnya, makhluk makhluk lain dengan segala isi bumi ini yang harus
diembannya,termasuk pemeliharaan, pengembangannya,perlindungannya dan
pemanfaatan secara berkseimbangan dan harmonis.
Mengingat sifat
misi yang multi komplek dan multi dimensi inilah, maka manusia diciptakanseseempurna
makhluk ( manusi paripurna) yang harus memililki kompetensi sempurna pula di
bidang fisika dalam kehidupan duniawidan metafisika dalam kehidupan dunia dan
uchrawi, sehingga pengabdian serta ibadahnya terhadap Allah Swtdapat dipenuhi
dengan baik. Ibadah yang baik kehadirat Allah haruslah baik pula IMTAG
nya/aqidah dan kaedahnya (Hablumminallah) Pengabdian /Ubudiahnya
kehadirat Allah SWT. Yang tertuju melalui kehidupan sosial kemanusiaan, serta
pemeliharaan bumi serta isinya pada lingkup kehidupannya membutuhkan
profesional yang baik pula dengan penguasaan IPTEK yang baik dan modern.
Keseimbangan IMTAG dan IPTEK harus harmonis. Oleh karenanya masalah metafisika
tidak mungkin lepas/lekang dari diri
seorang insan bahkan kehidupan manusia itu secara kodrati dan fitrah didomenasi
oleh unsur METAFISIKA sebagai konsistensi serta eksistansi mengaku turunan anak
cucu Adam AS/ Manusia Paripurna. Dengan kemajuan yang menabjubkan di bidang
IPTEK di era super modern ini dalam memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan umat
manusia di dunia cendrung terjadi ketidak seimbangan dengan kemajuan IMTAG
terutama dari segi meaning serta nilai-nilai/value secara hakiki, dimana metode
dan system dalam kajian IMTAG cenderung masih bersifat tradisional. Apabila
ketidakseimbangan berlangsung terus, maka ada kemungkinan agama yang di anut
akan di tinggalkan oleh umat itu sendiri,terutama makna serta nilai-nilai
hakikinya. Hal ini berarti manusia paripurna akan tererosi kodrat serta
fitrahnya dan menjurus kepada sekuler dan dapat menjurus secara hakiki dari
manusia paripurna/sempurna menjadi makhluk yang berderajat lebih rendah dari
hewan, dunia bisa kiamat. Prof. Kadirun Yahya : 1975 mengemukakan :
“ yang merubah peradapan manusia di bumi ini adalah teknokrat “
Memperhatikan ucapan beliau di atas, umat manusia khususnya para tekmokrat
berkewajiban mempertahankan keparipurnaan manusia dibumi ini dengan berusaha
mempertahankan kodrat serta fitrah sebagai makhluk monodualis/bumi-langit,
melalui keseimbangan kemajuan IPTEK serta IMTAG.[21]
D.
Klasifikasi Metafisika
Metafisika
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Kant
berpendapat, kalau difinisi tradisional metafisika yakni sebagai ilmu yang
menyelidiki tentang “ yang- ada sebagai yang- ada “.[22]
Dalam hal ini metafisika membicarakan sesuatu di sebalik yang tampak. Dengan
belajar metafisika orang justru akan mengenal akan Tuhannya, dan mengetahui
berbagai macam aliran yang ada dalam metafisika. Persoalan – persoalan
metafisis menjadi tiga, yaitu persoalan ontology, persoalan kosmologi, dan
persolalan antropologi.[23] Cristian
Wolf ( 1679-1754M ) membagikan metafisika menjadi dua bagian, yaitu metafisika
umum dan metafisika khusus. Dimana metafisika umum adalah yang dapat diserap
oleh indrawi, sedang metafisika khusus adalah yang tidak dapat diserap oleh
indrawi.[24]
1.
Metafisika Umum ( General )
Metafisika
umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Term ontologi pertama kali
diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.[25] Ontologi
terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan Logos. Ontos berarti
sesuatu yang terwujud dan logos berarti ilmu. dengan kata lain ontologi membahas tentang
wujud ( ada ). Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu dan keilmuan adalah
dunia empirik, dunia yang dapat di jangkau pancaindra. Jadi objek ilmu adalah
pengalaman indrawi. Dengan maksud, ontologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang hakikat oleh logika semata.[26]
Argumen
ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato ( 428-348 SM ) dengan teori ideanya.
