UA-135753897-1 Jendela Ilmu: 2015

Rabu, 23 Desember 2015

Studi Islam

STUDI ISLAM DENGAN PENDEKATAN
SOSIOLOGI DAN MAQOSID SYARI’AH
( REFLEKSI PEMIKIRAN M. ATHO MUDZHAR DAN JASSER AUDAH )
 ----***----
OLEH : SAFRUDIIN ( 2052115012)
MAHASISWA PASCA SARJANA  2015 – 2016 SEMESTER 1 STAIN PEKALONGAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH STUDI ISLAM INTEGRATIF
DOSEN PENGAMPU : Dr. H. MOHAMMAD HASAN BISRI, M.Ag

I.         Pendahuluan

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa ilmu ( science ) didefinisiikan sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisasi secara sistematik. Definisi tersebut memang benar adanya, tetapi William Good dan Paul Hatt (keduanya adalah guru besar pada jurusan Sosiologi di Colombia University dan North Western University, Amerika Serikat), mengingatkan bahwa difinisi itu baru memadai kalau kata – kata pengetahuan (knowledge) dan  sistematik (syistematic) di definisikan lagi secara benar. Kalau tidak, pengetahuan teologis yang disusun secara sistematik, dipandang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam (natural scienceis).[1] Hal tersebut dinyatakan oleh M. atho Mudzar melalui pemikirannya pendekatan studi Islam melaui sosiologi. di artikel ini penulis mencoba mengetengahkan pememikiran M. Atho Mudzar tentang Studi Islam melalui pendekatan sosiologi. Dalam artikel ini penulis juga menuliskan pemikiran tokoh besar Islam yaitu Jasser Audah melalui Maqoshid Syari’ahnya. sedikit menyinggung tentang maqoshid yaitu istilah maqosid ini diambil dari bentuk jamak dari kata  maqsud  yang berarti tuntutan, kesengajaan atau tujuan.Shari’ah adalah sebuah kebijakan (hikmah) dan tercapainya perlindungan bagi setiap orang pada kehidupan dunia dan akhirat.  Adapun makna maqashid al-syariah secara istilah  adalah  al-ma’aani allati syuri’at laha al-ahkam yang berarti  nilai-nilai yang menjadi tujuan penetapan hukum. Sebagai landasan dalam berijtihad dalam rangka menetapkan hukum, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pertimbangan maqashid al-syariah  menjadi suatu yang urgen bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan hukumnya secara tegas dalam nash.

II.      Pembahasan

1.      Pendekatan Studi Islam M. Atho Muzhar Tentang Agama sebagai Gejala Budaya dan Gejala Sosial.

Pada awalnya ilmu hanya ada 2 : ilmu kealaman dan ilmu budaya. ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi dan lain – lain mempunyai tujuan utama mencari hukum – hukum alam, mencari keteraturan – keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain. pada waktu lain dengan memperhatikan gejala eksak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas ke bawah besok kalau dites lagi juga begitu. itulah inti daripada penelitian dalam ilmu – ilmu eksata, yakni mencari keterulangan dari gejala – gejala, yang kemudian di angkat menjadi teori, menjadi hukum.[2]

M. Atho Mudzar dalam bukunya bahwa ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture ( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus, lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah. Dalam hal ini kita bisa melihat berbagai hal terkait agama sebagai gejala agama misalnya memakai peci bagi laki – laki yang sedang sholat. Biasanya di kampung, laki – laki yang tidak memakai peci ketika sholat di anggap kurang Islam, padahal peci secara normatife bukanlah sesuatu yang wajib. inilah salah satu bentuk agama sebagai gejala budaya.[3]

Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala ini. orang boleh mengambil tokohnya, seperti K.H. A. Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution, dan lain – lain sebagai sasaran studinya. studi semacam ini biasanya membahas tentang kehidupan dan pemikiran tokoh itu termasuk bagaimana tokoh itu mencoba memahami dan mengartikulasikan agama yang diyakininya.[4]

Rosihan anwar menjelaskan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini berdasarkan asumsi bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya umat manusia di muka bumi.[5]

Di dalam konsep Islam benda – benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan seorang muslim dengan Haharul Aswad, misalnya, Umar bin Khatab mengatakan : ” Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu “. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu – batu yang lain, maka nilai Hajarul Aswad bagi seorang pengamat agama terletak pada kepercayaan orang Islam mengenai nilai yang ada di dalamnya. Islam tentu mensyakralkan wahyu Allah. Tetapi ada perdebatan, apakah wahyu itu tulisan, yang dibacakan, ataukah isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau bacaannya maka bentuk – bentuk tulisan Al Qur’an atau penggambaran titik dan harokat, apalagi kaligrafi Al Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat di jadikan objek penelitian.[6]

