Tinjauan Normatif
Teologis
Tentang Integrasi Ilmu
Agama Islam
Dengan Ilmu – Ilmu Umum
OLEH : SAFRUDIIN
A.
PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sudah
terbiasa dengan sebutan Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum. Ilmu Agama Islam yang
berbasis pada wahyu, hadits nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah perkembang
demikian pesat, misalnya mengenal ilmu Kalam (Teologi) , ilmu fiqih/ushul fiqih,
filsafat, tasawuf, tafsir/Ilmu Tafsir, Hadits/Ilmu Hadist, Sejarah dan
Peradaban Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam.
Selanjutnya
ilmu umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan data juga mengalami perkembangan
yang lebih pesat lagi dibandingkan dengan ilmu – ilmu Agama Islam sebagaimana
tersebut di dalam Islam. Ilmu – ilmu umum ini secara garis besar dapat dibagi
kepada tiga bagian. Pertama, ilmu umum yang bercorak naturalis dengan
alam raya dan fisik sebagaimana objek kajiannya. Yang termasuk dalam ilmu ini
antara lain : fisika, biologi, kedokteran, astronomi dan sebagainya. Kedua,
ilmu umum yang bercorak sosiologis dengan prilaku sosial/manusia sebagai objek
kajiannya. Yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain : antro pologi,
sosiologi, politik, ekonomi, pendidikan, komonikasi, psikologi dan sebagainya. Ketiga,
ilmu umum yang bercorak filosofis panalaran. Yang termasuk dalam ilmu ini
antara lain : filsafat, logika, seni dan dan ilmu – ilmu humaniora lainnya.[1]
Dalam
menciptakan seorang yang ahli dalam ilmu tertentu, perlu adanya hal yang perlu
dilakukan, salah satunya adalah ia dapat mengintegrasikan atau menghubungkan ilmu
yang dimilikinya itu dengan ilmu lainnya. Seseorang yang mempelajari ilmu fiqih
misalnya, perlu memiliki dasar – dasar ilmu ekonomi, ilmu social, budaya, dan
lain sebagainya, karena ilmu fiqih banyak berkaitan dengan masalah sosial,
ekonomi, budaya dan sebainya itu.
Dalam
mengintegrasikan antara ilmu agama Islam dengan ilmu- ilmu umum perlu adanya
tinjauan normatif teologi, melalui tinjauan normatif teologis ini, seseorang
akan di bawa kepada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan prespektif Tuhan dalam
batas – batas yang dapat dipahami manusia. Dengan tinjauan ini seseorang akan
memiliki pegangan yang kokdangoh dalam suatu masalah. Tinjauan normatif teologis
ini perlu dilakukan untuk membangun komitmen dan melihat sesuatu dalam
prespektif yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan dalam firman –
firman-Nya.
Tinjauan
normatif teologis pada tahap selanjutnya mengharuskan kita untuk melihat secara
seksama bagaimana pandangan Tuhan terhadap integrasi Ilmu Agama Islam dan Umum,
sebagaimana terdapat dalam firman-Nya di dalam Qur’an dan dijabarkan oleh Nabi
Muhammad Saw. dalam haditsnya. Uraian selanjutnya akan dijumpai bagaimana
sesungguhnya Al Qur’an dan al-sunnah melihat masalah integrasi Ilmu Agama Islam
dan Ilmu Umum ini.[2]
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Pandangan Al
Qur’an dan al Sunnah tentang Ilmu – ilmu Agama Islam dan Ilmu – ilmu Umum ?
2.
Pandangan Al
Qur’an dan al Sunnah tentang Integrasi Ilmu Agama Islam dengan Ilmu Umum ?
C. PEMBAHASAN
1.
ILMU – ILMU
AGAMA ISLAM
Istilah ilmu – ilmu agama “ atau “ ilmu/studi religi
atau religious studies dapat digunakan untuk semua studi dan penelitian
ilmiah mengenai agama dengan pendekatan sosial - empiris.[3]
Dalam ilmu agama Islam, atau yang dalam bahasa Al
Ghazali disebut dengan al ulum al syariah merupakan ilmu ilmu yang
diperoleh dari nabi – nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika
atau melalui riset, seperti ilmu kedokteran atau melalui pendengaran seperti ilmu bahasa. Sedangkan
ilmu – ilmu umum atau yang disebut dengan ilmu intelektual ( al ulum al
aqliyah ) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek
manusia semata.