Menurut Plato tiap – tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea
yang dimaksud oleh Plato adalah definisi
atau konsep universal dari setiap sesuatu. Plato mencotohkan pada seekor kuda,
bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap – tiap
kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih,
ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati, Idea kuda itu adalah
paham, gambaran, atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang
berada di benua mana pun di dunia ini.
Argumen
ontologi kedua dimajukan oleh St. Augustine (354–430M). Menurut Augustine,
manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran.
Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahuinya itu adalah suatu
kebenaran, Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran tetap ( kebenaran yang tidak berubah – ubah, dan itulah yang menjadi
sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui ynag benar. Kebenaran
tetap dan kekal itulah kebenaran ynag mutlak. Kebenaran inilah oleh Augustine
disebut Tuhan.[27]
2.
Metafisika Khusus ( Spesifik )
Terdiri
dari : Kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi. Kosmologi dari
Bahasa Yunani cosmos ( rapih, tertib, dunia ) lawan dari chaos (
kacau balau atau tidak tertib ). Kosmologi dimaksudkan sebagai penyelidikan
filosofis tentang dunia atau alam dan
ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas. Hal yang disoroti
dalam kosmologi antara lain adalah persoalan ruang dan waktu, perubahan,
kemungkinan – kemungkinan dan keabadian. Teologi Metafisik mempersoalkan eksistensi
Tuhan dan terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami
secara rasional. Filsafat antropologi merupakan bagian metafisika khusus yang
mempersoalkan apakah manusia itu ? Apakah hakikat manusia ? Filsafat
antropologis mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan metafisik
tentang realitas manusia sebagaimana adanya.[28]
E.
Peran Metafisika Dalam Ilmu Pengetahuan
1.
Metafisika mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal
lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab seorang metafisikus selalu
mengembangkan pikirannya untuk menjawab persoalan – persoalan yang bersifat
enigmatik ( teka – teki ).
2.
Metafisika menuntut orisinalitas berfikir yang sangat diperlukan bagi
ilmu pengetahuan. Artinya, seorang metafisikus senantiasa berupaya menemukan
hal – hal yang baru yang belum pernah diungkap sebelumnya. Sikap semacam ini
menuntut kreativitas dan rasa ingin tahu yang besar terhadap suatu permasalaha.
Pematangan sikap semacam ini akan mendidik seorang untuk selalu berkiprah pada
lingkup penemuan ( contest of discovery ), bukan lingkup pembenaran
semata.
3.
Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah praanggapan – praanggapan,
sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.
4.
Metafisika juga membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di
dalam melihat realitas, karena tidak ada kebenaran yang benar – benar absolute.
Hal ini akan menjadikan visi ilmu pengetahuan berkembang menurut ramifikasi (
percabangan ) yang sangat kaya dan beraneka ragam, sebagaimana yang terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.[29]
III.
Kesimpulan
1.
Epistemologi secara etimologis dari bahasa yunani epitesme ( pengetahuan
) dan logos ( kata, pikiran,
percakapan, atau ilmu ). Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang
pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman di atas, terdapat
beberapa hal yang dapat kita cermati tentang epistemologi : pertama, epistemologi gdasar
pengetahuan. kedua, epistemologi membahas tentang reliabilitas
pengetahuan, dan ketiga epistemologi melakukan investigasi tentang
sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
2.
Metafisika ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika ( sesudah fisika ), di dalamnya
mempelajari tentang pembahasan – pembahasan teologis dan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menentukan konsepsi
dasar umat mengenai alam jagat raya, psikologi, epistemologi, etika, bahkan
logika.
3.
Metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan
dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh.
Oleh karena itu, metafisika sering disebut sebagai filsafat dasariah atau yang
seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai filsafat pertama. Dalam hal tersebut
Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisik, melainkan proto
philosophia ( filsafat pertama ). dari sinilah mulai dikenal istilah
metafisika.