2.      Pendekatan Studi Islam Jasser Audah Tentang Maqosid Al Syari’ah


Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al-Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach  Jasser Auda mengartikan Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum.  Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashalih.  Dalam konsep  Maqasid  yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama. Jasser Auda berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and preservation  menuju pada teori  maqashid  yang mengacu pada development  and rights. Teori  maqashid  yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity)   di atas dengan beberapa alasan berikut ini: a) scope  teori maqashid  meliputi seluruh hukum Islam, b) lebih bersifat individual; c) tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d) dideduksi dari kajian literature  fiqhi, bukan mengacu pada sumber original/script. Berikut ini gambaran teori maqashid kontemporer dari 3 dimensi baru. 
Para ulama’ kontemporer membagi  maqāṣid  kepada tiga tingkatan, yaitu maqāṣid  ‘āmah  (General maqāṣid/tujuan-tujuan umum), maqāṣid  khāṣṣah  (Specific) maqāṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial maqāṣid/ tujuan-tujuan parsial). Maqāṣid  ‘āmah  adalah nilai dan makna umum yang ada pada semua kondisi tasyri’  atau di sebagian besarnya, seperti keadilan, kebebasan, keadilan dan kemudahan.  Maqāṣid  khaṣṣah  adalah  maslahat  dan nilai yang ingin direalisasikan dalam satu bab khusus dalam  syariah, seperti
tujuan tidak merendahkan dan membahayakan perempuan dalam system keluarga, menakut-nakuti masyarakat dan efek jera dalam memberikan hukuman, menghilangkan gharar (ketidakjelasan) dalam muamalat, dan lainnya. Sedang maqāṣid  juz`iyah adalah tujuan dan nilai yang ingin direalisasikan dalam pentasyri’an hukum tertentu, seperti tujuan kejujuran dan hafalan dalam ketentuan persaksian lebih dari satu orang, menghilangkan kesulitan pada hukum bolehnya tidak berpuasa bagi orang yang tidak sanggup berpuasa karena sakit, bepergian atau lainnya. Di sisi yang lain, piramida  maqāṣid al-Sharīah  terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ḍarūriyah, ḥājiyah dan  taḥsīniyah. Sedangkan penelitian para ulama’ klasik, al-Maqāṣid al-ḍarūriyah dalam membuat syariah Islam terangkum dalam penjagaan lima hal pokok dalam kehidupan, yaitu: menjaga agama  (hifẓ al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ  al-nafs),  menjaga akal  (hifẓ   al-‘aql),  menjaga keturunan  (hifẓ al-nasl)  dan menjaga harta  (hifẓ  al-māl).  Para ulama’ klasik, semisal al-Ghazali dan al-Syatibi menyebutnya dengan al-kulliyah al-khamsah yang menurut mereka dianggap sebagai usūl al-syariah dan merupakan tujuan umum dari pembuatan syariah tersebut.Para ulama klasik menyusun  maqāṣid al-Sharī’ah  dalam tingkatan yang bersifat piramida, yang dimulai dari  maqāṣid  ‘amah  sebagai pusatnya kemudian bercabang-cabang menjadi maqāṣid khasah dan terakhir maqāṣid juz’iyah. Kemudian dari sisi yang lain dimulai dari  al-ḍarūriyah,  ḥājiyah  kemudian  tahsīniyah.[7]
Mereka menyusun  urutan prioritas jika terjadi pertentangan antara  maqasid  satu dengan lainnya, maka diprioritaskan yang lebih kuat, yaitu mendahulukan penjagaan agama atas jiwa, akal dan seterusnya. Walaupun kelihatannya teori ini sederhana, namun ternyata aplikasi teori  ini dalam realitas sangat sulit dan rumit. Karena itu muncul pandangan lain di antara ulama kontemporer semisal Jamaludin ‘Atiyah dan Jasser Auda yang berbeda dengan susunan klasik di atas. Mereka berpendapat bahwa maqāṣid al-Syarī’ah  dengan segala tingkatannya bukan merupakan susunan/bangunan yang bersifat piramid, yang mana maqasid terbagi antara yang atas dengan yang bawah, namun ia merupakan lingkaran-lingkaran yang saling bertemu dan bersinggungan (dawāir mutadākhilah wa mutaqāṭi’ah), yang hubungannya saling terkait satu dengan lainnya. Di sisi yang lain, kita tidak boleh membatasi konsep maqāṣid pada apa yang ditetapkan oleh ulama klasik sebagaimana diuraikan atas. Hal ini disebabkan perkembangan dan perubahan zaman tentu saja akan berefek pada perubahan hukum. Sesuatu yang pada masa klasik dianggap tidak berharga bisa jadi saat ini menjadi berharga dan bernilai, sebagaimana terdapat dalam berbagai komoditas, jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Begitu juga, sesuatu pada kondisi dan tempat tertentu sangat berharga tetapi pada kondisi dan tempat yang lain menjadi tidak berharga. [8]
