UA-135753897-1 Jendela Ilmu: Juli 2016

Sabtu, 16 Juli 2016

Epistemologi Metafisika




Epistemologi Metafisika
----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)



Abstrak : Pembahasan Epistemologi berkenaan dengan persoalan tentang obyek pengetahuan, sumber pengetahuan, metode pengetahuan ,klasifikasi pengetahuan, hingga kadar pengetahuan manusia, Epistemologi metafisika mengurai tentang sumber metafisika dimana metafisika berawal dari filsafat pertama Aristoteles yang kemudian melalui karya – karyanya ditemukan istilah metafisika oleh Andronicus pada tahun 70 SM, Salah jatu jalan untuk mengurai tentang realitas metafisika dibutuhkan metode, salah satu metode metafisik adalah metode intuisi. Intuisi adalah suatu pengalaman singkat (Immediate experience) tentang yang nyata.  Hal – hal yang dibicarakan metafisika adalah Tuhan, makhluknya Tuhan yang tidak nampak, manusia, alam, dan konsep – konsep pemikiran atau ide. Dan Klasifikasi metafisika terbagi menjadi 2 : yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Serta salah satu peran metafisika adalah mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.


I.         Pendahuluan


Mempelajari epistemologi di dalam sebuah kajian filsafat  mempunyai peran penting dalam sebuah kehidupan manusia, karena epistemologi dapat melakukan investigasi tentang sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan. Epistemologi mempunyai fungsi yang sangat fundamental mulai sebagai landasan bagi tindakan manusia sehari – hari, pengembangan kearifan dalam berpengetahuan, hingga sebagai sarana untuk penyadaran bahwa di dunia ini terdapat variasi kebenaran yang dimiliki manusia yang oleh karenanya manusia layak menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

Epistemologi membahas beberapa persoalan penting seperti membahas tentang objek pengetahuan manusia, sumber pengetahuan manusia, klasifikasi pengetahuan, hingga kadar pengetahuan manusia. Terkait dengan objek pengetahuan manusia, dapat dibedakan menjadi objek yang empiris, ideal dan transenden. [1] Salah satu persoalan manusia yang penting adalah tentang sesuatu untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan yang terdalam dan memperoleh suatu usaha intelektual yang sungguh – sungguh  untuk melukiskan sifat – sifat umum dari kenyataan.[2] Untuk memperoleh hal tersebut dibutuhkan ilmu tentang metafisika, karena metafisika bisa dipahami sebagai teori tentang sifat dasar dan struktur dari kenyataan.[3] Untuk mengetahui lebih dalam,  tentang keberadaan metafisika penulis mencoba menuangkan dalam makalah ini tentang urgensi epistemologi metafisika sehingga dapat menghadirkan sumber, metode dan ciri – ciri yang melekat pada metafisika.

II.      Pembahasan

Epistemologi secara etimologis dari bahasa yunani epitesme               ( pengetahuan ) dan   logos ( kata, pikiran, percakapan, atau ilmu ). Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Webster Third New Internasional Dictionary mengartikan epistemologi sebagai the study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity. secara terminologinya epistemologi seringkali di katakan sebagai “ branch of philosophy concerned white the nature of  knowledge, its possibility, scope and general basis “.[4] Epistemologi bisa diartikan sebagai filsafat pengetetahuan yang merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan scope pengetahuan, pengandaian – pengandaian  dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[5]
Berdasarkan pemahaman di atas, terdapat beberapa hal yang dapat kita cermati tentang epistemologi  : pertama, epistemologi berkenaan dengan sifat pengetahuan, kemungkinan, cakupan, dan dasar – dasar pengetahuan. kedua, epistemologi membahas tentang reliabilitas pengetahuan, dan ketiga epistemologi melakukan investigasi tentang sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan.[6] Pengetahuan manusia meliputi dua macam presepsi, yaitu persepsi terhadap perkara – perkara yang materiil dan persepsi terhadap hal hal yang abstrack. Pengetahuan pertama timbul dari perhatian jiwa terhadap persoalan – persoalan yang terjadi dalam jiwa. sedangkan Persepsi yang kedua, yaitu terhadap hal – hal yang abstrak ( metafisik ), seperti Tuhan, jiwa, malaikat – malaikat, dan keputusan fikiran yang kita keluarkan terhadap hal – hal yang materiil rohaniyah.[7] dalam pembahasan hal - hal yang bersifat abstrack tidak jauh kaitannya dengan metafisika. Metafisika adalah bagian dari filasafat yang khusus membicarakan hakikat realitas mutlak, kami menyadari sepenuhnya bahwa metafisika pada masa sekarang ini tidak begitu populer dalam wacana pendidikan modern. Dalam Islam, metafisika yang di dalamnya termasuk pembahasan – pembahasan teologis, merupakan sesuatu  yang sangat penting dalam menentukan konsepsi dasar umat mengenai alam jagat raya, psikologi, epistemologi, etika, bahkan logika. Untuk mengokohkan pilar – pilar metafisika adalah dengan epistemologi, dengan asumsi dasar bahwa untuk menangkap esensi segala sesuatu, ada jalan yang dapat di tempuh manusia. Fokus kajian pada makalah ini adalah Epistemologi Metafisika, yang mencangkup sarana dan metodologi pencapaian, parameter kebenaran dan klasifikasi ilmu.[8]