Menurut Al Ghozali, ilmu – ilmu agama Islam terdiri
dari ilmu tentang prinsip – prinsip dasar ( ilmu ushul ) dan ilmu
tentang cabang – cabang ( furu’ ) atau prinsip – prinsip cabang.
Menurut Al Syirazi ilmu ilmu agama ini dikatogorikan
dalam ilmu – ilmu non filsafat ( al ulum ghoiru hikmy ). Ilmu – ilmu
religus diklasifikasikan menurut dua cara yang berbeda : (1) klasifikasi dalam
ilmu – ilmu naqliy dan ilmu – ilmu intelektual (aqliy); (2) klasifikasi
dalam ilmu tentang pokok – pokok ( ushul ) dan ilmu tentang cabang –
cabang ( furu’).
2.
ILMU – ILMU UMUM
Ilmu – ilmu umum ( al ulum al aqliyah ) adalah
ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui pemikiran manusia semata. Al Ghozali
membagi kategori ilmu – ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, yaitu : (1)
matematika ; (2) logika ; (3) fisika ; (4) ilmu – ilmu tentang wujud di luar
alam atau metafisika. [4]
D. PANDANGAN AL QUR’AN DAN AL SUNNAH TENTANG ILMU AGAMA ISLAM DAN ILMU – ILMU UMUM
Ilmu adalah hasil
manusia dalam berusaha dan menentang kesukaran hidup, seperti ilmu sosial, ilmu
eksata, ilmu alam, ilmu falsafah, ilmu agama, ilmu seni budaya, dan banyak lagi
macam ilmu menurut bidangnya masing – masing.[5]
Salah satu nilai yang
sangat ditegaskan dalam syari’at Islam adalah “ di fardlukan “ ( di wajibkannya ) menuntut ilmu.
Kewajiban dalam menuntut ilmu bukan hanya sekedar “ ilmu agama “
melainkan seluruh ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia serta alam di
sekitarnya hal ini bisa dimengerti dengan berbagai argumentasi berikut ini.
Kitab suci umat Islam
disebut Al Qur’an. Al Qur’an merupakan istilah arab yang berasal dari bangunan
kata : qara’a – yaqra’u – qur’aanan artinya “ bacaan ”. dari sini secara
tidak langsung ada suatu himbauan yang sangat halus agar siapa pun orang yang
mengaku muslim harus selalu “ membaca “. Di dalam membaca terdapat
proses transformasi ilmu pengetahuan. Dari transformsi ilmu pengetahuan terjadi
pengendapan dalam qolbu yang akhirnya dapat terefleksikan dalam pola pikir,
pola sikap dan pola tindak.[6]
Al qur’an dan al sunnah
sesungguhnya membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu – ilmu umum.
Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum adalah merupakan hasil
kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya.
Jika objek ontologis yang dibahasnya wahyu ( Al Qur’an ) termasuk penjelasan
atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. berupa hadits, dengan
menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkannya adalah ilmu – ilmu agama,
teologi, fiqih, tafsir, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Kemudian jika
objek ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, seperti langit, bumi, serta
segala isi yang ada di antara keduanya, yakni matahari, bulan, bintang, tumbuh
– tumbuhan, binatang, air, api, udara, batu – batuan dan sebagainya dengan
menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratium, pengukuran,
penimbangan, dan sebagainya, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam (natural
sciences) seperti ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi, dan lain
sebagainya.
Ilmu ilmu tersebut
seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber sumber ilmu
tersebut berupa wahyu, alam jagat raya ( termasuk hukum – hukum yang ada di
dalamnya ), manusia dan pelakunya, akal pikiran dan intusi batin seluruhnya
ciptaan dan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan , para ilmuan
dalam berbagai bidang ilmu tersebut sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu
ilmu, penciptanya adalah Tuhan.
Al Qur’an dan al – Sunnah
tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini dapat
dipahami dari uraian berikut ini :
1. Di
dalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar meraih kebahagiaan hidup
yang seimbang antara dunia dan akhirat. Hal ini misalnya dapat dipahami dari
ayat Al Qur’an dan Al Hadits berikut ini.
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. ( QS Al-Qashash,{28}: 27 )
Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)t !$oY/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$# ÇËÉÊÈ
Dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka".[7](QS
Al Baqarah,{2}:201)
Di
dalam hadits Rasulullah Saw. dinyatakan :
عن انس ضي
الله عنه ان نبي صلا الله عليه وسلم قال : لـَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تـَرَكَ دُ
نْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلاَ آخِرَتَهُُ لِدُ نْيَاهُ حَتَّى يُصِْيبُ مِنْهُمَا
جَمِيْعًا فـَإنَّ ِلدُّ نْيَا بَلاَغ ٌ اِلىَ الآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ
عَلىَ النَّاسِ .