Hal ini, menurut Jasser Auda, karena bagaimanapun  maqāṣid  adalah produk penelitian (istiqrā’) para ulama’ mujtahid dari teks-teks Syariah. Sedangkan  istiqrā’  merupakan refleksi dari taṣawwur  teoritis yang ada pada diri mujtahid.  Taṣawwur  ini bisa berubah sesuai dengan perkembangan pemikiran, kecerdasan dan perubahan kondisi dan waktu. Jasser Auda menganalogkan hal ini dengan alam semesta, yang mana pengetahuan manusia atasnya berkembang dan pemahaman manusia berubah dari zaman ke zaman seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang terus berkembang.Berdasarkan definisi di atas, para ahli ushul fiqh meletakkan beberapa syarat \bagi ‘illat, secara umum ada empat syarat, yaitu sifat tersebut harus tampak (ẓāhir), terukur (munḍabit), bisa diberlakukan kepada realitas atau hal yang lain, tidak berlaku khusus (muta’addiy), dan  mu’tabarah   dalam arti tidak ada teks yang menunjukkan bahwa sifat tersebut tidak dipakai.Mayoritas ahli ushul fiqh berpedoman pada ta’līl al-ahkām, khususnya dalam bidang muamalah. Dalam hal ini para ulama membedakan antara ranah ibadah dan ranah muamalah. Dalam ranah ibadah, hukum asalnya adalah  ta’abbud  dan berpatokan pada naṣ, sedang dalam muamalah dan kebiasaan hukum asalnya  adalah melihat kepada makna dan maqasid. Hanya sebagian kecil diantara ulama yang tidak berpedoman pada  ta’līl al-ahkām, yaitu Dawud dan Ibn Hazm al-Dhahiri beserta pengikut mereka yang dikenal dengan madzhab Dhahiri. Mereka menolak untuk mengaitkan hukum dan teks-teks syariah dengan  ‘illat  serta mengajak untuk mengamalkan teks semata tanpa mencari illat hukum, sehingga hukumnya tidak bisa diberlakukan pada selain obyek dari teks tersebut. Dengan demikian mereka adalah kelompok yang menolak qiyas sebagai salah
Kelompok yang berdekatan dengan mereka adalah ulama’ yang mengakui  ta’līl al-ahkām, namun mempersempit ruangnya hanya pada  illat  yang disebutkan pada teks, dan tidak memberlakukan ‘illat  yang berdasar pada akal dan logika, sehingga mereka tidak lepas dari teks dan tidak melakukan qiyas kecuali yang illatnya ditetapkan dalam teks. Konsep  ta’līl al-ahkām  merupakan dasar dari konsep  maqāṣid al-Syarī’ah sebagai filosofi penetapan hukum. Karena itu Madzhab al-Dhahiri menolak penggunaan  maqāṣid al-Syarī’ah   dalam penentuan hukum, sebagaimana sebagian ulama’ mengakui maqāṣid al-Syarī’ah, namun membatasinya pada apa yang ada pada teks dan tidak membolehkan penggunaannya pada selain obyek teks tersebut. Sedang mayoritas ahli usul fiqh menekankan pentingnya penggunaan  maqāṣid al-Syarī’ah sebagi instrumen penetapan hukum berdasarkan pengakuan mereka pada  ta’līl al-ahkām. Bahkan Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa  ta’līl al-ahkām  dan mengaitkannya dengan hikmah dan kemaslahatan telah menjadi kesepakatan  (ijma’) ulama’ kecuali sebagian kecil saja.Menjadikan maqāṣid al-syarī’ah  sebagai  ‘illat  sebagaimana di atas, menurut Jasser Auda kurang tepat. Hal ini karena  maqāṣid al-syarī’ah  dan hikmah berbeda dengan  ‘illat  sebagaimana didefinisikan oleh ulama’. Walaupun  ‘illat  merupakan representasi dari  maqasid  dan hikmah, namun secara spesifik, ulama’ klasik mensyaratkan ‘illat dengan empat syarat sebagaimana di atas, dan syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi pada maqāṣid  dan  hikmat al-syarī’ah. Karena itu Auda menekankan pentingnya penggunaan  maqāṣid al-syarī’ah  sebagai  manaṭ  hukum sebagaimana ‘illat. Hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah bersama maqāṣhid  (tujuan-tujuannya) sebagaimana ia bersama illat-nya, ada atau tidak ada.  Lebih lanjut, Jasser Auda menggagas maqāṣid al-syarīah   dengan pendekatan system sebagai pisau analisis dalam kajian hukum Islam. Menurut Auda, penggunaan maqāṣid al-syarī’ah  dengan pendekatan system ini harus memperhatikan semua komponen yang ada dalam system hukum Islam, yaitu  cognitive nature  (pemahaman dasar), wholeness  (Keseluruhan), openness  (keterbukaan), interrelated hierarchy (hirarki yang saling terkait), multi-dimensionality  (multi dimensionalitas) dan purposefulness (orientasi tujuan) hukum Islam.[9]
III.        Kesimpulan