A.    Sarana Pencapaian Metafisika

Metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering disebut sebagai filsafat dasariah atau yang seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai filsafat pertama.[9] Dalam hal tersebut Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisik, melainkan proto philosophia ( filsafat pertama ). Filsafaat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala – gejala fisik seperti bergerak, berubah, hidup, dan mati. Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya dapat dikatakan setara dengan metafisika. Yaitu filsafat pertama ( first philosophy ), pengetahuan tentang sebab ( knowledge of cause ), studi tentang ada sebagai ada ( The Study of Being as Being ), studi tentang ousia ( Being ), studi tentang hal – hal abadi dan yang tidak dapat digerakan ( the studi of the eternal and immoveble ), dan Teologi.[10] Aristoteles menggunakan istilah – istilah ini sebenarnya dalam konteks kritiknya terhadap cara berfilsafat para filsuf Yunani kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para filsuf sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang paling mendalam, artinya argumen – argumen yang mereka ajukan masihlah sederhana dan belumlah memuaskan, karna itulah, Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai filsafat yang kedua.
Kemudian ia mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba menggali semua aspek realitas dan sudutnya yang paling mendalam mulai dari tentang alam, tentang Tuhan, tentang jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian menggunakan cara berfilsafat seperti itu sebagai filsafat pertama, atau metafisika. Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek – obyek yang dapat di tangkap oleh panca indera, tetapi juga obyek – obyek yang hakekatnya melampaui panca indera tersebut seperti, Tuhan.[11] Aristoteles tidak memberikan bagi sains ini. Karya – karyanya dikumpulkan dalam sebuah ensiklopedia setelah dia meninggal. Bagian yang tengah dipersoalkan ini ditempatkan setelah bagian mengenai filsafat alam dan, karena tidak mempunyai nama khusus, kemudian dikenal dengan metafisika.[12] Dalam hal ini, Metafisika itulah salah satu tema filsafat yang diajarkan oleh Aristoteles kepada murid – muridnya. Ia membagi dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan pengetahuan praktis  (practical knowledge ). Pengetahuan teoritis mencangkup matematika, fisika, dan apa yang disebutnya sebagai filsafat pertama ( first philosophy ). Nah, filsafat pertama inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika, terutama karena tempatnya berada setelah fisika, dan dianggap melampaui fisika. Nama metafisika pun akhirnya menjadi salah satu tema penting di dalam pemikiran Aristoteles.[13] Dalam perkembangan setelah Aristoteles Istilah Metafisika diketemukan oleh Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya – karya Aristoteles [14], dan  merupakan judul yang diberikan Andronikus dan Rhodes terhadap empat belas buku karya Aristoteles, yang di tempatkan sesudah fisika yang terdiri dari delapan buku.[15]

