STUDI
ISLAM DENGAN PENDEKATAN
SOSIOLOGI
DAN MAQOSID SYARI’AH
(
REFLEKSI
PEMIKIRAN M. ATHO MUDZHAR DAN JASSER AUDAH )
----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA 2015 –
2016 SEMESTER 1 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH STUDI ISLAM INTEGRATIF
DOSEN PENGAMPU : Dr.
H. MOHAMMAD HASAN BISRI, M.Ag
I.
Pendahuluan
Telah
menjadi kesepakatan umum bahwa ilmu ( science ) didefinisiikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang diorganisasi secara sistematik. Definisi tersebut memang benar
adanya, tetapi William Good dan Paul Hatt (keduanya adalah guru
besar pada jurusan Sosiologi di Colombia University dan North Western
University, Amerika Serikat), mengingatkan bahwa difinisi itu baru memadai
kalau kata – kata pengetahuan (knowledge) dan sistematik (syistematic) di
definisikan lagi secara benar. Kalau tidak, pengetahuan teologis yang disusun
secara sistematik, dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural
scienceis).[1]
Hal tersebut dinyatakan oleh M. atho Mudzar melalui pemikirannya pendekatan
studi Islam melaui sosiologi. di artikel ini penulis mencoba mengetengahkan
pememikiran M. Atho Mudzar tentang Studi Islam melalui pendekatan sosiologi.
Dalam artikel ini penulis juga menuliskan pemikiran tokoh besar Islam yaitu
Jasser Audah melalui Maqoshid Syari’ahnya. sedikit menyinggung tentang maqoshid
yaitu istilah maqosid ini diambil dari bentuk jamak dari kata
maqsud yang berarti tuntutan,
kesengajaan atau tujuan.Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan
tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan
akhirat. Adapun makna maqashid al-syariah
secara istilah adalah al-ma’aani allati syuri’at laha al-ahkam
yang berarti nilai-nilai yang menjadi
tujuan penetapan hukum. Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka
menetapkan hukum, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan maqashid
al-syariah menjadi suatu yang urgen bagi
masalah-masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.
II.
Pembahasan
1.
Pendekatan Studi Islam M. Atho Muzhar Tentang Agama sebagai Gejala
Budaya dan Gejala Sosial.
Pada
awalnya ilmu hanya ada 2 : ilmu kealaman dan ilmu budaya. ilmu kealaman,
seperti fisika, kimia, biologi dan lain – lain mempunyai tujuan utama mencari
hukum – hukum alam, mencari keteraturan – keteraturan yang terjadi pada alam.
Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu waktu mengenai suatu
gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain. pada waktu lain
dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari
atas ke bawah besok kalau dites lagi juga begitu. itulah inti daripada
penelitian dalam ilmu – ilmu eksata, yakni mencari keterulangan dari gejala –
gejala, yang kemudian di angkat menjadi teori, menjadi hukum.[2]
M.
Atho Mudzar dalam bukunya bahwa ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture
( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka
agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus,
lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat
seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan
seperti NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ini kita bisa melihat berbagai hal
terkait agama sebagai gejala agama misalnya memakai peci bagi laki – laki yang
sedang sholat. Biasanya di kampung, laki – laki yang tidak memakai peci ketika
sholat di anggap kurang Islam, padahal peci secara normatife bukanlah sesuatu
yang wajib. inilah salah satu bentuk agama sebagai gejala budaya.[3]
Penelitian
keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk
gejala ini. orang boleh mengambil tokohnya, seperti K.H. A. Dahlan, Muhammad
Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution, dan lain – lain sebagai sasaran
studinya. studi semacam ini biasanya membahas tentang kehidupan dan pemikiran
tokoh itu termasuk bagaimana tokoh itu mencoba memahami dan mengartikulasikan
agama yang diyakininya.[4]
Rosihan
anwar menjelaskan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini berdasarkan asumsi
bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta
menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya umat manusia di
muka bumi.[5]
Di
dalam konsep Islam benda – benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan
seorang muslim dengan Haharul Aswad, misalnya, Umar bin Khatab
mengatakan : ” Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan
menciummu “. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu – batu yang lain, maka
nilai Hajarul Aswad bagi seorang pengamat agama terletak pada
kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu
mensyakralkan wahyu Allah. Tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan,
yang dibacakan, ataukah isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau
bacaannya maka bentuk – bentuk tulisan Al Qur’an atau penggambaran titik dan
harokat, apalagi kaligrafi Al Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang
dapat di jadikan objek penelitian.[6]
2.
Pendekatan Studi Islam Jasser Audah Tentang Maqosid Al Syari’ah
Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan
Maqasid al-Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan
seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep
sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan
memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A
syistem Approach Jasser Auda mengartikan
Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan
akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum.
Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis
dari hukum. Keempat, Mashalih. Dalam
konsep Maqasid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan
Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama. Jasser Auda berusaha
mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and
preservation menuju pada teori maqashid
yang mengacu pada development and
rights. Teori maqashid yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan,
terutama pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan
(necessity) di atas dengan beberapa
alasan berikut ini: a) scope teori
maqashid meliputi seluruh hukum Islam, b)
lebih bersifat individual; c) tidak memasukkan nilai-nilai yang paling
universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d) dideduksi
dari kajian literature fiqhi, bukan
mengacu pada sumber original/script. Berikut ini gambaran teori maqashid
kontemporer dari 3 dimensi baru.
Para ulama’
kontemporer membagi maqāṣid kepada tiga tingkatan, yaitu maqāṣid ‘āmah
(General maqāṣid/tujuan-tujuan umum), maqāṣid khāṣṣah
(Specific) maqāṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial
maqāṣid/ tujuan-tujuan parsial). Maqāṣid
‘āmah adalah nilai dan makna umum
yang ada pada semua kondisi tasyri’ atau
di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan. Maqāṣid
khaṣṣah adalah maslahat
dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam syariah, seperti
tujuan tidak
merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system keluarga, menakut-nakuti
masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman, menghilangkan gharar
(ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqāṣid juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin
direalisasikan dalam pentasyri’an hukum tertentu, seperti tujuan kejujuran dan
hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu orang, menghilangkan
kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang tidak sanggup
berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya. Di sisi yang lain, piramida maqāṣid al-Sharīah terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ḍarūriyah,
ḥājiyah dan taḥsīniyah. Sedangkan penelitian
para ulama’ klasik, al-Maqāṣid al-ḍarūriyah dalam membuat syariah Islam
terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga
agama (hifẓ al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ al-nafs),
menjaga akal (hifẓ al-‘aql),
menjaga keturunan (hifẓ
al-nasl) dan menjaga harta (hifẓ
al-māl). Para ulama’ klasik,
semisal al-Ghazali dan al-Syatibi menyebutnya dengan al-kulliyah al-khamsah
yang menurut mereka dianggap sebagai usūl al-syariah dan merupakan tujuan umum
dari pembuatan syariah tersebut.Para ulama klasik menyusun maqāṣid al-Sharī’ah dalam tingkatan yang bersifat piramida, yang
dimulai dari maqāṣid ‘amah
sebagai pusatnya kemudian bercabang-cabang menjadi maqāṣid khasah dan
terakhir maqāṣid juz’iyah. Kemudian dari sisi yang lain dimulai dari al-ḍarūriyah,
ḥājiyah kemudian tahsīniyah.[7]
Mereka
menyusun urutan prioritas jika terjadi
pertentangan antara maqasid satu dengan lainnya, maka diprioritaskan yang
lebih kuat, yaitu mendahulukan penjagaan agama atas jiwa, akal dan seterusnya.
Walaupun kelihatannya teori ini sederhana, namun ternyata aplikasi teori ini dalam realitas sangat sulit dan rumit.
Karena itu muncul pandangan lain di antara ulama kontemporer semisal Jamaludin
‘Atiyah dan Jasser Auda yang berbeda dengan susunan klasik di atas. Mereka
berpendapat bahwa maqāṣid al-Syarī’ah dengan
segala tingkatannya bukan merupakan susunan/bangunan yang bersifat piramid,
yang mana maqasid terbagi antara yang atas dengan yang bawah, namun ia
merupakan lingkaran-lingkaran yang saling bertemu dan bersinggungan (dawāir
mutadākhilah wa mutaqāṭi’ah), yang hubungannya saling terkait satu dengan
lainnya. Di sisi yang lain, kita tidak boleh membatasi konsep maqāṣid pada apa
yang ditetapkan oleh ulama klasik sebagaimana diuraikan atas. Hal ini
disebabkan perkembangan dan perubahan zaman tentu saja akan berefek pada
perubahan hukum. Sesuatu yang pada masa klasik dianggap tidak berharga bisa
jadi saat ini menjadi berharga dan bernilai, sebagaimana terdapat dalam
berbagai komoditas, jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Begitu juga,
sesuatu pada kondisi dan tempat tertentu sangat berharga tetapi pada kondisi
dan tempat yang lain menjadi tidak berharga. [8]
Hal ini,
menurut Jasser Auda, karena bagaimanapun
maqāṣid adalah produk penelitian
(istiqrā’) para ulama’ mujtahid dari teks-teks Syariah. Sedangkan istiqrā’
merupakan refleksi dari taṣawwur
teoritis yang ada pada diri mujtahid.
Taṣawwur ini bisa berubah sesuai
dengan perkembangan pemikiran, kecerdasan dan perubahan kondisi dan waktu.