1.      M. Atho Mudzar mengemukakan ada lima bentuk gejala agama, pertama scripture ( teks dan symbol ). Kedua, para penganut, pemimpin, atau pemuka agama, yakni sikap, prilaku dan penghayatan penganutnya. Ketiga, ritus, lembaga, ibadat, seperti sholat, haji, perkawinan. Keempat, alat – alat seperti masjid, peci, dan lain sebagainya. Kelima, organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.
2.      Dari Penjelasan Rosihan anwar menerangkan bahwa Islam sebagai gejala budaya ini berdasarkan asumsi bahwa Islam diturunkan Allah adalah untuk membimbing dan mengarahkan serta menyempurnakan pertumbuhan dan perkembangan agama dan budaya umat manusia di muka bumi.
3.      Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqasid al-Syariah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA


Auda , Jasser, Fiqh al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
Auda , Jasser,  Maqāṣid  al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
Anwar , Rosihan, “ Pengantar Studi Islam “, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 31
Mudzar , M. Atho, “ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.
Mudzar dkk, M. Atho “ Rekontruksi Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 173
Nasution , Khoirudin, “ Cara Memandang dan Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.




[1] M. Atho Mudzar dkk “ Rekontruksi Metodologi Ilmu – Ilmu Keislaman “, Suka Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 173
[2] Dr. H.M. Atho Mudzar, “ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek “ , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 12.
[3] Khoirudin Nasution, “ Cara Memandang dan Menjelaskan Suatu Gejala atau Peristiwa “, hlm. 182.
[4] Op.cit. Dr. H.M. Atho Mudzar, hlm. 14.
[5] Rosihan Anwar, “ Pengantar Studi Islam “, Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 31.
[6] Op.cit. Dr. H.M. Atho Mudzar, hlm. 15.
[7] Jasser Auda, Fiqh al- Maqāṣid ( Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law a System Approach ), (Herndon: IIIT, 2008), h. 5
[8]  Jasser Auda,  Maqāṣid  al-Ahkām al-Shar’iyyah wa ‘Ilaluhā, diunduh dari http://www.jasserauda.net/modules/Research_Articles/pdf/article1A
[9] Op.cit. hl,. 65

Minggu, 01 November 2015

Artikel Integrasi Ilmu


Tinjauan Normatif Teologis
Tentang Integrasi Ilmu Agama Islam
Dengan Ilmu – Ilmu Umum


OLEH : SAFRUDIIN

A.           PENDAHULUAN
Dewasa ini kita sudah terbiasa dengan sebutan Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum. Ilmu Agama Islam yang berbasis pada wahyu, hadits nabi, penalaran dan fakta sejarah sudah perkembang demikian pesat, misalnya mengenal ilmu Kalam (Teologi) , ilmu fiqih/ushul fiqih, filsafat, tasawuf, tafsir/Ilmu Tafsir, Hadits/Ilmu Hadist, Sejarah dan Peradaban Islam, Pendidikan Islam, Dakwah Islam.
Selanjutnya ilmu umum yang berbasiskan pada penalaran akal dan data juga mengalami perkembangan yang lebih pesat lagi dibandingkan dengan ilmu – ilmu Agama Islam sebagaimana tersebut di dalam Islam. Ilmu – ilmu umum ini secara garis besar dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ilmu umum yang bercorak naturalis dengan alam raya dan fisik sebagaimana objek kajiannya. Yang termasuk dalam ilmu ini antara lain : fisika, biologi, kedokteran, astronomi dan sebagainya. Kedua, ilmu umum yang bercorak sosiologis dengan prilaku sosial/manusia sebagai objek kajiannya. Yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain : antro pologi, sosiologi, politik, ekonomi, pendidikan, komonikasi, psikologi dan sebagainya. Ketiga, ilmu umum yang bercorak filosofis panalaran. Yang termasuk dalam ilmu ini antara lain : filsafat, logika, seni dan dan ilmu – ilmu humaniora lainnya.[1]
Dalam menciptakan seorang yang ahli dalam ilmu tertentu, perlu adanya hal yang perlu dilakukan, salah satunya adalah ia dapat mengintegrasikan atau menghubungkan ilmu yang dimilikinya itu dengan ilmu lainnya. Seseorang yang mempelajari ilmu fiqih misalnya, perlu memiliki dasar – dasar ilmu ekonomi, ilmu social, budaya, dan lain sebagainya, karena ilmu fiqih banyak berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, budaya dan sebainya itu.
Dalam mengintegrasikan antara ilmu agama Islam dengan ilmu- ilmu umum perlu adanya tinjauan normatif teologi, melalui tinjauan normatif teologis ini, seseorang akan di bawa kepada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan prespektif Tuhan dalam batas – batas yang dapat dipahami manusia. Dengan tinjauan ini seseorang akan memiliki pegangan yang kokdangoh dalam suatu masalah. Tinjauan normatif teologis ini perlu dilakukan untuk membangun komitmen dan melihat sesuatu dalam prespektif yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan dalam firman – firman-Nya.
Tinjauan normatif teologis pada tahap selanjutnya mengharuskan kita untuk melihat secara seksama bagaimana pandangan Tuhan terhadap integrasi Ilmu Agama Islam dan Umum, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya di dalam Qur’an dan dijabarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam haditsnya. Uraian selanjutnya akan dijumpai bagaimana sesungguhnya Al Qur’an dan al-sunnah melihat masalah integrasi Ilmu Agama Islam dan Ilmu Umum ini.[2]