B.     Metodologi Metafisika

Salah jatu jalan untuk mengurai lintas realitas metafisika dibutuhkan metode, salah satu metode metafisik adalah metode intuisi. Intuisi adalah suatu pengalaman singkat (Immediate experience) tentang yang nyata. Realitas yang sebenarnya masuk melalui diri kita dalam pengalaman ini. pengalaman singkat ini bentuknya menyerupai persepsi. Realitas Mutlak, dalam pengalaman melalui intuisi, dapat dipahami secara langsung. Tuhan dipahami sebagaimana memahami obyek – obyek lainnya. Disini pengetahuan adalah langsung. Jadi, intuisi berbeda dengan pikiran. Pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran selalu berjangka dan tidak langsung. dengan pikiran tidak ada persepsi langsung terhadap objek.
Intuisi adalah milik khas hati. Ia bukan milik akal atau intelek. Akal atau intelek hanya menjangkau dunia fenomena, yakni, aspek realitas yang tampak dalam persepsi indrawi. Hati membawa kita berhubungan dengan aspek realias, bukan membuka persepsi indrawi. Lebih jauh, pikiran selalu “bergerak mengitari obyek – obyek. Fungsinya adalah untuk memahami realitas dengan kategori – kategori.
Intuisi adalah keseluruhan yang tak teranalisa. Di dalam intuisi itu adalah keseluruhan realitas yang berada dalam satu kesatuan yang tak terbagi. Bahkan pelaku pengalaman itu sendiri “ tenggelam “ dalam kesatuan. Dalam pengalaman ini tak ada kemungkinan perbedaan jarak antara diri dengan bukan-diri. Kaum mistis menjadi lupa akan dirinya, dia kehilangan dirinya , dia tidak eksis lagi, dia tak lain objek dari dirinya sendiri. Realitas masuk ke dalam dirinya sebagai keseluruhan yang tunggal, yang tak dapat dibai dan dianalisa.[16]

C.    Parameter dan Kebenaran Metafisika

Metafisika berusaha memfokuskan diri pada prinsip dasar yang terletak pada berbagai pertanyaan atau yang diasumsikan melalui berbagai pendekatan intelektual. Setiap prinsip dinamakan “pertama“, sebab prinsip – prinsip itu tidak dapat dirumuskan ke dalam istilah lain atau melalui hal lain yang mendahuluinya.[17] dalam kajian pengetahuan ilmu diperlukan suatu kebenaran yang hakiki. Masalah kebenaaran (truth) memang merupakan puncak kajian epistemologi yang bermuara pada metafisika.[18] Esensi “ kebenaran “ telah dirumuskan dengan beberapa terma, seperti aletheia ( yunani ), veritas ( latin ), dan truth ( inggris ). Secara etimologis, alatheia berarti “ luput dari perhatian, tidak kelihatan dan tersembunyi “. Kemudian, ia berubah menjadi berarti positif, yaitu sesuatu yang ditemukan, dipahami, terlihat dan berkilauan. Dari sini, ia berarti “ daya terang atau evidensi realitas “, dan “ penemuan akal terhadap evidensi tersebut “. Kata veritas secara etimologis berarti “ pilihan atau kepercayaan akal “, atau “ sesuatu yang dipilih atau dipercayai akal “. Dalam konteks  linguistik ini truth berarti “ apa yang dipahami dan dipilih akal “, atau “ kegiatan yang menyebabkan akal berhasil menemukan dan memilih.[19]
Untuk menemukan kebenaran metafisik, kita perlu mengetahui hal – hal yang diperbincangkan oleh metafisik, dimana hal – hal tersebut dapat kita jadikan sebagai parameter dalam memahami metafisik. Adapun yang dibicarakan dalam metafisik adalah tentang hal – hal berikut :
1.      Tuhan, Pembahasan ini tidak berbeda dengan kajian theologi. Pada konteks ini Tuhan harus diposisikan murni, atau ghaib al – mutlak dan puncak serta sumber segala realitas metafisik dan fisik. Karena berbicara metafisika harus sampai kepada pembahasan tentang Tuhan. Dalam konteks Islam, ini adalah pembahasan paling pokok, sehingga barang siapa yang memiliki ilmu metafiska yang kuat , maka keimanan seseorang akan menjadi kokoh.
2.      Makhluk – makhluk Tuhan yang tidak nampak ( malaikat, jin, syetan ). Bila selama ini banyak yang menganggap dunia metafiska hanya berkaitan dengan alam arwah gentayangan dan hantu, maka harus ditambahkan untuk sampai pada pembahasan tentang malaikat dan jin serta syetan sebagai makhluk yang berada di bawah kendali Yang Maha Metafisik ( Allah ).
3.      Manusia, berkenaan dengan materi manusia, unsur – unsur dan potensi  manusia yang meliputi : akal, jiwa/ruh, hati, orbit, kesadaran, cipta, dan angan – angannya serta prilakunya.
4.      Alam, yang meliputi alam ghaib, mulai alam mimpi, kubur, masyar, mizan, sampai surga dan neraka. Berkenaan dengan alam materi yang menjadi bahan kajian adalah masalah orbitnya dan kekuatan atau energy yang dikandungnya.
5.      Konsep – konsep pemikiran atau ide filosofis seperti masalah kebahagiaan, keadilan, kesetaraan, kebaikan, kejahatan, dan sebagainya.[20]