Bekerjalah untuk mencapai kebahagiaan hidupmu di dunia seolah –
olah engkau akan hidup selama – lamanya, dan bekerjalah untuk mencapai
kebahagiaan hidupmu di akhirat seolah – olah engkau akan meninggal besok pagi ( HR.Ibn Asakir )
2. Al
Qur’an dan Al Hadits, melarang seseorang mengatakan sesuatu yang ia sendiri
tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari yang dikatakanya itu. Hal ini
mengingatkan kepada manusia, bahwa ia harus memiliki pengetahuan tentang apa
yang dikatakannya. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh taklid buta, karena
apa yang kita katakan akan dimintakan pertanggung jawaban di sisi Tuhan.
Kenyataan ini banyak dijumpai dalam ayat Al qur’an dan Hadits. Kita misalnya
membaca ayat sebagai berikut.
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya. ( QS: Al Isra’{17}36 ).
z`ÏBur
Ĩ$¨Z9$#
`tB
ãAÏ»pgä
Îû
«!$#
ÎötóÎ/
5Où=Ïã
ßìÎ6®Ktur
¨@à2
9`»sÜøx©
7̨B
ÇÌÈ
Di antara
manusia ada orang yang membantah tentang Allah[8]
tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti
Setiap syaitan yang jahat,
3. Al
Qur’an dan al-Sunnah selain berbicara tentang objek ilymu agama dan ilmu umum
seperti ayat – ayat Allah yang ada di dalam wahyu ( kitab suci ) yang
diturunkannya, ayat – ayat Allah yang ada dijagad raya (alam semesta dengan
segala hokum yang ada di dalamnya), ayat – ayat Allah yang ada dalam diri
manusia (ayat – ayat insaniyah, basyariah, al-nasiyah), ayat – ayat Allah yang
menjelaskan fungsi akal serta hati nurani, yang selanjutnya menjadi dimensi
ontologis dalam ilmu pengetahuan, juga berbicara tentang metode pengembangan
ilmu dan pemanfaatannya. Dari ayat – ayat tersebut diantaranya ada yang
berbicara tentang objek – objek ilmu pengetahuan tersebut ada yang dinisbatkan
kepada Allah. Dalam ajaran Al Qur’an, Allah swt, tidak dinamakan al a’rif tetapi
‘alim , yang berkata kerja ya’lam ( Dia mengetahui ), dan biasanya Al
Qur’an menggunakan kata itu untuk Allah, dalam hal – hal yang diketahui-Nya,
walaupun ghaib, tersembunyi atau dirahasiakan.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa Al Qur’an dan Hadits memiliki pandangan
tentang pengembangan ilmu yang integrated, baik pada dataran ontologism,
epistemologis maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan
dengan pandangan pengembangan ilmu – ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
Barat yang bercorak persial, tidak utuh dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali
ilmu – ilmu tersebut digunakan untuk tujuan – tujuan yang menghancurkan
martabat manusia, termasuk manusia yang menciptakan ilmu pengetahuan itu
sendiri.[9]
E. PANDANGAN QUR’AN DAN SUNNAH
TENTANG INTEGRASI ILMU AGAMA ISLAM DAN ILMU – ILMU UMUM
Perkembangan ilmu
pengetahuan yang mengarah ke spesialisasi ilmu disertai temuan – temuan
teknologinya berdampak besar. Profile peta perkembangan ilmu pengetahuan
menghadirkan sekat – sekat, bahkan keberadaan cabang – cabang ilmu dengan
spesifikasinya menunjukan kecendrungan disintegrasi keilmuan. Spesialisasi
keilmuan yang didukung teknologi di bidangnya dan mempercepat ilmu pengetahuan
mencapai otonomimya membuat setiap ilmu dengan kaidah dan teknologinya merasa
eksis dan mampu berkembang sendiri tanpa perlu intervensi kaidah – kaidah di
luar ilmunya, termasuk kaidah etika, moral, dan agama.[10]
Islam sangat menghargai
Ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan kurnia Tuhan yang semata – mata diberikan
kepada umat manusia, sehingga , ke duanya dianggap sifat khas manusia. Manusia
mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud – wujud suci,
dan tak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu, ini merupakan
kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Selain itu manusia pun
mempunyai kecenderungan untuk selalu ingin memahami semesta alam, serta
memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang, dan masa mendatang,
yang semuanya merupakan ciri khas ilmu pengetahuan. Oleh karena itu agama dan
ilmu pengetahuan harus diupayakan agar selalu sejalan, dan Islam adalah satu –
satunya agama yang memadukan ( mengintegrasikan ) keduanya.[11]
Sebagaimana sebutkan di
atas , bahwa menurut pandangan Islam sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama
dan ilmu umum. Yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari
Allah Swt.