B.       RUMUSAN MASALAH
1.        Pandangan Al Qur’an dan al Sunnah tentang Ilmu – ilmu Agama Islam dan Ilmu – ilmu Umum ?
2.        Pandangan Al Qur’an dan al Sunnah tentang Integrasi Ilmu Agama Islam dengan Ilmu Umum ?

C.      PEMBAHASAN
1.         ILMU – ILMU AGAMA ISLAM
Istilah ilmu – ilmu agama “ atau “ ilmu/studi religi atau religious studies dapat digunakan untuk semua studi dan penelitian ilmiah mengenai agama dengan pendekatan sosial - empiris.[3]
Dalam ilmu agama Islam, atau yang dalam bahasa Al Ghazali disebut dengan al ulum al syariah merupakan ilmu ilmu yang diperoleh dari nabi – nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika atau melalui riset, seperti ilmu kedokteran atau melalui  pendengaran seperti ilmu bahasa. Sedangkan ilmu – ilmu umum atau yang disebut dengan ilmu intelektual ( al ulum al aqliyah ) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek manusia semata.
Menurut Al Ghozali, ilmu – ilmu agama Islam terdiri dari ilmu tentang prinsip – prinsip dasar ( ilmu ushul ) dan ilmu tentang cabang – cabang ( furu’ ) atau prinsip – prinsip cabang.
Menurut Al Syirazi ilmu ilmu agama ini dikatogorikan dalam ilmu – ilmu non filsafat ( al ulum ghoiru hikmy ). Ilmu – ilmu religus diklasifikasikan menurut dua cara yang berbeda : (1) klasifikasi dalam ilmu – ilmu naqliy dan ilmu – ilmu intelektual (aqliy); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang pokok – pokok ( ushul ) dan ilmu tentang cabang – cabang ( furu’).

2.         ILMU – ILMU UMUM
Ilmu – ilmu umum ( al ulum al aqliyah ) adalah ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui pemikiran manusia semata. Al Ghozali membagi kategori ilmu – ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, yaitu : (1) matematika ; (2) logika ; (3) fisika ; (4) ilmu – ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika. [4]

D.      PANDANGAN AL QUR’AN DAN AL SUNNAH  TENTANG ILMU AGAMA ISLAM DAN ILMU – ILMU UMUM

Ilmu adalah hasil manusia dalam berusaha dan menentang kesukaran hidup, seperti ilmu sosial, ilmu eksata, ilmu alam, ilmu falsafah, ilmu agama, ilmu seni budaya, dan banyak lagi macam ilmu menurut bidangnya masing – masing.[5]
Salah satu nilai yang sangat ditegaskan dalam syari’at Islam adalah “ di fardlukan       ( di wajibkannya ) menuntut ilmu. Kewajiban dalam menuntut ilmu bukan hanya sekedar “ ilmu agama “ melainkan seluruh ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia serta alam di sekitarnya hal ini bisa dimengerti dengan berbagai argumentasi berikut ini.
Kitab suci umat Islam disebut Al Qur’an. Al Qur’an merupakan istilah arab yang berasal dari bangunan kata : qara’a – yaqra’u – qur’aanan artinya “ bacaan ”. dari sini secara tidak langsung ada suatu himbauan yang sangat halus agar siapa pun orang yang mengaku muslim harus selalu “ membaca “. Di dalam membaca terdapat proses transformasi ilmu pengetahuan. Dari transformsi ilmu pengetahuan terjadi pengendapan dalam qolbu yang akhirnya dapat terefleksikan dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak.[6]
Al qur’an dan al sunnah sesungguhnya membedakan antara ilmu agama Islam dengan ilmu – ilmu umum. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan ilmu – ilmu umum adalah merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan sumber objek kajiannya. Jika objek ontologis yang dibahasnya wahyu ( Al Qur’an ) termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. berupa hadits, dengan menggunakan metode ijtihad, maka yang dihasilkannya adalah ilmu – ilmu agama, teologi, fiqih, tafsir, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Kemudian jika objek ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduanya, yakni matahari, bulan, bintang, tumbuh – tumbuhan, binatang, air, api, udara, batu – batuan dan sebagainya dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratium, pengukuran, penimbangan, dan sebagainya, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam (natural sciences) seperti ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi, dan lain sebagainya.
Ilmu ilmu tersebut seluruhnya pada hakikatnya berasal dari Allah, karena sumber sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya ( termasuk hukum – hukum yang ada di dalamnya ), manusia dan pelakunya, akal pikiran dan intusi batin seluruhnya ciptaan dan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan , para ilmuan dalam berbagai bidang ilmu tersebut sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan.
Al Qur’an dan al – Sunnah tidak mengenal adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini dapat dipahami dari uraian berikut ini :
1.    Di dalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar meraih kebahagiaan hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat. Hal ini misalnya dapat dipahami dari ayat Al Qur’an dan Al Hadits berikut ini.
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ  