Didalam QS. Al Isro Ayat 70 menerangkan bahwa :

  
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Tujuan sang maha Pencipta/ Allah SWT dalam menciptakan makhlukNya sebagai manusia paripurna/sempurna yaitu KHALIFAH dibumi,yang berarti memiliki kompetensi yang sanggup mengemban misi Allah dibumi, bagi kepentingan kehidupan pribadinya, umat lainnya, makhluk makhluk lain dengan segala isi bumi ini yang harus diembannya,termasuk pemeliharaan, pengembangannya,perlindungannya dan pemanfaatan secara berkseimbangan dan harmonis.
Mengingat sifat misi yang multi komplek dan multi dimensi inilah, maka manusia diciptakanseseempurna makhluk ( manusi paripurna) yang harus memililki kompetensi sempurna pula di bidang fisika dalam kehidupan duniawidan metafisika dalam kehidupan dunia dan uchrawi, sehingga pengabdian serta ibadahnya terhadap Allah Swtdapat dipenuhi dengan baik. Ibadah yang baik kehadirat Allah haruslah baik pula IMTAG nya/aqidah dan kaedahnya (Hablumminallah) Pengabdian /Ubudiahnya kehadirat Allah SWT. Yang tertuju melalui kehidupan sosial kemanusiaan, serta pemeliharaan bumi serta isinya pada lingkup kehidupannya membutuhkan profesional yang baik pula dengan penguasaan IPTEK yang baik dan modern. Keseimbangan IMTAG dan IPTEK harus harmonis. Oleh karenanya masalah metafisika tidak  mungkin lepas/lekang dari diri seorang insan bahkan kehidupan manusia itu secara kodrati dan fitrah didomenasi oleh unsur METAFISIKA sebagai konsistensi serta eksistansi mengaku turunan anak cucu Adam AS/ Manusia Paripurna. Dengan kemajuan yang menabjubkan di bidang IPTEK di era super modern ini dalam memenuhi kebutuhan serta kesejahteraan umat manusia di dunia cendrung terjadi ketidak seimbangan dengan kemajuan IMTAG terutama dari segi meaning serta nilai-nilai/value secara hakiki, dimana metode dan system dalam kajian IMTAG cenderung masih bersifat tradisional. Apabila ketidakseimbangan berlangsung terus, maka ada kemungkinan agama yang di anut akan di tinggalkan oleh umat itu sendiri,terutama makna serta nilai-nilai hakikinya. Hal ini berarti manusia paripurna akan tererosi kodrat serta fitrahnya dan menjurus kepada sekuler dan dapat menjurus secara hakiki dari manusia paripurna/sempurna menjadi makhluk yang berderajat lebih rendah dari hewan, dunia bisa kiamat. Prof. Kadirun Yahya : 1975 mengemukakan : 
“ yang merubah peradapan manusia di bumi ini adalah teknokrat “ Memperhatikan ucapan beliau di atas, umat manusia khususnya para tekmokrat berkewajiban mempertahankan keparipurnaan manusia dibumi ini dengan berusaha mempertahankan kodrat serta fitrah sebagai makhluk monodualis/bumi-langit, melalui keseimbangan kemajuan IPTEK serta IMTAG.[21]