Namun dilihat dari
sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu – illmu agama dan ilmu
– ilmu umum , atau paling tidak paradigma ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu
umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis dalam
membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Al Quran al-karim dan
hadits Rasulullah Saw. dengan ayat – ayat dan matan yang ada di dalamnya mecoba menawarkan suatu penyelesaian atas hal
– hal yang sepertinya bertentangan. Berkaitan dengan hal itu, di sini akan
dikemukakan beberapa contoh saja, yang memperlihatkan bahwa antara agama dan
ilmu pengetahuan saling membutuhkan, dan tidak bertentangan. Hal ini dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Agama
menyuruh manusia berfikir, mengggunakan akal pikiran dan segenap potensi
lainnya yang dimiliki sebagaimana tercermin pada ayat – ayat Al Qur’an yang
menggunakan istilah tatafakkur, tatadabbarun, tatazakkarun, ta’akkul,
tafaquuh, intidzar, iqra, tafahhum, tabassarun dan seterusnya. Istilah –
istilah mengacu kepada keharusan berfikir, merenungkan sesuatu yang tersirat,
mengingat ciptaan Allah, memeras akal pikiran, memahami agama, mengobservasi
dan menemukan. Perintah – perintah agama yang demikian dapat dijumpai
praktiknya dalam ilmu pengetahuan, dengan kata lain kerja ilmu pengetahuan
merupakan perintah agama.
2. Di
dalam wahyu terdapatsi perintah Allah untuk melaksanakan ibadah, mengolah alam
dalam rangka pelaksanaan fungsi sebagai khalifah di muka bumi, memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupan lain sebagainya.
3. Agama
berisikan ajaran tentang moralitas dan akhlak mulia, seperti ajaran tentang
bersyukur dan ibadah kepada Allah, berbuat salih dan hal – hal yang bermanfaat
dan berguna bagi kehidupan manusia. Di satu pihak ilmu pengetahuan dan
teknologi melalui berbagai teori yang dirumuskannya telah menawarkan berbagai
kemudahan – kemudahan bagi manusia, seperti kemudahan dalam berkomunikasi ,
kemudahan dalam mendapatkan makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan berbagai
kenikmatan lainnya. Ilmu pengetahuan telah menghasilkan kemajuan untuk mencapai
percepatan sampai pada tujuan. Namun, ilmu pengetahuan itu tidak tahu tujuan
apa yang harus di capai dengan semua itu. Agamalah yang memberikan landasan dan
arah bagi penggunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Untuk ini tepat sekali ungkapan Albert Einstein yang mengingatkan bahwa
ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta.
4. Agama
berfungsi membenarkan, melengkapi dan mengoreksi terhadap berbagai temuan dalam
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa jadi sampai kepada kebenaran yang
sesuai dengan yang dinyatakan dalam agama. Terhadap demikian agama
membenarkannya dan agama berfungsi sebagai penguat (konfirmator). Ilmu pengetahuan misalnya tidak tahu bahwa setelah mati ada
kehidupan di akhirat, atau berzina itu dilarang. Dalam keadaan demikian, agama
datang memberitahukan bahwa perbuatan itu tidak baik. Dengan demikian antara
agama dan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam bukan untuk dipertentangkan
melainkan untuk saling melengkapi.
5. Agama
berbicara tentang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kehidupan di dunia
harus menjadi sarana atau media untuk mencapai hidup bahagia di akhirat. Untuk
itu agama membutuhkan sarana kehidupan duniawi. Karna itu kehidupan duniawi
yang memerlukan dukungan ilmu pengetahuan agama itu membutuhkan bimbingan
agama.
6.