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. ( QS Al-Qashash,{28}: 27 )

Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)tƒ !$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$#  ÇËÉÊÈ  
Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka".[7](QS Al Baqarah,{2}:201)

Di dalam hadits Rasulullah Saw. dinyatakan :
عن  انس  ضي الله عنه ان نبي صلا الله عليه وسلم قال : لـَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تـَرَكَ دُ نْيَاهُ لآخِرَتِهِ وَلاَ آخِرَتَهُُ لِدُ نْيَاهُ حَتَّى يُصِْيبُ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فـَإنَّ ِلدُّ نْيَا بَلاَغ ٌ اِلىَ الآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلىَ النَّاسِ .

Bekerjalah untuk mencapai kebahagiaan hidupmu di dunia seolah – olah engkau akan hidup selama – lamanya, dan bekerjalah untuk mencapai kebahagiaan hidupmu di akhirat seolah – olah engkau akan meninggal besok pagi ( HR.Ibn Asakir )

2.    Al Qur’an dan Al Hadits, melarang seseorang mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari yang dikatakanya itu. Hal ini mengingatkan kepada manusia, bahwa ia harus memiliki pengetahuan tentang apa yang dikatakannya. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh taklid buta, karena apa yang kita katakan akan dimintakan pertanggung jawaban di sisi Tuhan. Kenyataan ini banyak dijumpai dalam ayat Al qur’an dan Hadits. Kita misalnya membaca ayat sebagai berikut.
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( QS: Al Isra’{17}36 ).
                                                       
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïã ßìÎ6®Ktƒur ¨@à2 9`»sÜøx© 7ƒÌ¨B ÇÌÈ  
Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah[8]  tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti Setiap syaitan yang jahat,

3.    Al Qur’an dan al-Sunnah selain berbicara tentang objek ilymu agama dan ilmu umum seperti ayat – ayat Allah yang ada di dalam wahyu ( kitab suci ) yang diturunkannya, ayat – ayat Allah yang ada dijagad raya (alam semesta dengan segala hokum yang ada di dalamnya), ayat – ayat Allah yang ada dalam diri manusia (ayat – ayat insaniyah, basyariah, al-nasiyah), ayat – ayat Allah yang menjelaskan fungsi akal serta hati nurani, yang selanjutnya menjadi dimensi ontologis dalam ilmu pengetahuan, juga berbicara tentang metode pengembangan ilmu dan pemanfaatannya. Dari ayat – ayat tersebut diantaranya ada yang berbicara tentang objek – objek ilmu pengetahuan tersebut ada yang dinisbatkan kepada Allah. Dalam ajaran Al Qur’an, Allah swt, tidak dinamakan al a’rif tetapi ‘alim , yang berkata kerja ya’lam ( Dia mengetahui ), dan biasanya Al Qur’an menggunakan kata itu untuk Allah, dalam hal – hal yang diketahui-Nya, walaupun ghaib, tersembunyi atau dirahasiakan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa Al Qur’an dan Hadits memiliki pandangan tentang pengembangan ilmu yang integrated, baik pada dataran ontologism, epistemologis maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu – ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bercorak persial, tidak utuh dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu – ilmu tersebut digunakan untuk tujuan – tujuan yang menghancurkan martabat manusia, termasuk manusia yang menciptakan ilmu pengetahuan itu sendiri.[9]