D.    Klasifikasi Metafisika

Metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Kant berpendapat, kalau difinisi tradisional metafisika yakni sebagai ilmu yang menyelidiki tentang “ yang- ada sebagai yang- ada “.[22] Dalam hal ini metafisika membicarakan sesuatu di sebalik yang tampak. Dengan belajar metafisika orang justru akan mengenal akan Tuhannya, dan mengetahui berbagai macam aliran yang ada dalam metafisika. Persoalan – persoalan metafisis menjadi tiga, yaitu persoalan ontology, persoalan kosmologi, dan persolalan antropologi.[23] Cristian Wolf ( 1679-1754M ) membagikan metafisika menjadi dua bagian, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Dimana metafisika umum adalah yang dapat diserap oleh indrawi, sedang metafisika khusus adalah yang tidak dapat diserap oleh indrawi.[24]
1.      Metafisika Umum ( General )
Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.[25] Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan Logos. Ontos berarti sesuatu yang terwujud dan logos berarti ilmu.  dengan kata lain ontologi membahas tentang wujud ( ada ). Menyoal tentang wujud hakiki objek ilmu dan keilmuan adalah dunia empirik, dunia yang dapat di jangkau pancaindra. Jadi objek ilmu adalah pengalaman indrawi. Dengan maksud, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat oleh logika semata.[26]










Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato     ( 428-348 SM ) dengan teori ideanya. Menurut Plato tiap – tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud  oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu. Plato mencotohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk tiap – tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih, ataupun belang, baik yang hidup ataupun yang sudah mati, Idea kuda itu adalah paham, gambaran, atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua mana pun di dunia ini.
Argumen ontologi kedua dimajukan oleh St. Augustine (354–430M). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahuinya itu adalah suatu kebenaran, Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran tetap ( kebenaran yang tidak berubah – ubah, dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui ynag benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran ynag mutlak. Kebenaran inilah oleh Augustine disebut Tuhan.[27]
2.      Metafisika Khusus ( Spesifik )
Terdiri dari : Kosmologi, teologi metafisik, dan filsafat antropologi. Kosmologi dari Bahasa Yunani cosmos ( rapih, tertib, dunia ) lawan dari chaos ( kacau balau atau tidak tertib ). Kosmologi dimaksudkan sebagai penyelidikan filosofis tentang  dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas. Hal yang disoroti dalam kosmologi antara lain adalah persoalan ruang dan waktu, perubahan, kemungkinan – kemungkinan dan keabadian. Teologi Metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan dan terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Filsafat antropologi merupakan bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu ? Apakah hakikat manusia ? Filsafat antropologis mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan metafisik tentang realitas manusia sebagaimana adanya.[28]
                       
E.     Peran Metafisika Dalam Ilmu Pengetahuan

1.      Metafisika mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab seorang metafisikus selalu mengembangkan pikirannya untuk menjawab persoalan – persoalan yang bersifat enigmatik ( teka – teki ).
2.      Metafisika menuntut orisinalitas berfikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan. Artinya, seorang metafisikus senantiasa berupaya menemukan hal – hal yang baru yang belum pernah diungkap sebelumnya. Sikap semacam ini menuntut kreativitas dan rasa ingin tahu yang besar terhadap suatu permasalaha. Pematangan sikap semacam ini akan mendidik seorang untuk selalu berkiprah pada lingkup penemuan ( contest of discovery ), bukan lingkup pembenaran semata.
3.      Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah praanggapan – praanggapan, sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan berpijak yang kuat.
4.      Metafisika juga membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di dalam melihat realitas, karena tidak ada kebenaran yang benar – benar absolute. Hal ini akan menjadikan visi ilmu pengetahuan berkembang menurut ramifikasi ( percabangan ) yang sangat kaya dan beraneka ragam, sebagaimana yang terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini.[29]

III.   Kesimpulan

1.      Epistemologi secara etimologis dari bahasa yunani epitesme                       ( pengetahuan ) dan   logos ( kata, pikiran, percakapan, atau ilmu ). Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman di atas, terdapat beberapa hal yang dapat kita cermati tentang epistemologi  : pertama, epistemologi gdasar pengetahuan. kedua, epistemologi membahas tentang reliabilitas pengetahuan, dan ketiga epistemologi melakukan investigasi tentang sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
2.      Metafisika ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika   ( sesudah fisika ), di dalamnya mempelajari tentang pembahasan – pembahasan teologis dan merupakan sesuatu  yang sangat penting dalam menentukan konsepsi dasar umat mengenai alam jagat raya, psikologi, epistemologi, etika, bahkan logika.
3.      Metafisika adalah cabang filsafat yang hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam, sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering disebut sebagai filsafat dasariah atau yang seperti dikatakan oleh Aristoteles sebagai filsafat pertama. Dalam hal tersebut Aristoteles sendiri tidak memakai istilah metafisik, melainkan proto philosophia ( filsafat pertama ). dari sinilah mulai dikenal istilah metafisika.
4.      Intuisi adalah medologi metafisika dan hal – hal yang dibicarakan metafisika adalah Tuhan, makhluknya Tuhan yang tidak nampak, manusia, alam, dan konsep – konsep pemikiran atau ide.
5.      Klasifikasi metafisika terbagi menjadi 2 : yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. dan salah satu peran metafisika adalah mengajarkan cara berfikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.




