Jasser Auda menganalogkan hal ini dengan alam semesta, yang mana pengetahuan
manusia atasnya berkembang dan pemahaman manusia berubah dari zaman ke zaman
seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang terus
berkembang.Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul fiqh meletakkan
beberapa syarat \bagi ‘illat, secara umum ada empat syarat, yaitu sifat
tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur (munḍabit), bisa diberlakukan kepada
realitas atau hal yang lain, tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan mu’tabarah
dalam arti tidak ada teks yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak
dipakai.Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada ta’līl al-ahkām, khususnya
dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para ulama membedakan antara ranah ibadah
dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah ta’abbud
dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan kebiasaan hukum
asalnya adalah melihat kepada makna dan
maqasid. Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak berpedoman pada ta’līl al-ahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm
al-Dhahiri beserta pengikut mereka yang dikenal dengan madzhab Dhahiri. Mereka
menolak untuk mengaitkan hukum dan teks-teks syariah dengan ‘illat
serta mengajak untuk mengamalkan teks semata tanpa mencari illat hukum,
sehingga hukumnya tidak bisa diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut.
Dengan demikian mereka adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai salah
Kelompok yang
berdekatan dengan mereka adalah ulama’ yang mengakui ta’līl al-ahkām, namun mempersempit ruangnya
hanya pada illat yang disebutkan pada teks, dan tidak
memberlakukan ‘illat yang berdasar pada
akal dan logika, sehingga mereka tidak lepas dari teks dan tidak melakukan
qiyas kecuali yang illatnya ditetapkan dalam teks. Konsep ta’līl al-ahkām merupakan dasar dari konsep maqāṣid al-Syarī’ah sebagai filosofi
penetapan hukum. Karena itu Madzhab al-Dhahiri menolak penggunaan maqāṣid al-Syarī’ah dalam penentuan hukum, sebagaimana sebagian
ulama’ mengakui maqāṣid al-Syarī’ah, namun membatasinya pada apa yang ada pada
teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada selain obyek teks tersebut.
Sedang mayoritas ahli usul fiqh menekankan pentingnya penggunaan maqāṣid al-Syarī’ah sebagi instrumen
penetapan hukum berdasarkan pengakuan mereka pada ta’līl al-ahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi
menyatakan bahwa ta’līl al-ahkām dan mengaitkannya dengan hikmah dan
kemaslahatan telah menjadi kesepakatan
(ijma’) ulama’ kecuali sebagian kecil saja.Menjadikan maqāṣid
al-syarī’ah sebagai ‘illat
sebagaimana di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini
karena maqāṣid al-syarī’ah dan hikmah berbeda dengan ‘illat
sebagaimana didefinisikan oleh ulama’. Walaupun ‘illat
merupakan representasi dari
maqasid dan hikmah, namun secara
spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat sebagaimana di
atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi pada maqāṣid dan
hikmat al-syarī’ah. Karena itu Auda menekankan pentingnya
penggunaan maqāṣid al-syarī’ah sebagai
manaṭ hukum sebagaimana ‘illat.
Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama maqāṣhid (tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama
illat-nya, ada atau tidak ada. Lebih
lanjut, Jasser Auda menggagas maqāṣid al-syarīah dengan pendekatan system sebagai pisau
analisis dalam kajian hukum Islam. Menurut Auda, penggunaan maqāṣid
al-syarī’ah dengan pendekatan system ini
harus memperhatikan semua komponen yang ada dalam system hukum Islam,
yaitu cognitive nature (pemahaman dasar), wholeness (Keseluruhan), openness (keterbukaan), interrelated hierarchy
(hirarki yang saling terkait), multi-dimensionality (multi dimensionalitas) dan purposefulness
(orientasi tujuan) hukum Islam.[9]
III.
Kesimpulan
1.
M.
Atho Mudzar mengemukakan ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture
( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka
agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus,
lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat
seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan
seperti NU dan Muhammadiyah.
2.
Dari
Penjelasan Rosihan anwar menerangkan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini
berdasarkan asumsi bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan
mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya
umat manusia di muka bumi.
3.
Jasser
Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al-Syariah.
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah
yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat
mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat
bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Auda , Jasser, Fiqh
al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System
Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
Auda , Jasser, Maqāṣid
al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
Anwar , Rosihan, “ Pengantar
Studi Islam “, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 31
Mudzar , M. Atho,
“ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, hlm. 12.
Mudzar dkk, M. Atho “ Rekontruksi
Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 173
Nasution , Khoirudin, “ Cara
Memandang dan Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.
[1] M. Atho Mudzar
dkk “ Rekontruksi Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press,
Yogyakarta, 2003, hlm. 173
[2] Dr. H.M. Atho Mudzar, “ Pendekatan Studi
Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm.
12.
[3] Khoirudin Nasution, “ Cara Memandang dan
Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.
[4] Op.cit. Dr.
H.M. Atho Mudzar, hlm. 14.
[5] Rosihan Anwar, “ Pengantar Studi Islam “, Pustaka
Setia, Bandung, 2015, hlm. 31.
[6] Op.cit. Dr.
H.M. Atho Mudzar, hlm. 15.
[7] Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as
Philosophy of Islamic Law a System Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
[8] Jasser Auda, Maqāṣid
al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari
http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
[9]
Op.cit. hl,. 65