E.       PANDANGAN QUR’AN DAN  SUNNAH  TENTANG INTEGRASI ILMU AGAMA ISLAM DAN ILMU – ILMU UMUM

Perkembangan ilmu pengetahuan yang mengarah ke spesialisasi ilmu disertai temuan – temuan teknologinya berdampak besar. Profile peta perkembangan ilmu pengetahuan menghadirkan sekat – sekat, bahkan keberadaan cabang – cabang ilmu dengan spesifikasinya menunjukan kecendrungan disintegrasi keilmuan. Spesialisasi keilmuan yang didukung teknologi di bidangnya dan mempercepat ilmu pengetahuan mencapai otonomimya membuat setiap ilmu dengan kaidah dan teknologinya merasa eksis dan mampu berkembang sendiri tanpa perlu intervensi kaidah – kaidah di luar ilmunya, termasuk kaidah etika, moral, dan agama.[10]
Islam sangat menghargai Ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan  kurnia Tuhan yang semata – mata diberikan kepada umat manusia, sehingga , ke duanya dianggap sifat khas manusia. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran dan wujud – wujud suci, dan tak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu, ini merupakan kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Selain itu manusia pun mempunyai kecenderungan untuk selalu ingin memahami semesta alam, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, sekarang, dan masa mendatang, yang semuanya merupakan ciri khas ilmu pengetahuan. Oleh karena itu agama dan ilmu pengetahuan harus diupayakan agar selalu sejalan, dan Islam adalah satu – satunya agama yang memadukan ( mengintegrasikan ) keduanya.[11]
Sebagaimana sebutkan di atas , bahwa menurut pandangan Islam sesungguhnya tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum. Yang ada hanya ilmu itu sendiri dan seluruhnya bersumber dari Allah Swt.
Namun dilihat dari sifat dan jenisnya sulit dihindari adanya paradigma ilmu – illmu agama dan ilmu – ilmu umum , atau paling tidak paradigma ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu umum, atau paling tidak paradigma tersebut hanya untuk kepentingan teknis dalam membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
Al Quran al-karim dan hadits Rasulullah Saw. dengan ayat – ayat dan matan yang ada di dalamnya  mecoba menawarkan suatu penyelesaian atas hal – hal yang sepertinya bertentangan. Berkaitan dengan hal itu, di sini akan dikemukakan beberapa contoh saja, yang memperlihatkan bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan saling membutuhkan, dan tidak bertentangan. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.    Agama menyuruh manusia berfikir, mengggunakan akal pikiran dan segenap potensi lainnya yang dimiliki sebagaimana tercermin pada ayat – ayat Al Qur’an yang menggunakan istilah tatafakkur, tatadabbarun, tatazakkarun, ta’akkul, tafaquuh, intidzar, iqra, tafahhum, tabassarun dan seterusnya. Istilah – istilah mengacu kepada keharusan berfikir, merenungkan sesuatu yang tersirat, mengingat ciptaan Allah, memeras akal pikiran, memahami agama, mengobservasi dan menemukan. Perintah – perintah agama yang demikian dapat dijumpai praktiknya dalam ilmu pengetahuan, dengan kata lain kerja ilmu pengetahuan merupakan perintah agama.
2.    Di dalam wahyu terdapatsi perintah Allah untuk melaksanakan ibadah, mengolah alam dalam rangka pelaksanaan fungsi sebagai khalifah di muka bumi, memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan lain sebagainya.
3.    Agama berisikan ajaran tentang moralitas dan akhlak mulia, seperti ajaran tentang bersyukur dan ibadah kepada Allah, berbuat salih dan hal – hal yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan manusia. Di satu pihak ilmu pengetahuan dan teknologi melalui berbagai teori yang dirumuskannya telah menawarkan berbagai kemudahan – kemudahan bagi manusia, seperti kemudahan dalam berkomunikasi , kemudahan dalam mendapatkan makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan berbagai kenikmatan lainnya. Ilmu pengetahuan telah menghasilkan kemajuan untuk mencapai percepatan sampai pada tujuan. Namun, ilmu pengetahuan itu tidak tahu tujuan apa yang harus di capai dengan semua itu. Agamalah yang memberikan landasan dan arah bagi penggunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Untuk ini tepat sekali ungkapan Albert Einstein yang mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta.
4.    Agama berfungsi membenarkan, melengkapi dan mengoreksi terhadap berbagai temuan dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa jadi sampai kepada kebenaran yang sesuai dengan yang dinyatakan dalam agama. Terhadap demikian agama membenarkannya dan agama berfungsi sebagai penguat (konfirmator).  Ilmu pengetahuan  misalnya tidak tahu bahwa setelah mati ada kehidupan di akhirat, atau berzina itu dilarang. Dalam keadaan demikian, agama datang memberitahukan bahwa perbuatan itu tidak baik. Dengan demikian antara agama dan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam bukan untuk dipertentangkan melainkan untuk saling melengkapi.
5.    Agama berbicara tentang kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kehidupan di dunia harus menjadi sarana atau media untuk mencapai hidup bahagia di akhirat. Untuk itu agama membutuhkan sarana kehidupan duniawi. Karna itu kehidupan duniawi yang memerlukan dukungan ilmu pengetahuan agama itu membutuhkan bimbingan agama.
6.    Agama berbicara tentang alam ghoib, dan kepercayaan terhadap alam gaib ini termasuk hal amat ditekankan dalam Al Qur’an, dan menjadi salah satu ciri dari orang yang bertaqwa yaitu orang yang percaya kepada yang ghoib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezekinya, percaya kepada yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan kepada apa yang diturunkan kepada Nabi sebelumnya, serta percaya kepada hari akhirat. Adanya yang ghaib ini sama sekali tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang bertumpu pada hal – hal yang empiris, rasionalistik, dan realistsiic. Berbagai temuan para ilmu mutakhir telah sampai pada kesimpulan bahwa antara yang ghaib dan yang nampak terdapat hubungan fungsional yang intensif dan saling mengisi. Dengan sifatnya yang terbatas, ilmu pengetahuan akan sampai pada batas tidak lagi melihat sesuatu hanya dengan mata kepala atau dengan menggunakan peralatan observasi supercanggih sekalipun. Dan dengan melalui konsep iman kepada yang ghaib itu, kebuntuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan tersebut dapat di atasi. Dengan percaya yang ghaib , mata yang digunakan sudah bukan mata kepala lagi, tapi dengan mata hati, dan mata hai ini ada pada manusia. Dengan bantuan konsep yang ghaib ini ilmu pengetahuan akan terbebas dari kebuntuan, ia ditolong dari ketidakberdayaan, dan gilirannya ia akan tetap eksis secara fungsional dalam menjelaskan berbagai masalah yang dihadapi. Dengan cara demikianlah ilmu pengetahuan dan agama seharusnya berkerjasama dan berintegrasi.[12]