Agama berbicara
tentang alam ghoib, dan kepercayaan terhadap alam gaib ini termasuk hal amat
ditekankan dalam Al Qur’an, dan menjadi salah satu ciri dari orang yang
bertaqwa yaitu orang yang percaya kepada yang ghoib, mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezekinya, percaya kepada yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw dan kepada apa yang diturunkan kepada Nabi sebelumnya, serta
percaya kepada hari akhirat. Adanya yang ghaib ini sama sekali tidak bertentangan
dengan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada hal – hal yang empiris,
rasionalistik, dan realistsiic. Berbagai temuan para ilmu mutakhir telah sampai
pada kesimpulan bahwa antara yang ghaib dan yang nampak terdapat hubungan
fungsional yang intensif dan saling mengisi. Dengan sifatnya yang terbatas,
ilmu pengetahuan akan sampai pada batas tidak lagi melihat sesuatu hanya dengan
mata kepala atau dengan menggunakan peralatan observasi supercanggih sekalipun.
Dan dengan melalui konsep iman kepada yang ghaib itu, kebuntuan yang dicapai
oleh ilmu pengetahuan tersebut dapat di atasi. Dengan percaya yang ghaib , mata
yang digunakan sudah bukan mata kepala lagi, tapi dengan mata hati, dan mata
hai ini ada pada manusia. Dengan bantuan konsep yang ghaib ini ilmu pengetahuan
akan terbebas dari kebuntuan, ia ditolong dari ketidakberdayaan, dan gilirannya
ia akan tetap eksis secara fungsional dalam menjelaskan berbagai masalah yang
dihadapi. Dengan cara demikianlah ilmu pengetahuan dan agama seharusnya
berkerjasama dan berintegrasi.[12]
F.
KESIMPULAN
1. Islamisasi
ilmu pengetahuan adalah merupakan sebuah tanggung jawab moral para ilmuwan
dalam rangka menyelamatkan peradaban ummat manusia. Islamisasi ilmu pengetahuan
mencangkup istilah spiritualisasi, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmu
umum.
2. Integrasi
ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum ternyata memiliki landasan
normatif teologis. Karena masalah integrasi ini bukan mengada – ada melainkan
sebagai sebuah kenyataan dan sekaligus tuntutan.
3. Secara
normatif teologis sebenarnya tidak ada pemisahan atau dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum. Al Qur’an dan al sunnah tidak membeda – bedakan antara
ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu umu. Keduanya terikat dengan prinsip tauhid,
sesuatu prinsip yang melihat bahwa baik aspek ontologism, epistemologis, maupun
aksiologis ilmu pengetahuan adalah sama.
4. Integrasi
ilmu agama dan ilmu umum mengharuskan seseorang untuk memahami prinsip –
prinsip umum yang ada pada kedua bidang ilmu tersebut sambil mengembangkan
keahlian pada bidang ilmu tertentu sesuai dengan bakat dan minat masing –
masing.
G.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin dkk “ Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu umum “,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.1-3.
Banawiratma, SJ, J.B.”Teologi Lintas Ilmu Menguji Omongan Agama”,
Penebit Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 61
Kusumopradoto, S. “ Pandangan Hidup Manusia “, Aneka Ilmu,
Semarang, hlm. 10
Asy-Syirbaany, Ridwan,”Membentuk pribadi lebih Islami” PT.
Intimedia Cipta nusantara", Jakarta. Hlm 194
Fajar Riyanto, Waryani,” Kata Pengantar Nalar Filsafat Ilmu
Sosial Islam Integratif “
Djumhana Bastaman, Hanna, “integrasi Psikologi dengan Islam”,
Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 146
[1] Abuddin Nata dkk “ Integrasi Ilmu Agama dan
Ilmu umum “, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.1-3.
[2] Ibid. hlm. 49-50.
[3] J.B.
Banawiratma, SJ,”Teologi Lintas Ilmu Menguji Omongan Agama”, Penebit
Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 61
[4] Op.cit. hlm.
156
[5]
S.Kusumopradoto, “ Pandangan Hidup Manusia “, Aneka Ilmu, Semarang, hlm.
10
[6] Ridwan Asy-Syirbaany,”Membentuk pribadi
lebih Islami” PT. Intimedia Cipta nusantara", Jakarta. Hlm 194
[7] Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim.
[8]
Maksud membantah tentang Allah ialah membantah sifat-sifat dan
kekuasaan Allah, misalnya dengan mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah
puteri- puteri Allah dan Al Quran itu adalah dongengan orang- orang dahulu dan
bahwa Allah tidak Kuasa menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan telah
menjadi tanah.
[9] Op.cid. hlm. 51-67.
[10] Waryani Fajar
Riyanto,” Kata Pengantar Nalar Filsafat Ilmu Sosial Islam Integratif
“
[11] Hanna Djumhana
Bastaman, “integrasi Psikologi dengan Islam”, Pustaka Pelajar, 1995,
hlm. 146
[12] Op.cit. hlm.
67-75.