4.
Intuisi adalah medologi metafisika dan hal – hal yang dibicarakan
metafisika adalah Tuhan, makhluknya Tuhan yang tidak nampak, manusia, alam, dan
konsep – konsep pemikiran atau ide.
5.
Klasifikasi metafisika terbagi menjadi 2 : yaitu metafisika umum
dan metafisika khusus. dan salah satu peran metafisika adalah mengajarkan cara
berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adib,
Mohammad, Filsafat Ilmu Ontologi,
Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 69.
Al
Jauhari, Imam Khanafie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, STAIN
Pekalongan Press, Pekalongan, 2006, hlm. 135
Anwar,
Saeful, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi , Pustaka
Setia, Bandung, 2007, hlm. 181
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 134
Enver,
Israt Hasan, Metafika Iqbal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. hlm. 23-28.
Esha,
Muhammad In’am, Menuju Pemikiran Filsafat , UIN Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 99
Hadi,
P. Hardono, Epistemologi Filasafat Pengetahuan , Kanisius,
Yogyakarta, 1994, hlm. 5
Hakim,
U.N. Lukman, Metafisika Dalam Perspektif
Manusia Paripurna, Jurnal
Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4 No.1, Juni 2011, hlm. 491 – 492.
Hanafi,
A., Filsafat Skolastik , Pustaka
Al Husna, Jakarta, 1983, hlm. 108
Mustansyir,Rizal
dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm.
11
Muthahhari, Murtadha, Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran
Shadra, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm. 51
Rapar, Jen Hendrik, Pengantar Filsafat , Kanisius, Yogyakarta, 1996.
Siswanto,
Joko, Sistem – Sistem Metafisika Barat , Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1998, hlm. 1.
Surajiyo,
Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
hlm. 23.
Surajoyo,
Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 118.
Wattimena,
Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, hlm. 32
Yazdi,
Muhammad Misbah, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan , Bandung IKAPI, 2003,
hlm. 32
[4] Op.cit. Menuju Pemikiran Filsafat , hlm. 97
[5] Dr. P. Hardono Hadi, Epistemologi Filasafat Pengetahuan , Kanisius,
Yogyakarta, 1994, hlm. 5
[6] Op.cit. Menuju Pemikiran Filsafat , hlm. 98
[7] A. Hanafi, MA, Filsafat Skolastik , Pustaka Al Husna,
Jakarta, 1983, hlm. 108
[8] Dr. H. Saeful Anwar, MA, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi
Ontologi dan Aksiologi , Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 181
[9] Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains,
Grasindo, Jakarta, hlm. 32
[10] Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal
Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 11
[12] Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah
Pengantar Pemikiran Shadra, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm. 51
[13] Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, op.cit..
hlm. 34
[14] Muhammad Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat
Islam, Mizan , Bandung IKAPI, 2003, hlm. 32
[15] Op.cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “,
hlm. 86
[16] Dr. Israt Hasan Enver, Metafika Iqbal, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2004. hlm. 23-28.
[17] Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal
Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, hlm. 12
[18] op.cit. “Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi
Ontologi dan Aksiologi “,hlm. 289.
[19] ibid. Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi
Ontologi dan Aksiologi, hlm. 290.
[20] Dr. H. Imam Khanafie Al Jauhari, M.Ag, Filsafat
Islam Pendekatan Tematik, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2006, hlm.
135
[21] U.N. Lukman Hakim, Metafisika Dalam Perspektif Manusia Paripurna, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4 No.1, Juni
2011, hlm. 491 – 492.
MANUSIA
PARIPURNA
[22] Drs. Joko Siswanto, M.Hum, ,Sistem – Sistem
Metafisika Barat , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 1.
[23] Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
[24] Surajoyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT.
Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 118.
[25] Prof.Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Ilmu
, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 134
[26] Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu
Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 69.
[27] Drs. H. Mohammad Adib, MA.Ibid. hlm. 70-71.
[28] Op.Cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “,
hlm. 88
[29] Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal
Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu,, op.cit. hlm. 15-16.