F.            KESIMPULAN

1.      Islamisasi ilmu pengetahuan adalah merupakan sebuah tanggung jawab moral para ilmuwan dalam rangka menyelamatkan peradaban ummat manusia. Islamisasi ilmu pengetahuan mencangkup istilah spiritualisasi, dan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum.
2.      Integrasi ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum ternyata memiliki landasan normatif teologis. Karena masalah integrasi ini bukan mengada – ada melainkan sebagai sebuah kenyataan dan sekaligus tuntutan.
3.      Secara normatif teologis sebenarnya tidak ada pemisahan atau dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Al Qur’an dan al sunnah tidak membeda – bedakan antara ilmu – ilmu agama dan ilmu – ilmu umu. Keduanya terikat dengan prinsip tauhid, sesuatu prinsip yang melihat bahwa baik aspek ontologism, epistemologis, maupun aksiologis ilmu pengetahuan adalah sama.
4.      Integrasi ilmu agama dan ilmu umum mengharuskan seseorang untuk memahami prinsip – prinsip umum yang ada pada kedua bidang ilmu tersebut sambil mengembangkan keahlian pada bidang ilmu tertentu sesuai dengan bakat dan minat masing – masing.

G.           DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin dkk “ Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu umum “, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.1-3.
Banawiratma, SJ, J.B.”Teologi Lintas Ilmu Menguji Omongan Agama”, Penebit Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 61
Kusumopradoto, S. “ Pandangan Hidup Manusia “, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 10
Asy-Syirbaany, Ridwan,”Membentuk pribadi lebih Islami” PT. Intimedia Cipta nusantara", Jakarta. Hlm 194
Fajar Riyanto, Waryani,” Kata Pengantar Nalar Filsafat Ilmu Sosial Islam Integratif
Djumhana Bastaman, Hanna, “integrasi Psikologi dengan Islam”, Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 146



[1] Abuddin Nata dkk “ Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu umum “, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.1-3.
[2] Ibid. hlm. 49-50.
[3] J.B. Banawiratma, SJ,”Teologi Lintas Ilmu Menguji Omongan Agama”, Penebit Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm. 61
[4] Op.cit. hlm. 156
[5] S.Kusumopradoto, “ Pandangan Hidup Manusia “, Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 10
[6] Ridwan Asy-Syirbaany,”Membentuk pribadi lebih Islami” PT. Intimedia Cipta nusantara", Jakarta. Hlm 194
[7] Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang Muslim.
[8]  Maksud membantah tentang Allah ialah membantah sifat-sifat dan kekuasaan Allah, misalnya dengan mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah puteri- puteri Allah dan Al Quran itu adalah dongengan orang- orang dahulu dan bahwa Allah tidak Kuasa menghidupkan orang-orang yang sudah mati dan telah menjadi tanah.
[9]    Op.cid. hlm. 51-67.
[10] Waryani Fajar Riyanto,” Kata Pengantar Nalar Filsafat Ilmu Sosial Islam Integratif
[11] Hanna Djumhana Bastaman, “integrasi Psikologi dengan Islam”, Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 146
[12] Op.cit. hlm. 67-75.