DAFTAR PUSTAKA

Adib,  Mohammad, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 69.
Al Jauhari, Imam Khanafie, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2006, hlm. 135
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi , Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 181
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 134
Enver, Israt Hasan, Metafika Iqbal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. hlm.       23-28.
Esha, Muhammad In’am, Menuju Pemikiran Filsafat ,  UIN Maliki Press,  Malang, 2010, hlm. 99
Hadi, P. Hardono,  Epistemologi  Filasafat Pengetahuan , Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 5
Hakim, U.N. Lukman, Metafisika Dalam Perspektif  Manusia Paripurna,  Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4  No.1,  Juni 2011, hlm. 491 – 492.
Hanafi, A.,  Filsafat Skolastik , Pustaka Al Husna, Jakarta, 1983, hlm. 108
Mustansyir,Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 11
Muthahhari, Murtadha, Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran Shadra, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm. 51
Rapar, Jen Hendrik,  Pengantar Filsafat  , Kanisius, Yogyakarta, 1996.
Siswanto, Joko, Sistem – Sistem Metafisika Barat , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 1.
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
Surajoyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 118.
Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, hlm. 32
Yazdi, Muhammad Misbah, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan , Bandung IKAPI, 2003, hlm. 32










                [1] Muhammad In’am Esha,, Menuju Pemikiran Filsafat ,  UIN Maliki Press,  Malang, 2010, hlm. 99
               [2] Muhammad In’am Esha , Ibid. hlm.76
               [3] Jen Hendrik Rapar,  Pengantar Filsafat  , Kanisius, Yogyakarta, 1996.
[4]  Op.cit.  Menuju Pemikiran Filsafat , hlm. 97
[5]  Dr. P. Hardono Hadi,  Epistemologi  Filasafat Pengetahuan , Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 5
[6]  Op.cit.  Menuju Pemikiran Filsafat , hlm. 98
[7]  A. Hanafi, MA,  Filsafat Skolastik , Pustaka Al Husna, Jakarta, 1983, hlm. 108
[8]  Dr. H. Saeful Anwar,  MA, Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi , Pustaka Setia, Bandung, 2007, hlm. 181
[9]   Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, hlm. 32
[10]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 11
[11] Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, op.cit. hlm. 32
[12]  Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah Pengantar Pemikiran Shadra, Penerbit Mizan, Bandung, 2002, hlm. 51
[13]  Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, op.cit.. hlm. 34
[14]  Muhammad Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan , Bandung IKAPI, 2003, hlm. 32
[15]  Op.cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “, hlm. 86
[16]  Dr. Israt Hasan Enver, Metafika Iqbal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004. hlm. 23-28.
[17]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu, hlm. 12
[18]  op.cit. “Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi “,hlm. 289.
[19]  ibid. Filsafat Ilmu Al Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi,  hlm. 290.
[20]  Dr. H. Imam Khanafie Al Jauhari, M.Ag, Filsafat Islam Pendekatan Tematik, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2006, hlm. 135
[21]  U.N. Lukman Hakim, Metafisika Dalam Perspektif  Manusia Paripurna,  Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4  No.1,  Juni 2011, hlm. 491 – 492.
MANUSIA PARIPURNA
[22]  Drs. Joko Siswanto, M.Hum, ,Sistem – Sistem Metafisika Barat , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, h. 1.
[23]  Drs. Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 23.
[24]  Surajoyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 118.
[25]  Prof.Dr. Amsal Bakhtiar, MA, Filsafat Ilmu , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 134
[26]  Drs. H. Mohammad Adib, MA., Filsafat Ilmu Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 69.
[27]  Drs. H. Mohammad Adib, MA.Ibid. hlm. 70-71.
[28]  Op.Cit. “ Menuju Pemikiran Filsafat “, hlm. 88
[29]  Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, Filsafat Ilmu,, op.cit. hlm. 15-16.